Citra adalah seorang gadis muda yang cantik namun sangat angkuh dan semena-mena. Dia terbiasa hidup dalam kemewahan dan berpikir bahwa uang bisa menyelesaikan segala masalah. Hidupnya penuh dengan pesta dan pergaulan bebas, dan dia tidak pernah memedulikan orang lain, bahkan ketika dia merugikan mereka. Ketika suatu hari dia secara tidak sengaja menabrak seorang pejalan kaki dengan mobil sport mewahnya, dia mencoba menutupinya dengan uang, tanpa menunjukkan sedikit pun penyesalan. Namun, skandal kecelakaan tabrak lari ini segera menjadi berita besar, dan polisi mulai mengusut kasusnya.
Masalah semakin rumit ketika namanya juga dikaitkan dengan kasus narkoba, membuat publik semakin mencibir. Kedua orang tuanya, yang merupakan pebisnis terkemuka di kota, merasa sangat malu dan memutuskan untuk menjauhkan diri dari Citra. Mereka merasa tidak sanggup lagi menanggung dampak dari skandal yang disebabkan oleh putrinya. Dalam kemarahan dan rasa malu, mereka memutuskan untuk "membuang" Citra jauh dari kota tempat tinggal mereka. Mereka mengirimnya ke kota kecil yang tak dikenal, berharap bisa menyingkirkan masalah mereka sekaligus memberi Citra pelajaran.
Di kota kecil itu Citra mulai menyadari kesepian dan kehampaan dalam hidupnya. Dia mulai merasakan efek dari kesalahannya dan perlahan-lahan mempertimbangkan untuk mengubah sikapnya. Dalam perjalanan ini, dia bertemu dengan Dimas, seorang pemilik kafe lokal yang baik hati, yang melihat ada potensi dalam diri Citra. Dimas menawarkan pekerjaan di kafenya, memberikan Citra kesempatan untuk memulai lagi dari awal.
Di sini, Citra berada di persimpangan jalan. Akankah dia memilih untuk berubah dan membangun hidup yang lebih baik, ataukah dia akan kembali ke sifat aslinya yang angkuh dan menghancurkan kesempatan terakhirnya? Waktu akan menentukan apakah Citra mampu menemukan makna hidup yang lebih dalam dan menjalani transformasi sejati, atau apakah dia akan selamanya terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PutriVijannah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak yang tak terhapus dari bayang-bayangan masalalu
Beberapa hari setelah mengirim pesan kepada orang tuanya, Citra tidak menerima balasan apa pun. Meskipun ia sudah siap dengan berbagai kemungkinan, tetap saja ada sedikit rasa kecewa yang menyelinap. Namun, dia tidak membiarkan hal itu mengganggunya. Dengan tekad yang semakin kuat, ia fokus pada rutinitasnya di kampus dan kafe, berharap suatu saat usahanya akan terlihat oleh mereka.
Di kampus, hari itu Citra duduk di kelas bersama teman-temannya. Mereka tengah mengikuti mata kuliah fashion promotion. Saat dosen menjelaskan materi, Citra merasa ponselnya bergetar di saku. Ia melirik sekilas ke layar dan melihat nama ibunya tertera. Hatinya berdebar, penuh harap dan cemas.
Citra mencoba fokus kembali ke pelajaran, tapi pikirannya terus melayang pada pesan yang mungkin ada di dalam ponsel itu. Ketika kelas selesai, ia buru-buru keluar dari ruang kuliah dan mencari tempat yang tenang di taman kampus. Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan dari ibunya.
Pesan dari Ibu:
"Citra, ibu selalu ingin membalas pesanmu. Tapi Ayahmu masih sangat marah kepadamu. Ayahmu butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Jadilah pribadi yang jujur dan tulus, karena kebaikan hati akan selalu membawa berkah dalam hidupmu. Jaga dirimu baik-baik. Hanya ini yang bisa ibu sampaikan"
Citra merasa lega sekaligus kecewa. Jawaban yang ia terima tidak sesuai harapannya, namun setidaknya ada komunikasi. Ia menatap layar ponsel dengan tatapan kosong, tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Tiba-tiba, suara Jaya terdengar dari belakang. "Hei, Citra! Kamu baik-baik saja? Kelihatannya kamu lagi bingung."
Citra tersentak, menoleh, dan melihat Jaya mendekat. "Oh, Jaya... Iya, aku baik-baik saja. Hanya saja... aku baru mendapat pesan dari ibuku.“
Jaya mengangguk pelan. "Bagaimana kabar ibu kamu disana?" Tanya Jaya
“Mereka baik” jawab Citra singkat
“ semoga mereka sehat selalu disana” ujar Jaya kembali
Citra tersenyum kecil. "Iya, aku berharap begitu. Terima kasih, Jaya."
.
Saat mereka berbicara, tiba-tiba terdengar suara gaduh di dekat gedung kampus. Citra dan Jaya melihat ke arah suara itu dan melihat beberapa mahasiswa berkerumun. Mereka segera mendekat untuk melihat apa yang terjadi.
Di tengah kerumunan, Citra melihat seorang lelaki sedang berbicara nada tinggi dengan seorang mahasiswa lain. Wajah Lelaki itu penuh kemarahan, dan mengintimidasi. Setelah di lihat, Citra tidak asing dengan wajah lelaki itu. Tapi Citra mencoba untuk positif thingking jika itu bukan seseorang yang dimaksud nya.
Saat tiba-tiba lelaki itu menoleh kearah gedung fakultasnya, Citra terkejut melihat lelaki yang ternyata benar itu adalah Rio, salah satu gembong narkoba yang pernah berkerjasama dengan nya dulu.
Citra merasakan ketakutan yang tiba-tiba muncul di hatinya.
"Kenapa Rio ada di sini?" bisik Citra dengan suara rendah, jelas merasa kaget dan juga khawatir.
Citra menelan ludah, merasakan jantungnya berdetak cepat. "Aku tidak tahu apa yang dilakukan Rio disini, tapi apapun itu aku harus keluar dari sini sebelum dia melihatku." Batin Citra, tanpa memperdulikan Jaya yang ada di samping nya, Citra berlari menuruni tangga menuju sisi lain gedung kampus agar tidak ketahuan oleh Rio. Sedangkan Jaya hanya bisa melongo Saat dirinya di tinggal pergi oleh Citra.
.
.
Citra berlari secepat mungkin menjauh dari gedung kampus, mencoba menenangkan napasnya yang terengah-engah. Ketakutan masih menyelimuti pikirannya.
Pikirannya hanya tertuju pada satu tempat yang bisa membuatnya merasa aman, kafe tempat dia bekerja. Tanpa berpikir panjang, ia segera menuju ke sana, berharap bisa menenangkan diri dan merasa lebih aman di dekat rekan-rekan kerjanya.
Setibanya di kafe, Citra langsung menuju pintu belakang dan masuk tanpa melihat sekeliling. Nafasnya masih memburu, dan tubuhnya sedikit gemetar. Ketika ia melangkah masuk, dia melihat Dimas duduk di salah satu meja, menikmati secangkir kopi. Mata mereka bertemu, dan Citra merasakan sedikit ketenangan saat melihat Dimas tersenyum ke arahnya.
"Citra, kamu sudah selesai kuliah nya, kenapa kamu kelihatan pucat. Ada apa?" tanya Dimas sambil berdiri dan mendekatinya.
Citra menatap Dimas dengan wajah panik, lalu menarik napas panjang sebelum berbicara, "Aku melihat Rio... di kampus tadi. Dia ada di sana, Aku tidak tahu apa yang dia lakukan di sana, tapi aku takut dia akan mengenaliku."
Dimas mengerutkan kening, jelas terkejut dengan apa yang Citra katakan. "Rio? Maksudmu, Gembong narkoba yang pernah Kamu ikuti dulu itu? Apa mungkin dia mau mencari masalah denganmu lagi?"
Citra mengangguk, masih gemetar. "Aku tidak tahu, Dimas. Tapi aku merasa tidak aman. Aku sudah mencoba menjauhi semua hal yang berhubungan dengannya. Aku hanya ingin hidup tenang sekarang. Tapi jika dia kembali... aku takut semua ini akan berantakan."
Dimas mengambil kursi di dekatnya dan mendorongnya ke arah Citra. "Duduklah dulu. Tenang, tarik napas dalam-dalam. Tidak ada yang bisa menyakitimu di sini."
Citra duduk dan mencoba menenangkan dirinya, mengikuti instruksi Dimas. Dia mengambil beberapa tarikan napas dalam, meski masih terasa sulit.
"Kalau begitu, kita perlu cari tahu apa yang sebenarnya dia lakukan di kampusmu tadi," ujar Dimas dengan nada serius. "Kamu yakin dia belum melihatmu?"
"Aku harap belum," jawab Citra, masih merasa gelisah. "Aku langsung lari begitu melihatnya. Aku tidak mau ambil risiko."
Dimas mengangguk. "Bagus. Sekarang yang penting, kamu tetap di sini untuk sementara. Aku juga sedang cuti, jadi aku bisa menemanimu di sini sampai kamu merasa lebih aman. Kita akan cari tahu lebih lanjut apa yang sebenarnya terjadi."
Citra merasa sedikit lega mendengar kata-kata Dimas. Dukungan dari Dimas memberinya sedikit rasa aman di tengah kekalutannya. "Terima kasih, Dimas. Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana jika tidak ada kamu," ujarnya dengan suara pelan, namun penuh rasa syukur.
Dimas tersenyum tipis. "Kamu selalu bisa mengandalkan aku, Citra. Apapun yang terjadi aku akan menjamin keselamatan mu."
Citra menatap Dimas dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Di tengah semua ketidakpastian ini, Dimas adalah satu-satunya orang yang memberinya rasa aman dan kenyamanan.
"Kalau begitu," lanjut Dimas, "kita bisa mulai berpikir langkah selanjutnya. Mungkin kita bisa berbicara dengan beberapa temanmu di kampus untuk mencari tahu lebih banyak tentang apa yang dilakukan Rio tadi. Atau, kalau kamu merasa terlalu berisiko, aku bisa pergi sendiri."
Citra mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. "Mungkin lebih baik kamu saja yang pergi. Aku tidak ingin terlihat oleh Rio, setidaknya untuk sekarang."
Dimas mengangguk setuju. "Baiklah, aku akan coba cari tahu apa yang bisa kulakukan. Sementara itu, kamu tetap di sini dan jaga dirimu. Jangan terlalu banyak pikiran, oke?"
Citra tersenyum lemah tapi penuh rasa terima kasih. "Terima kasih, Dimas. Aku merasa lebih baik sekarang."
Dimas menepuk bahu Citra dengan lembut. "Kita akan hadapi ini bersama. Kamu tidak sendirian."
Di tengah semua ketakutan dan ketidakpastian, kehadiran Dimas menjadi sinar harapan bagi Citra, yang kini berusaha menghadapi kenyataan bahwa masa lalunya belum benar-benar menghilang.
gabung cbm yu
untuk belajar dan main brg
caranya follow dl ya
nnti ak mskn gc thx