~Jingga melambangkan keindahan dan kesempurnaan tanpa celah ~
Cerita ini mengisahkan tentang kehidupan cinta Jingga. Seorang yang rela menjadi pengantin pengganti untuk majikannya, yang menghilang saat acara sakral. Ia memasuki gerbang pernikahan tanpa membawa cinta ataupun berharap di cintai.
Jingga menerima pernikahan ini, tanpa di beri kesempatan untuk memberikan jawaban, atas penolakan atau penerimaannya.
Beberapa saat setelah pernikahan, Jingga sudah di hadapkan dengan sikap kasar dan dingin suaminya, yang secara terang-terangan menolak kehadirannya.
"Jangan harap kamu bisa bahagia, akan aku pastikan kamu menderita sepanjang mejalani pernikahan ini"~ Fajar.
Akankah Jingga nan indah, mampu menjemput dinginnya sang Fajar? layaknya ombak yang berguling, menari-nari menjemput pasir putih di tepi pantai.
Temukan jawabannya hanya di kisah Jingga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rengganis Fitriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sisi Lain Fajar
Beberapa pelayan masih setia mengikuti langkah Fajar, yang sedang mendekap Jingga dalam gendongannya. Suara derap langkah kaki Fajar yang sedang beradu menaiki tangga, sama sekali tak mampu mengusik ketenangan Jingga dalam tidurnya. Langkah dua pelayan berhenti tepat di ambang pintu kamar Fajar.
“Tuan mau makan sesuatu? Atau Tuan, sedang butuh sesuatu?”, salah satu pelayan mendekat, membuat Fajar sejenak menghentikan langkahnya.
Sorot matanya melirik ke arah pintu, sebagai isyarat untuk membukakannya. Dengan sigap pelayan itu lekas melakukan perintah Tuannya. Beberapa detik kemudian, Fajar mengibaskan tangannya.
Jingga masih terlena dalam mimpinya menjadi seorang Cinderella, ia masih enggan untuk membuka mata. Hingga kemudian Fajar mulai meletakkan dengan pelan tubuh istrinya di atas sofa, tempat biasanya Jingga menghabiskan malam.
Fajar beranjak pelan meninggalkan sofa itu untuk mengganti pakaiannya, ia mulai membuka satu persatu kancing kemeja yang ia gunakan, namun pergerakan Jingga, membuatnya tak fokus dan menatap kembali ke arah istrinya.
Jingga masih saja bergerak, seolah sedang mencari kenyamanan dalam sempitnya sofa yang ada. Perlahan tubuhnya mulai bergeser pelan. Hingga lama kelamaan tubuhnya bergeser semakin ke sisi sofa.
Tanpa sadar, Fajar menyaksikan itu dengan perasaan yang awas. Ia menghela nafas yang panjang dan cukup dalam, kala melihat Jingga yang mulai tenang dalam pembaringannya.
“Merepotkan sekali tingkahnya, kalau jatuh bagaimana!” kesal Fajar, malam itu.
Fajar kembali beranjak, meletakkan kemeja yang kotor di tempat yang seharusnya, tiba-tiba saja tubuh Jingga kembali berangsak, hingga membuat tubuh kecilnya hampir terjatuh dan terguling dari sofa. Reflek Fajar berlari kecil menahan kepala dan tubuh Jingga, agar tidak terjatuh ke bawah.
“Dasar wanita bodoh, kamu benar-benar menyusahkan hidupku!”. Desisnya kesal, dengan segala tingkah Jingga hari ini.
Beberapa menit kemudian, Fajar masih di tempat yang sama, kini ia menunduk menatap wajah teduh Jingga, yang sedang terlelap dalam alam mimpinya. Ia menetap dengan sangat lekat perempuan yang bergelar istrinya.
Cukup lama, Fajar melihat wajah istrinya, hingga sebuah pergerakan kecil dari tubuh Jingga, membuatnya tersadar dari lamunan. Ia lekas bangkit menuju pembaringan, mengambil dua buah guling dan meletakkan di sisi kanan Jingga tidur, agar ia tak lagi terjatuh.
***
Sinar matahari mulai menyapa melewati sisi-sisi celah jendela. . Menghadirkan sensasi kehangatan tersendiri bagi penghuninya, mata Jingga mulai berkedut, kala sang mentari menerpa wajahnya. Perlahan ia mulai menerjap-nerjap menggerakkan bola matanya, mencoba mengumpulkan segenap nyawa setelah sekian lama terpejam dalam tidurnya.
Ia mulai menggerakkan tubuhnya dengan pelan, melakukan pergerakan otot-otot untuk melemaskan sendi-sendi. Namun, sesaat kemudian ia berkedip, sebentar ada yang aneh. Ia menyikap selimut tebal yang membalut tubuhnya, kemudian meneliti sekujur tubuhnya.
“Ah syukurlah, aku masih perawan, lagian aku juga sedang datang bulan”. ucapnya dengan lega, kala melihat gaun yang ia gunakan saat pesta semalam masih menempel sempurna di tubuhnya. Begitu juga dengan jilbabnya yang masih terpasang di kepala.
“Tapi tunggu, siapa yang memindahkan aku kemari?”. Matanya terbelalak sempurna, memikirkan segala kemungkinan yang terjadi.
“Tuan, Fajar!”. Ia menutup mulutnya yang sedang menganga, dengan tangan mungilnya.
“Oh tentu saja tidak mungkin”, bantahnya dalam hati.
“Tapi di mana dia sekarang? Apa yang terjadi denganku semalam?”, Jingga memijat-mijat pelipisnya sendiri.
.
.
.
Ceklek
Suara pintu kamar mandi mulai terbuka. Fajar keluar hanya menggunakan handuk kimono yang membalut tubuhnya. Wajahnya terlihat sudah segar, air menetes dari ujung rambutnya jatuh mengenai tubuh putihnya. Ia lekas meraih sebotol air dingin yang berada di atas nakas, tempatnya berhias.
Glek gelek...
Fajar menenggak sebotol air itu hingga tandas. Tanpa Jingga sadari, ia begitu terpesona dengan pemandangan yang ada.
“Jangan memandangku lebih dari tiga detik, atau kau akan jatuh cinta padaku”, desis Fajar, yang kemudian membangunkan Jingga, dari alam mimpinya yang panjang.
Ia menggelengkan kepalnya pelan, menampik ucapan Fajar.
Diam.
Suasana kamar kembali sunyi, Fajar yang sibuk dengan mengeringkan dan menata rambutnya, sedang Jingga masih engga untuk beranjak dari sofa tempat tidurnya.
.
.
.
“Tuan’, cicitnya dengan lirih memanggil suaminya.
Tak ada jawaban yang di berikan. Jingga menejda ucapannya untuk beberapa saat, ia masih mencoba untuk mengumpulkan segenap keberaniannya.
2 menit.
3 menit.
5 menit.
“Dasar wanita aneh, kamu mau mengatakan apa!”, geram Fajar, tanpa melihat wajah Jingga secara langsung, namun ia menatap dari pantulan cermin yang ada di depannya.
“Tuan, maafkan saya, yang semalam sudah merepotkan Tuan Fajar. Ampuni saya atas segala kelakuan dan tingkah bodoh yang sudah saya lakukan, sungguh semua itu di luar kendali saya”. Ucapnya dengan cukup cepat tanpa jeda, seolah sedang keluar begitu saja dalam mulutnya, ia menutup mata kala mengatakan semua itu.
Tanpa Fajar sadari, sudut bibirnya sedikit terangkat membuat lengkung tipis, sangat tipis sekali hingga tak dapat terlihat dengan nyata. Namun ia masih enggan untuk memberikan jawaban atas permintaan maaf Jingga.
Kini Jingga beranjak dari sofa tempatnya berbaring, ia pergi membersihkan badannya terlebih dahulu, mengganti bajunya dengan baju miliknya sendiri. Ia kembali melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar mandi.
“Ahhhh”, ringisnya dengan kuat, kala kaki sebelahnya terkilir masuk, saat hendak meletakkan handuk basahnya. Reflek membuat Fajar berlari menghampirinya.
“Benar-benar wanita bodoh!”, tukasnya dengan memapah Jingga yang sedang tersungkur ke lantai.
***
Dapur
Pagi ini ada yang sedikit berbeda dengan pagi sebelumnya, jika biasanya sejak Jingga bergabung menjadi bagian dari keluarga Dirgantara, ia tidak akan pernah absen untuk membuat sarapan. Namun pagi ini, pelayan sama sekali tidak melihat keberadaan nona muda mereka.
Para pelayan sedang sibuk beradu menyiapkan sarapan untuk majikannya, hari ini mereka memasak soto daging sesuai dengan jadwal yang telah di buat Bu Nadin setiap minggunya.
Para pelayan mulai menata piring di atas meja, menghidangkan soto daging panas, lengkap dengan kerupuk dan printilan lainnya.
Bu Nadin dan Pak Angga, mulai turun dari lantai dua menuju ruang makan, sekilas ia melirik jendela kamar Fajar yang masih tertutup. Keningnya sedikit berkerut dan mata mereka saling memandang, menafsirkan segala kemungkinan yang terjadi.
Kini keduanya sudah berada di meja makan, mata Bu Nadin celingukan kala menatap isi meja makan, ia mencari keberadaan bubur kacang hijau yang sudah di janjikan Jingga semalam.
“Maaf Nyonya, Nona Jingga pagi ini tidak memasak, jadi kami tidak bisa membuat bubur kacang hijau sesuai dengan yang Nyonya minta”, ucap salah satu pelayan dengan membungkukkan badannya.
Beberapa menit kemudian.
.
.
.
Fajar dan Jingga turun bersama, sesuai dengan kesepakatan mereka berdua, jika dalam rumah orang tuanya, akan bersikap layaknya suami istri yang saling menerima.
Mata Bu Nadin terfokus dengan cara jalan Jingga yang nampak berbeda, sala satu kakinya ia seret dengan pelan.
Bu Nadin dan Pak Angga kembali mengukir senyum di wajahnya.
“Bagaimana tidurmu semalam nak?”.
.
.
.
Mohon dukungannya teman-teman, jangan lupa like komen dan subscribe, kasih vote juga, Trimakasih.