Tidak ada seorang istri yang rela di madu. Apalagi si madu lebih muda, bohay, dan cantik. Namun, itu semua tidak berpengaruh untukku. Menikah dengan pria yang sedari kecil sudah aku kagumi saja sudah membuatku senang bukan main. Apapun rela aku berikan demi mendapatkan pria itu. Termasuk berbagi suami.
Dave. Ya, pria itu bernama Dave. Pewaris tunggal keluarga terkaya Wiratama. Pria berdarah Belanda-Jawa berhasil mengisi seluruh relung hatiku. Hingga tahun kelima pernikahan kami, ujian itu datang. Aku kira, aku bakal sanggup berbagi suami. Namun, nyatanya sangat sulit. Apalagi sainganku bukanlah para wanita cantik yang selama ini aku bayangkan.
Inilah kisahku yang akan aku bagi untuk kalian para istri hebat di luar sana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reinon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 Belum Ada Kabar
"Ayang, London bagus ya!" seru Rei sambil mengedarkan pandangannya.
"Non suka?" tanya Rein.
"Banget. Gara-gara ngurusin Ella sampe juga ke luar negeri. Kalo ngga gitu ngga bakalan sampe," ucap Rei setengah menyindir sang suami.
"Curhat Bu!" seru Rein sambil terkekeh.
"Lagian si papa, ngga mau tiap kali diajak ke luar negeri. Kan non kepengen sekali-kali jalan ke luar negeri. Ngga usah jauh-jauh. Yang deket aja ke negara tetangga kita. Pakek bis juga nyampe," ucap Rei panjang lebar.
"Iya, iya. Kan bagusnya kalo keluar negeri ke Mekah dulu. Nanti kalo udah ke Mekah baru ke negeri yang lain," jelas Rein sabar.
"Eh, iya ya! Ya, udah ke Mekah dulu!" ajak Rei.
"Sabar sayang. Kan nama kita berdua masih dalam antrian," Rein mengingatkan dengan sabar.
"Eh, lupa!" seru Rei malu.
"Betewe, sekarang kita kemana, pa?" tanya Rei pada suaminya.
"Sebentar lagi jemputan kita datang," ucap Rein sambil mengecek ponselnya.
"Wuih, si papa ternyata ada kenalan juga di luar negeri!" seru Rei takjub.
"Makanya cari teman itu sampe ke pelosok negeri. Kalo pas kepepet gini kan enak," jawab Rein.
"Allaa, palingan asisten yang emang stay di sini," balas Rei tak mau kalah.
Rein geleng kepala melihat kelakuan istri kecilnya itu. Rei selalu bisa menebak dengan tepat.
"Memangnya udah dapet alamatnya?" tanya Rei.
Wanita cantik itu lupa menanyakan perihal alamat yang mereka tuju. Saking senangnya, pikiran wanita cantik itu sudah dipenuhi dengan keberangkatan ke luar negeri.
"Belom," jawab Rein santai.
"Lha! Kalo belom kenapa kita ke sini, pa?" tanya Rei bingung.
"Emangnya ngga mau jajan dulu," balas Rein santai.
"Hehehe, poppa tau aja!" Rei tersipu malu.
Rein sangat hapal keinginan sang istri. Di mana kakinya berpijak, di situ dia akan wisata kuliner. Tak berapa lama seorang pria yang ditunggu Rein tiba dengan setelan jas hitam.
"Maaf menunggu lama, pak," ucap pria itu.
"Tidak apa-apa," balas Rein.
"Ayo, sayang!" seru Rein pada istrinya.
Rein memilih menginap di sebuah hotel yang letaknya tidak jauh dari bandara. Ada urusan yang harus dia selesaikan di sini. Pria tampan itu memanfaatkan kesenangan istrinya untuk menutupi urusannya.
Rein tidak ingin istrinya lelah. Cukup dia saja yang mengurus masalah Dave dan Ella. Biarlah istrinya itu menikmati waktunya sendiri.
Sesampainya di hotel, Rein langsung membuka laptopnya. Jemari putih nan jenjang itu sudah tidak sabar untuk berselancar di atas keyboard memasukkan huruf-huruf ajaib.
Rein melakukannya saat Rei sedang membersihkan diri di kamar mandi. Istrinya itu bisa menghabiskan waktu sekitar satu jam bahkan lebih saat memanjakan diri.
Terkadang Rein heran dengan tingkah istrinya itu. Banyak wanita memanjakan diri dengan berkumpul dengan teman-teman mereka di cafe, berbelanja pakaian, tas, make up, dan masih banyak lagi.
Semua itu tidak berlaku untuk Rei. Wanitanya itu lebih suka memanjakan dirinya di kamar mandi. Menurut Rei, selain untuk dirinya juga untuk suami tercintanya. Pernah suatu waktu karena penasaran Rein ikut serta dalam ritual membersihkan diri.
Pantas saja istrinya itu bisa tahan lama di kamar mandi. Rei berendam dengan kelopak bunga mawar yang entah dari mana dia menyimpannya dan beberapa campuran aroma terapi di dalam airnya.
Sebelum berendam, istrinya itu membersihkan wajah lebih dulu lalu maskeran. Barulah dia berendam dengan mata terpejam di tutup dengan potongan tomat atau timun.
Tidak sampai di situ. Usai berendam kurang lebih lima belas menit. Rei menggosok tubuhnya perlahan. Menurutnya debu-debu diluar yang menempel harus lepas dari kulitnya. Belum lagi dia membersihkan bagian intimnya.
Untungnya Rei melakukan ritual itu tidak setiap saat. Seperti saat ini, perjalanan yang panjang membuat tubuh Rei gerah maksimal. Barulah dia melakukan ritual membersihkan diri yang super lama.
Kesempatan ini tentu saja dimanfaatkan oleh Rein. "Masalah akan selesai jika di mulai dari akarnya dulu," gumam Rein sambil memainkan jemarinya di atas keyboard dengan lincah.
Jemari pria itu sangat lihai atau dia sudah hapal dengan letak huruf di keyboard. Saat jarinya berselancar, mata cokelat muda pria itu tidak lepas dari layar laptop.
"Bingo!" seru Rein.
* * *
"Gimana babe? Masih belum ada kabar?" tanya Dave padaku saat berada di kamar.
Aku menggeleng. Rasanya aku mulai putus asa. Aku tidak bisa menghubungi Rei sama sekali. Rei juga tidak meninggalkan pesan apa pun.
Memang Rei menyuruh kami sabar dan menyerahkan urusan ini pada suaminya tapi karena tidak bisa dihubungi menimbulkan tanda tanya besar di kepalaku.
Apa yang terjadi pada mereka? Kemana mereka pergi? Apa mereka mengurungkan diri untuk membantuku?
Semua pertanyaan konyol itu aku tepis sendiri. Aku percaya Rei tidak mungkin meninggalkanku.
"Percayakan saja pada mereka," ucap Dave sambil mengusap punggung tanganku.
"Aku penasaran sekaligus khawatir."
Dave menarik tubuhku masuk ke dalam pelukannya.
"Apa yang membuatmu penasaran sekaligus khawatir?" tanya Dave sambil mengecup puncak kepalaku.
Aku memeluk perut Dave lalu berkata, "Aku penasaran bagaimana cara Rei dan suaminya menyelesaikan masalah kita. Apa yang mereka cari? Bagaimana cara mereka memulainya?"
Aku jeda sejenak lalu melanjutkan, "Aku khawatir Noel akan berulah lagi."
"Ponsel Noel ada di tangan mereka. Rein pasti memulainya dari situ."
"Bukannya harus ada kata sandi agar bisa membuka ponselnya. Sangat tidak mungkin kalo ponsel Noel tidak memiliki sandi," ucapku santai.
"Mungkin Rein punya cara untuk membukanya."
"Oh!" seruku datar. "Berarti dia hebat bisa membuka ponsel Noel," timpal ku lagi.
"Sepertinya iya," jawab Dave datar.
Aku spontan bangkit dan terduduk di waktu yang nyaris bersamaan.
"Ada apa, babe? Apa ada yang salah?" tanya Dave sedikit khawatir.
"Ponsel Noel pasti ada sandi dan Rein bisa membukanya. Rei bilang suaminya itu suhu. Jangan-jangan ..." Aku menatap Dave.
Pandangan mata kami bertemu namun Dave masih tidak mengerti.
"Jangan-jangan apa?" tanya Dave semakin bingung.
"Dia hacker," ucapku.
"Wah, aku tidak menyangka memiliki seorang sahabat yang hebat! Sangat hebat malah," ucapku takjub.
"Masa iya, Rein itu hacker?" Dave seolah tak percaya.
"Coba saja kau pikir, babe! Rei tidak memberi ponsel Noel pada kita atau setidaknya dia pasti sudah sibuk mencari seseorang yang bisa membuka sandi ponsel. Ok, katakanlah bisa dibawa ke tempat servis tapi mereka tidak melakukannya. Rei malah tersenyum senang sambil menggoyang benda pipih itu di telapak tangannya."
"Kau menyebutku babe!" seru Dave.
Aku diam sesaat lalu meraih bantal dan menghujani suami tercintaku itu dengan beberapa pukulan empuk. Bagaimana aku tidak kesal. Dari sekian banyak penjelasanku yang dia tangkap hanya kata 'babe'.