NovelToon NovelToon
Topeng Dunia Lain

Topeng Dunia Lain

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Kutukan / Hantu / Roh Supernatural
Popularitas:258
Nilai: 5
Nama Author: Subber Ngawur

Rafael tidak pernah mengira hidupnya akan berubah saat dia menemukan sebuah topeng misterius. Topeng itu bukan sembarang artefak—ia membuka gerbang menuju dunia lain, dunia yang dihuni oleh makhluk gaib dan bayangan kegelapan yang tak bisa dijelaskan. Setiap kali Rafael mengenakannya, batas antara dunia nyata dan mimpi buruk semakin kabur.

Di tengah kebingungannya, muncul Harun, tetangga yang dianggap 'gila' oleh penduduk desa. Namun, Harun tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain—rahasia kelam tentang topeng dan kekuatan yang menyertai dunia lain. Tapi, apakah Rafael bisa mempercayai pria yang dianggap tak waras ini, atau dia justru menyerah pada kekuatan gelap yang mulai menguasainya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Subber Ngawur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bisikan di Kepala

Rafael membuka matanya perlahan, dan hal pertama yang dia lihat adalah langit-langit putih UKS. Tubuhnya terasa lelah dan berat, seperti baru saja melawan sesuatu yang menguras seluruh tenaganya. Dia berusaha duduk, meski kepalanya masih berdenyut pelan.

Di sampingnya, Nasya duduk dengan wajah penuh kekhawatiran. "Rafael... lo udah sadar?" suaranya terdengar penuh perhatian. Matanya yang biasanya ceria kini dipenuhi kecemasan. "Gue udah nungguin lo dari tadi. Lo nggak apa-apa?"

Rafael masih mencoba memahami situasi. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang belum sepenuhnya pudar dari benaknya. Bayangan-bayangan yang tadi dia lihat di pekarangan, suara-suara yang berbisik di kepalanya, semuanya masih terasa nyata. Tapi dia di mana sekarang? Di UKS?

Dia menggeleng pelan, berusaha menghilangkan bayangan mengerikan itu dari kepalanya. "Nggak apa-apa, gue cuma... sedikit pusing," jawabnya, meski dalam hati dia masih merasa kebingungan dan cemas.

Nasya menatapnya dengan ragu. "Lo yakin? Apa perlu gue hubungin bokap lo? Kayaknya keadaan lo parah, Raf."

Rafael langsung menggeleng cepat. "Nggak usah, jangan hubungin bokap gue. Gue... gue udah baikan." Rafael turun dari kasur UKS, meski kakinya masih terasa sedikit lemas. Dia tidak ingin orang lain ikut campur, apalagi kalau sampai ayahnya tahu soal semua ini. Cukup sudah rasa canggung dan masalah di rumah. Dia tidak mau menambahnya lagi.

Nasya mengerutkan dahi, tidak yakin dengan keputusan Rafael, tapi dia tetap berdiri dan mengikuti langkah Rafael keluar dari UKS. "Raf, lo beneran nggak apa-apa?" tanya Nasya lagi, tapi Rafael hanya diam, berjalan lebih cepat tanpa menjawab.

Di luar UKS, suasana sekolah terasa ramai seperti biasa, tapi kali ini, Rafael bisa merasakan sesuatu yang berbeda. Tatapan aneh datang dari setiap sudut, seolah-olah seluruh sekolah sedang memperhatikannya. Bisik-bisik mulai terdengar, dan kali ini bukan hanya bisikan di dalam kepalanya—melainkan dari mulut siswa-siswa di sekitarnya.

"Lebay banget, deh," celetuk seorang siswa dari pojok.

"Caper mulu, nggak ada kerjaan lain apa?" tambah yang lain, suaranya lebih tajam.

"Kok Tristan tadi nggak nungguin lo? Malu, ya? Haha..." Seorang cewek ikut mencibir sambil terkekeh dengan nada menghina.

Rafael bisa merasakan dadanya semakin sesak, tangan mengepal di sisi tubuhnya. Setiap kata-kata mereka terasa seperti pisau yang menusuk dan mencabik-cabik. Di tengah kerumunan itu, meskipun Nasya ada di sampingnya, Rafael merasa terisolasi, seolah dunia mulai mengepungnya.

"Udah lah, malu kali pacar lo!" Seorang anak lagi berteriak sambil tertawa, disambut sorakan yang semakin keras.

Nasya langsung bereaksi, wajahnya memerah karena marah. Dia maju, menghadang mereka. "Diam, deh! Kalian nggak punya urusan sama Rafael. Ngomong sembarangan aja, pergi sana!" Suaranya penuh kemarahan, hampir seperti sebuah ledakan. Dia menatap mereka dengan pandangan tajam, menantang siapa pun yang berani mengatakan hal lebih buruk lagi.

"Siapa lo? Pembelanya? Halah, kelihatan banget deh lo naksir dia," salah satu anak menyindir lagi, tidak peduli dengan peringatan Nasya.

Nasya tidak tahan lagi. "Lo semua nggak ada otak, ya?! Ngata-ngatain orang seenaknya. Mending lo pada pergi sekarang!"

Keributan di sekitar semakin menjadi-jadi. Siswa-siswa yang tadinya hanya menonton kini mulai ikut terlibat, tertawa atau memberi komentar sinis. Namun, Rafael tidak lagi mendengar semua itu. Dunia di sekitarnya mulai kabur, sementara bisikan di kepalanya kembali, kali ini lebih kuat, lebih mematikan.

"Lihatlah... mereka semua membencimu. Mereka hanya ingin kamu menderita, Rafael."

Rafael terdiam di tengah langkahnya, napasnya semakin cepat dan tidak teratur. "Diam..." gumamnya pelan, tetapi bisikan itu semakin jelas di telinganya.

"Mereka jahat. Mereka hanya ingin menghancurkanmu. Kau tahu apa yang harus kau lakukan... beri mereka pelajaran. Aku bisa membantumu, Rafael..."

Suara itu berputar di dalam kepalanya, mendesak tanpa henti. Semakin keras Rafael mencoba melawan, semakin kuat suara itu menguasai pikirannya, mengendalikan setiap tindakan dan emosinya.

Nasya yang masih ribut dengan anak-anak lain, tiba-tiba menyadari Rafael tidak lagi bersamanya. Dia menoleh dan melihat ekspresi Rafael yang kosong, seolah tidak lagi berada di tempat itu. "Raf, lo kenapa? Kok diem aja?"

Rafael tidak menjawab, wajahnya kaku, matanya kosong. Di dalam kepalanya, bisikan-bisikan itu terus mengontrol setiap pikiran. "Aku... aku gak tahu," suaranya gemetar, tidak stabil. "Lo denger suara itu, Nasy?"

Nasya menatap Rafael dengan bingung, lalu mendekat. "Suara apaan, Raf?" Dia mencoba menyentuh lengan Rafael, tapi Rafael langsung menepisnya dengan kasar, mundur dengan ketakutan di matanya.

"Mereka semua jahat. Hancurkan mereka, Rafael. Aku akan membantumu..."

Rafael meremas kepalanya, kedua tangannya bergetar hebat. "Gue gak mau... gue gak mau..." Dia berbisik pada dirinya sendiri, mencoba melawan dorongan yang datang dari suara-suara itu.

Nasya kaget dan semakin bingung. "Raf, lo ngomong apa sih? Lo nggak apa-apa?" Dia menatap Rafael dengan cemas, tapi Rafael tidak lagi mendengarnya.

Rafael mundur, tidak sadar kakinya membawanya pergi, menjauh dari Nasya dan kerumunan. Dia berjalan tanpa tujuan, tetapi ada sesuatu yang menariknya, sesuatu yang tidak bisa dia tolak. Suara-suara itu semakin kuat, dan tubuhnya semakin lemah untuk melawan.

Tanpa disadari, Rafael sudah berjalan ke pekarangan belakang.

Langkah Rafael semakin berat saat ia berjalan menuju pekarangan belakang sekolah. Bisikan di kepalanya semakin kuat, menekan seluruh pikirannya hingga dia merasa tercekik oleh suara itu. Dia tak sadar ke mana kakinya melangkah, hanya mengikuti dorongan yang membimbingnya ke tempat yang lebih sepi.

"Kau tahu apa yang harus kau lakukan... beri mereka pelajaran, Rafael... mereka semua jahat."

Suara itu terus menggerogoti pikirannya, dan Rafael tidak bisa lagi membedakan antara bisikan itu dan pikirannya sendiri. Tiba-tiba, di tengah perjalanannya yang semakin tidak jelas, dia berpapasan dengan Tristan dan Bimo.

"Raf, lo ngapain di sini?" tanya Tristan, wajahnya tampak khawatir begitu melihat ekspresi kosong di wajah Rafael.

Rafael tidak menjawab, matanya tetap lurus ke depan. Dalam pikirannya, suara-suara itu mendominasi semuanya, membuatnya tidak mendengar apa pun lagi. Tanpa sadar, Rafael mendorong Tristan dan Bimo dengan kasar, membuat mereka hampir jatuh.

"Minggir!" teriak Rafael, suaranya terdengar serak dan penuh amarah.

Tristan terperangah, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. "Raf, lo kenapa?" tanya Tristan lagi, kali ini dengan nada lebih keras, mencoba mengejar Rafael yang semakin jauh.

Rafael terus berjalan, wajahnya tegang dan amarah memenuhi setiap gerakannya. Tristan dan Bimo semakin curiga, merasa ada sesuatu yang sangat salah dengan sahabat mereka ini. Akhirnya, Tristan memberanikan diri untuk berlari lebih cepat, memotong jalan Rafael dan menghadangnya.

"Lo mau ke mana?" tanya Tristan, mencoba menahan Rafael dengan tangannya.

"Minggir!!!" Rafael berteriak lagi, suaranya semakin liar dan keras. Dia mendorong Tristan dengan lebih kuat kali ini, membuat Tristan hampir jatuh.

Melihat Rafael seperti orang kesetanan, Tristan tahu dia harus bertindak. Dengan cepat, tanpa berpikir panjang, Tristan menampar Rafael dengan keras, berharap bisa membuatnya sadar.

Plak!

Rafael terdiam sejenak, tatapannya langsung terpaku pada Tristan, seolah baru tersadar dari mimpi buruk. Dia menatap Tristan dengan ekspresi bingung, seolah tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. "Kenapa lo mukul gue?" tanya Rafael dengan suara serak.

Tristan menarik napas dalam, wajahnya tampak bersalah, tapi dia tahu tidak ada pilihan lain. "Sorry, bro... lo tadi kayak orang ngamuk," ucap Tristan, mencoba meredakan situasi.

Rafael memandang sekelilingnya. Pekarangan belakang sekolah? "Kenapa gue di sini? Perasaan tadi gue baru keluar dari UKS..." Suaranya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. Dia bingung, tidak bisa mengingat bagaimana dia bisa sampai ke sini.

Tristan menatapnya dengan serius, bingung sekaligus khawatir. "Lo beneran gak inget? Lo tadi nyerang gue sama Bimo, terus lo jalan ke sini kayak orang kesurupan," jelas Tristan dengan cemas.

Rafael hanya terdiam, mencoba mengingat apa yang terjadi, tapi semuanya kabur. Di kepalanya, suara-suara itu masih berbisik, meski tidak sekuat tadi. "Gue... gue gak tahu, Tris..." jawab Rafael pelan, ketakutan mulai menguasai dirinya lagi.

Namun, meskipun bisikan itu mulai mereda, Rafael tahu sesuatu yang lebih besar sedang mengintai.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!