Apa jadinya kalo seorang anak ketua Organisasi hitam jatuh cinta dengan seorang Gus?
Karena ada masalah di dalam Organisasi itu jadi ada beberapa pihak yang menentang kepemimpinan Hans ayah dari BAlqis, sehingga penyerangan pun tak terhindarkan lagi...
Balqis yang selamat diperintahkan sang ayah untuk diam dan bersembunyi di sebuah pondok pesantren punya teman baiknya.
vagaimanakah kisah selanjutnya?
Baca terus ya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma pratama, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Firasat
Sore ini, matahari masih setia menyinarkan cahayanya di langit biru. Awan tidak seperti biasanya yang berkumpul menutupi sinar matahari.
Keindahan sore ini, dinikmati setiap santri yang tengah mengaji di kelasan masing-masing. Sambil menghirup udara segar, mereka tidak sabar ingin melihat senja nanti.
Namun berbeda lagi dengan Melodi. Dia sejak tadi begitu cemas sambil mengganti kain basah yang disimpan di kening Balqis.
Suhu badannya masih sama seperti tadi. Tidak ada perubahan sama sekali. Apalagi sejak tadi dia terus menggigil seperti kedinginan. Padahal sudah memakai dua selimut.
"Astaghfirullah! Bagaimana ini?"
Melodi yang sangat cemas beranjak. Dia berlari keluar untuk mengadukan keadaan Balqis pada Ning Azizah atau Ummi Fatimah. Dia tidak mau teman barunya itu sampai kenapa-kenapa. Keadaannya terlihat sangat serius.
Tap!
Langkah Melodi terhenti. Dia kebingungan saat yang dilihatnya pertama kali adalah Bunda Halimah, bukan Ummi Fatimah.
Tidak apa-apa kan, kalau aku bilang sama bunda Halimah? Dia kan seorang dokter, pasti bisa membantu Balqis.
Melodi kembali berjalan perlahan sambil memperhatikan Bunda Halimah yang sedang membantu Gus Alditra turun dari mobil.
"Assalamu'alaikum?"
Niat Melodi tiba-tiba urung saat akan bilang pada Bunda Halimah tentang Balqis karena dia tengah sibuk dengan Gus Alditra.
"Assalamu'alaikum, Ummi?"
"Wa'alaikumussalam "
Melodi menoleh. Bukan Ummi Fatimah yang menjawab melainkan Bunda Halimah sambil menghampirinya.
"Ada apa? Kenapa cemas seperti itu? Apa terjadi sesuatu?" Bunda Halimah langsung melontarkan beberapa pertanyaan karena Melodi terlihat tidak sabar.
"Iya. Emmhh.. Itu Bunda... Panas Balqis tidak turun-turun. Sejak tadi dia juga menggigil," jawab Melodi.
"Apa sudah diberi obat?" tanya Bunda Halimah.
"Sudah. Ada tiga obat yang diberikan, tapi panasnya masih tinggi!" jawab Melodi.
"Biar Bunda lihat keadaannya," pinta Bunda Halimah yang langsung disetujui. "Al, bisa tunggu di sini dulu. Bunda mau melihat keadaan Balqis dulu,"
Alditra pun mengangguk. Dia hanya diam di kursi rodanya memperhatikan Bunda Halimah dan Melodi pergi menjauh.
Hah... Balqis? Bukannya itu nama perempuan yang selalu mengajak saya bertukar makanan?
Memangnya dia bisa sakit? Tapi dilihat dari fisiknya dia sangat kuat. Saya pikir wanita seperti dia tidak pernah sakit.
Pikiran Alditra berputar. Kemudian menepis pikirannya dan menyibukkan diri dengan membaca buku lagi.
Di kobong...
Bunda Halimah langsung memeriksa keadaan Balqis. Tentunya disaksikan beberapa santri yang ingin melihat.
Saat Bunda Halimah dan Melodi lewat, para santriwati yang tengah mengaji langsung membubarkan diri dan mengikuti mereka untuk mengetahui keadaan Balqis.
"Coba Bunda lihat obat yang diberikan pada Balqis," Bunda Halimah mengambil obat yang ditunjukkan Melodi. "Apa kamu memberinya obat untuk anak di bawah 12 tahun?"
"Iya. Karena obat itu diberikan teh Fauzi. Katanya obat ini akan cepat menurunkan panas..." jawab Melodi.
Bunda Halimah menggelengkan kepalanya. "Apa ada obat dewasa di sini?"
Melodi menggelengkan kepalanya tanda tidak tahu. Sedangkan yang lain hanya diam saja memperhatikan.
"Baiklah, Bunda akan kasih obat untuk, Balqis," ujar Bunda Halimah. "Perhatikan juga makanannya, ya..."
"Baik, Bunda."
Setelah Bunda Halimah memeriksa keadaan Balqis, dia pun segera keluar kobong sambil memperhatikan sekitar.
Masih ingat jelas di ingatannya bagaimana kecerian yang didapatkan dulu di tempat itu. Keceriaan yang luar biasa selama 5 tahun, keceriaan sebelum dirinya menikah dengan salah satu Putra pemilik pesantren. Yaitu Arsalan.
Setiap langkah yang dilakukan Bunda Halimah mengingatkan dirinya pada kisah saat menjadi seorang santri. Termasuk kisah cintanya bersama Arsalan. Cinta kedua yang dimilikinya setelah sang ayah.
"Bunda!"
Senyuman Bunda Halimah terukir saat Ning Azizah menyapa. Detik kemudian, senyuman itu hampir luntur ketika melihat Ummi Fatimah datang. Untuk mengalihkan hatinya yang tiba-tiba tidak sehat, dia pun membuka pintu mobil dan mengambil beberapa obat.
"Untuk siapa?" tanya Ning Azizah.
"Balqis. Dia sakit, badannya panas. Tapi anak-anak malah memberikannya obat untuk anak di bawah 12 tahun. Jadi Bunda akan menggantinya dengan ini," jawab Bunda Halimah. "Tolong berikan ini padanya, Ning!' "
Ning Azizah mengambil obat itu. Kemudian berpamitan untuk memberikan obat sekalian melihat keadaannya.
"Masuk dulu, Mbak?" tawar Ummi Fatimah.
"Tidak perlu, Teh. Aku mau langsung pulang," tolak Bunda Halimah seraya tersenyum.
"Bagaimana keadaan Al sekarang? Apa kakinya bisa digerakkan? Apa dia akan berjalan lagi?" tanya Ummi Fatimah.
"Bisa. Tapi belum bisa diinjakkan. Dia masih memerlukan beberapa terapi agar urat dan tulangnya stabil, Insya Allah Teh, doakan saja yang terbaik buat Al..." jawab Bunda Halimah.
Ummi Fatimah mengangguk. Tangannya juga terulur mengusap pundak Alditra dengan lembut.
"Teh, saat aku bertanya pada Al, Teteh masih berusaha menjodohkannya. Apa itu benar?" tanya Bunda Halimah.
"Iya. Aku sebagai ibunya Alditra, menginginkan dia mempunyai pendamping yang baik. Meskipun sudah beberapa kali usaha perjodohan ini gagal, tapi aku yakin Al pasti akan mendapatkan seorang Ning," jawab Ummi Fatimah.
Bunda Halimah mengangguk sambil menghela nafasnya. "Teh, lebih baik tidak usah diteruskan. Biarkan Al yang memilih. Apalagi sangat sulit untuk perempuan menerima keadaan Al yang tidak bisa berjalan dan tidak bisa bicara,"
"Jangan bicara seperti itu. Aku yakin Ning yang satu ini akan menerima Al," tukas Ummi Fatimah.
"Ning!" beo Bunda Halimah.
"Iya. Dia seorang Hafidzah. Nanti bila dia sudah lulus S2nya di Kairo, dia akan datang ke sini untuk bertemu Al ." jelas Ummi Fatimah.
Bunda Halimah terdiam. Kemudian melirik Alditra yang memalingkan wajahnya. Terlihat laki-laki itu tidak suka mendengar perkataan Ummi Fatimah.
Setelah berbincang cukup lama, Bunda Halimah pun berpamitan. Dia harus kembali ke rumahnya yang ada di kota. Menjalankan kehidupannya sebagai dokter di salah satu rumah sakit.
Sebenarnya sangat sesak untuk Bunda Halimah jika harus menginjakkan kaki di pesantren lagi. Bila bukan karena Alditra, mungkin dia tidak akan pernah datang kembali.
Dia perempuan biasa. Bukan perempuan keturunan Kiyai. Dia hanya seorang santri yang begitu beruntung mendapatkan Gus.
Berbeda dengan Ummi Fatimah yang usianya lebih tua darinya. Dia seorang Ning. Putri dari pemilik pesantren yang terkenal.
***
Uhuk!
Uhuk!
Balqis beranjak dari tidurnya. Dia meneguk segelas air putih yang sudah disediakan Melodi sebelum pergi ke mesjid.
"Udah Mel, badan gue udah sehat lagi kok nggak menggigil lagi."
Tangan mungilnya terulur menyentuh kening dan bagian badan yang lain. Suhu badannya kembali normal seperti biasanya. Kepalanya juga tidak seberat tadi.
Dia yang sudah merasa baikan keluar kamar. Detik kemudian, matanya membulat karena langit sudah gelap.
Balqis pun beralih memperhatikan sekitar yang sepi tanpa orang. Keadaan kobong sangat sunyi tidak biasanya yang ramai. Maklum saja semua orang berada di mesjid.
Anj**t, horor banget sih tempat ini kalo sepi kayak gini?
Dengan langkah cepat dan gesit, Balqis memutuskan pergi dari kobong. Dia ketakutan bila harus sendirian.
Tap!
Langkahnya langsung memelan saat cahaya lampu mesjid menyorot. Dia tidak ingin para santri melihatnya yang tengah mengendap-endap.
Oke... Ini waktu yang bagus buat gue kabur dari sini.
Langkahnya semakin cepat. Dia tidak sabar ingin sampai gerbang di depan matanya. Namun keberuntungan tidak berpihak padanya karena gerbang sudah dikunci.
"Arrrggghhh! Sial! Gue telat lagi!"
Balqis mendengus kesal sambil menggoyangkan gerbang yang kokoh. Ingin sekali dia merusak kunci gerbang itu.
"Wooooiiii keluarin gue dari sini!" teriaknya.
Bagaikan seorang tahanan, Balqis berteriak meminta dibebaskan. Tingkahnya benar-benar konyol karena berteriak pada angin di luaran sana.
Tuk!
Balqis menoleh ke belakang. Dia merasa ada sesuatu benda yang mengenai kepalanya.
"Shit!! Berani banget lo nimpuk kepala gu-- Hah... Om Gus?!" teriakannya tercekat saat matanya melihat sosok yang sedang duduk di kursi roda dengan pandangan yang tajam kearahnya.
Dia tidak menyangka bertemu kembali dengan Alditra.
"Wow... Om Gus, Kapan lo pulang?" teriak Balqis merasa senang karena ada teman curhat dan teman barternya lagi.
Alditra tidak menimpali. Dia malah memperlihatkan kunci pada Balqis.
"Mmhh... Itu kunci gerbang, ya?"
Balqis mengambil kunci itu. Kemudian melirik gerbang yang tergembok.
"Cieeh.. Tumben tumbenan nih Om Gus mau bantuin gue kabur?!"
Alditra masih tidak menjawab. Dia hanya menatap lurus ke depan menembus kegelapan.
"Om Gus nyuruh gue pergi sekarang?" Balqis mengikuti penglihatan Alditra yang lurus.
Anjrit.. Gelap cuk... Aman nggak ya?
Detik kemudian, dia menggaruk tengkuknya karena merasa takut bila harus berlari dalam kegelapan. Apalagi tidak ada cahaya satu pun.
Balqis langsung membuka kunci gerbang dan membuka gerbang sebesar tubuhnya. Setelah terbuka Balqis pun langsung berjalan keluar gerbang pesantren dengan perlahan, dia memperhatikan sekitar sambil menelan ludah kasar.
Alditra terdiam melihat kearah punggung Balqis yang mulai menjauh keluar dari gerbang dengan tajam.
Tak berapa jauh Balqis menghentikan langkahnya. Dia memperhatikan ke depan jalan yang tak terlihat menunggu dirinya untuk ditelan oleh kegelapan itu.
Anj**t.. Nggak... Hati gue nggak ngijinin gue buat pergi sekarang! Gue nggak tau ada apa di depan sana... Firasat gue bilang kalo disana ada bahaya...
Balqis pun buru-buru berbalik arah dan berlari untuk masuk lagi ke dalam gerbang pesantren dan dia pun buru-buru mengunci lagi kunci gerbang itu.
Alditra yang masih terdiam melihat kearahnya sambil mengangkat kedua halisnya seakan bertanya kenapa tidak jadi kabur?
"Hahahaha.... kayaknya gue nggak jadi kabur sekarang Om Gus. Gue bakalan kabur pas siang hari aja. Serem liat kegelapan gitu... Tar kalo ada setan gimana?"
Balqis mengembalikan kunci itu pada Alditra. "Emang di luar ada apaan sih Om Gus? Kok nggak ada lampu rumah satu pun?"
Alditra diam sejenak. Kemudian menjawabnya dengan isyarat karena dia tidak membawa buku.
"Hah.. Apaan sih?" kening Balqis mengerut. Dia berusaha mengerti isyarat dari Alditra.
"Maksudnya di luar sana ada pinguin? Aneh banget emang ada pinguin disini?!"
Alditra menggelengkan kepalanya kesal dengan perkataan Balqis. Karena memang benar mana ada penguin disini?
"Hah... Om Gus! Gila kali ya.. Penguin aja udah nggak mungkin, apalagi Naga?"
Alditra seketika terdiam. Malas dengan tebakan diluar nalar ala Balqis.
Dia sekilas melihat di kegelapan yang ada di belakang Balqis dengan tajam. Lalu memutar roda kursinya dengan kesal karena tingkah Balqis. Bicara dengan Balqis bukanlah hal yang bagus, melainkan membuat jantungnya tidak sehat.
"Loh.. Om Gus.. Kok pergi sih? Gue belum selesei ngomong sama lo!"
Alditra melirik ke belakang. Kepalanya serasa sakit melihat tingkah Balqis yang hobi berteriak-teriak di depannya.
Kenapa sih sama perempuan itu? Aslinya dia sangat aneh! Otaknya juga udah somplak!
Balqis menyusul Alditra lalu membantu Alditra mendorong kursi rodanya dari belakang.
"Hey, Om Gus! Gimana sama kaki lo? Apa sekarang udah bisa jalan kayak gue?"
Alditra pun dengan pasrah menggelengkan kepalanya. Lalu mempercepat laju roda kursinya tidak mau dekat-dekat dengan Balqis.
"Heh.. Om Gus Tungguin kenapa sih? Takut banget kayaknya deket-deket sama Gue! Tenang aja Om Gus gue itu udah jinak loh nggak gigit lagi... lagian gue belum selesai ngomong! Ck!"
Kursi Alditra berhenti. Dia merasa kesal karena Balqis menahannya di belakang.
Tunggu dulu! Bukannya dia itu lagi sakit ya? Tapi kok tenaganya kuat banget kayak orang sehat.
Alditra terdiam dengan pikirannya. Dia merasa heran karena Balqis yang dikatakan sakit malah sangat terlihat sehat.
"Balqis!"
Alditra melirik. Dia melihat Melodi menghampiri mereka dengan terburu-buru. Dia kaget melihat Balqis keluyuran di luar.
"Kamu itu masih sakit. Kenapa malah ada di luar?" tanya Melodi.
"Eu... Gue takut sendirian, Mel," jawab Balqis.
"Ya udah, Ayo kembali ke kobong?" Melodi menarik tangan Balqis. "Kamu harus banyak istirahat, Qis!"
Alditra melirik sekilas pada mereka berdua yang berjalan semakin menjauh.
Terlihat seperti kakak yang tengah memarahi adiknya.
Ting!
Alditra tersentak kaget. Dia pun mengambil ponselnya saat terdengar suara notif pesan masuk.
(Pak, semuanya sudah selesai. Besok saya kirim semua hasilnya.)
Senyuman Alditra menyungging. Pesan singkat itu mampu membuatnya tidur tenang malam ini.
"Al, ada apa? Kenapa kamu tersenyum?"
Alditra langsung menyembunyikan ponselnya. Dia tidak mau Azizah tahu tentang pesan itu.
"Apa kamu saling membalas pesan dengan seseorang?"
Alditra menggelengkan kepalanya. Dia pun memutar roda kursinya masuk ke dalam. Untuknya tidak penting menjawab pertanyaan Azizah, karena itu privasi.
"Al, kamu belum menjawab pertanyaan Teteh ihh."
Alditra menghiraukan teriakan Azizah. Dia masuk ke kamarnya begitu saja.
Kenapa orang-orang selalu ingin tahu urusan saya sih? Nggak Kak Miftah, Kak Zaigham, Ummi Fatimah sekarang Kak Azizah!
****
Sementara itu...
"Bagaimana sekarang Bos? Apa kita masih harus terus mengawasinya?"
"Ya... Kita harus terus awasi gadis itu sampai Tuan muda memberika instruksi selanjutnya!"
"Bagaimana dengan Ayah Gadis itu?!"
"Masih ada di gudang bersama anak buahnya!"
"Cih... Tuan Muda memang serakah! Padahal dia sudah menerima bagian dari wasiat Tuan Besar Jonathan..."
Ya... di dalam kegelapan itu terparkir mobil hitam dan didalanya ada 2 orang pria yang sedang mengawasi Balqis.