SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.
Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.
Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14
Endah Triasti adalah sosok yang selalu menonjol di kalangan murid-murid SMA Rimba Sakti, bukan hanya karena bakat seninya yang luar biasa, tapi juga sikap tenangnya yang kerap membuat orang lain merasa kagum sekaligus canggung. Ia sering terlihat di Balai Seni Rupa, mengerjakan lukisan atau patung dengan ketekunan yang hampir obsesif. Bahkan, guru-guru pun selalu mempercayainya untuk menjadi perwakilan sekolah dalam berbagai kompetisi seni bergengsi, termasuk FLS2N yang akan datang.
Namun, di balik sikap tenangnya, Endah selalu merasa tekanan yang besar. Ia tahu bahwa kesuksesannya bukan hanya miliknya seorang, melainkan juga ekspektasi dari sekolah, keluarga, dan lingkungannya. Tekanan ini yang membuat Endah sering menghabiskan malam-malam di Balai Seni Rupa, mengerjakan proyek seni yang seolah menjadi satu-satunya pelariannya.
Hari ini, Endah duduk sendirian di pojok Balai Seni Rupa, tangannya kotor oleh cat minyak yang baru ia gunakan untuk menyelesaikan sebuah lukisan besar. Pandangannya kosong, matanya menatap jauh ke arah karya yang belum selesai. Di antara warna-warna yang berbaur di kanvas, tergambar sosok perempuan dengan ekspresi marah dan frustasi, sesuatu yang jarang muncul dalam karya Endah.
Pikirannya melayang ke peristiwa kebakaran beberapa hari lalu yang menewaskan Ria Astini, seorang teman sekelasnya yang juga merupakan saingan terdekatnya dalam hal seni. Meski ia tak pernah menyuarakannya secara langsung, ada sesuatu yang mengganjal di hati Endah sejak hari itu. Ria sama seperti dirinya, memiliki semangat yang luar biasa dalam berkarya. Namun, ada perbedaan di antara mereka—Ria selalu tampak lebih berani, lebih lantang menyuarakan keinginannya.
"Kamu gak pernah takut kalah, ya?" Endah ingat bagaimana Ria pernah menantangnya dengan pertanyaan itu. Saat itu, Endah hanya tersenyum, namun di dalam hatinya, ia tahu bahwa kekalahan adalah hal yang selalu menghantui dirinya.
Malam itu, ketika Balai Seni Rupa terbakar, Endah tak bisa tidur. Suara sirine mobil pemadam kebakaran masih terngiang di telinganya, dan bayangan Ria yang masih berada di dalam gedung saat api mulai berkobar menghantuinya. Semua orang mengatakan itu adalah kecelakaan—korsleting listrik yang tak terhindarkan. Namun, Endah merasakan sesuatu yang berbeda. Ada perasaan bersalah yang menyusup ke dalam hatinya, meskipun ia tak bisa menjelaskan alasannya.
Ketukan pintu yang tiba-tiba membuat Endah tersentak dari lamunannya. Sosok tinggi berdiri di ambang pintu. Kevin Abimanyu, wakil ketua OSIS, memasuki ruangan dengan langkah tenang. Ia menatap Endah sejenak sebelum bicara, suaranya rendah namun jelas.
“Ada yang mau ku bicarain, Mbak.”
Endah meletakkan kuasnya dengan hati-hati, kemudian berdiri dan menghapus tangannya dengan kain lap. Ia mengangkat alis, sedikit curiga dengan kedatangan Kevin yang tiba-tiba.
“Ada apa?” tanyanya singkat.
Kevin berjalan mendekat, lalu berhenti di hadapan Endah. “Aku tau Mbak dekat sama Mbak Ria. Aku juga tau, Mbak Endah mungkin merasa terganggu sama apa yang terjadi.”
Endah tak menjawab. Ia hanya menatap Kevin, mencoba membaca ekspresi di wajahnya.
Kevin melanjutkan, “Aku juga tau, ada rumor yang beredar kalau kebakaran itu bukan kecelakaan. Beberapa teman kita lihat hal-hal yang aneh di sekitar Balai Seni Rupa malam itu.”
Endah merasa jantungnya berdegup lebih cepat. "Maksudmu apa? Semua orang sudah bilang itu kecelakaan."
"Ya, tapi kita semua tahu gimana ambisiusnya beberapa orang di sekolah ini. Gak semua orang rela kalah, apalagi dalam kompetisi besar seperti FLS2N. Ada yang bilang... ada seseorang yang sengaja membuat kerusuhan supaya saingannya tersingkir."
“Kevin, kamu gak serius, kan? Kamu pikir ada orang yang benar-benar sengaja ngelakuin ini?”
Kevin menghela napas dan memandang Endah dengan tatapan serius. "Aku gak tau pasti. Tapi aku cuman mau bilang, kalau Mbak tau sesuatu atau ngerasa ada yang aneh, Mbak juga harus hati-hati. Kadang, orang-orang yang kelihatan tenang dan bersahabat justru yang paling berbahaya."
Endah merasa perutnya mual mendengar kata-kata Kevin. Pikirannya kembali melayang ke malam itu, saat Ria memutuskan untuk tetap tinggal di Balai Seni Rupa meskipun sudah disuruh pulang. Apa benar ada orang lain di sana malam itu? Apa benar ada seseorang yang ingin mencelakai Ria?
Sebelum Endah sempat menjawab, Kevin sudah berbalik pergi, meninggalkannya sendirian dengan pikiran yang semakin kacau.
Setelah Kevin pergi, Endah berdiri terpaku di tempatnya. Pikiran tentang malam kebakaran itu kini terasa semakin membebani. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua yang terjadi adalah sebuah kecelakaan, tetapi kata-kata Kevin terus berputar di benaknya. 'Orang-orang yang kelihatan tenang dan bersahabat justru yang paling berbahaya.' Apa maksud Kevin sebenarnya?
Endah duduk kembali di kursinya dan menatap kanvas yang belum selesai. Lukisan yang tadinya ia anggap sebagai pelarian kini berubah menjadi sesuatu yang menekan. Setiap goresan kuas terasa hampa, seperti tak lagi mewakili perasaannya yang sesungguhnya.
Ponselnya bergetar di atas meja, memecah keheningan. Endah meraihnya dan melihat sebuah pesan dari Aisyah.
'Mbak Endah, aku sama teman-teman mau ngobrol. Temui kami di perpustakaan habis istirahat kedua.'
Pesan singkat itu membuat Endah semakin curiga. Aisyah bukan tipe orang yang tiba-tiba menghubunginya, apalagi untuk urusan serius seperti ini. Meski mereka berada di lingkungan yang sama, mereka tidak terlalu dekat. Rasa penasaran mulai menguasai Endah. Apakah Aisyah tahu sesuatu tentang insiden kebakaran itu? Ataukah dia hanya ingin menggali informasi?
Saat bel istirahat kedua berbunyi, Endah merasa hatinya berat, tetapi ia memutuskan untuk menemui mereka. Langkahnya perlahan saat ia menuju perpustakaan. Di sana, Arga, Rian, Nadya, Dimas, dan Aisyah sudah menunggunya. Kelimanya duduk di sebuah meja di pojok ruangan, suasana terasa tegang.
Endah menarik napas dalam-dalam sebelum mendekati mereka. Wajah-wajah mereka menatapnya dengan campuran rasa ingin tahu dan kewaspadaan. Aisyah, yang duduk paling depan, mengisyaratkan Endah untuk duduk di kursi yang kosong di hadapannya.
“Mbak Endah, makasih udah datang,” kata Aisyah dengan suara lembut namun tegas. “Kita cuman pengen tanya, Mbak tau sesuatu tentang malam kebakaran di Balai Seni Rupa?”
Endah terdiam sejenak. Pertanyaan itu seolah menamparnya secara langsung, membuatnya merasa semakin terpojok. “Aku... enggak tahu apa-apa selain apa yang kalian semua sudah tahu. Itu kecelakaan, kan?”
Nadya menyilangkan tangannya di dada. “Banyak yang bilang begitu, tapi kita nemuin sesuatu yang aneh di rekaman CCTV.”
Dimas membuka laptopnya dan memutar ulang rekaman CCTV yang menunjukkan bayangan hitam misterius di sekitar Balai Seni Rupa pada malam kebakaran. Endah menatap layar dengan mata terbelalak. Bayangan itu jelas terlihat mencurigakan, seperti seseorang yang bersembunyi di kegelapan.
“Itu... itu siapa?” tanya Endah dengan suara bergetar.
“Kita juga berharap Mbak bisa bantu jawab pertanyaan itu,” sahut Rian. “Mbak di sini salah satu yang paling dekat sama Mbak Ria. Apa ada yang mencurigakan sebelum malam itu? Apa dia pernah cerita tentang seseorang yang mungkin punya niat buruk terhadapnya?”
Endah mencoba mengingat. Meski ia dan Ria tak begitu dekat sebagai sahabat, mereka sering berbagi ruang di Balai Seni Rupa. Ia ingat Ria pernah berbicara tentang perlombaan yang akan datang, tentang bagaimana ia ingin karyanya menjadi yang terbaik. Namun, tak pernah ada tanda-tanda bahwa Ria merasa terancam atau khawatir.
“Ria enggak pernah bilang apa-apa soal itu,” Endah akhirnya menjawab. “Tapi dia memang fokus banget sama lomba seni. Dia juga sengaja tetap tinggal malam itu buat nyelesain lukisannya. Aku gak tahu kenapa dia ngotot banget padahal udah disuruh pulang.”
Arga mengangguk pelan, seakan mencoba mencerna informasi tersebut. “Kalau gitu, mungkin ada alasan lain kenapa dia tetap tinggal. Mungkin dia merasa harus nyelesain sesuatu sebelum seseorang mendahuluinya.”
Endah menatap Arga dengan bingung. “Maksudnya?”
Aisyah kemudian menyela, “Mbak, kami tau kamu juga salah satu peserta yang diharapkan ikut FLS2N. Dan kita tahu tekanan untuk menang di ajang seperti itu besar. Apa Mbak pernah ngerasain ada persaingan di antara Mbak dan Mbak Ria?”
Pertanyaan itu membuat Endah terdiam. Ia merasakan keringat dingin mulai mengalir di tengkuknya. Persaingan. Kata itu seperti menghantamnya langsung. Meskipun ia tak pernah ingin mengakui hal itu, dalam hatinya ia memang selalu merasa ada kompetisi diam-diam antara dirinya dan Ria. Namun, apakah itu cukup untuk memicu sebuah tragedi?
“Aku yo ndak bakalan ngelakuin apa pun yang bisa nyakitin Ria,” kata Endah akhirnya, suaranya terdengar kaku. “Memang benar ada persaingan di antara kita, tapi itu cuman soal seni. Aku gak tau siapa orang di rekaman CCTV itu, dan aku yo juga ndak tau siapa yang bisa aja nyakitin Ria.”
Semua orang terdiam sejenak, mencerna kata-kata Endah. Meski ia berusaha terdengar meyakinkan, ada ketegangan yang jelas di dalam suaranya. Arga, Aisyah, dan yang lain saling bertukar pandang, tetapi tak ada yang berkata apa-apa.
“Oke,” kata Aisyah akhirnya, mengakhiri percakapan dengan nada yang lebih tenang. “Tenang aja kok, Mbak. Kita cuman pengen tau apa yang mungkin Mbak tau. Kalo semisal Mbak inget sesuatu atau ngerasa ada hal yang janggal, tolong kasih tau kita.”
Endah mengangguk pelan. Ia berdiri, merasa dadanya semakin berat. Pikiran tentang kebakaran, persaingan dengan Ria, dan bayangan hitam misterius itu terus menghantuinya saat ia keluar dari perpustakaan.
Di luar, angin sore terasa dingin menusuk, tetapi tak cukup dingin untuk menenangkan kekacauan yang bergolak di dalam hati Endah.
...—o0o—...