Demi menghindari kejaran para musuhnya, Azkara nekat bersembunyi di sebuah rumah salah-satu warga. Tanpa terduga hal itu justru membuatnya berakhir sebagai pengantin setelah dituduh berzina dengan seorang wanita yang bahkan tidak pernah dia lihat sebelumnya.
Shanum Qoruta Ayun, gadis malang itu seketika dianggap hina lantaran seorang pemuda asing masuk ke dalam kamarnya dalam keadaan bersimbah darah. Tidak peduli sekuat apapun Shanum membela diri, orang-orang di sana tidak ada satu pun yang mempercayainya.
Mungkinkah pernikahan itu berakhir Samawa sebagaimana doa Shanum yang melangit sejak lama? Atau justru menjadi malapetaka sebagaimana keyakinan Azkara yang sudah terlalu sering patah dan lelah dengan takdirnya?
•••••
"Pergilah, jangan buang-buang waktumu untuk laki-laki pendosa sepertiku, Shanum." - Azka Wilantara
___--
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 10 - Oleh-Oleh Buat Mama
Azkara tidak bercanda dengan setiap tindakannya. Tanpa peduli cibiran dari orang-orang di sekeliling mereka, Azkara santai saja. Bagi yang tidak mengetahui bagaimana hebohnya kejadian semalam, mungkin akan mengira jika mereka adalah pasangan yang sudah saling melengkapi sejak lama.
Karena memang kegiatan bonceng depan biasanya dilakukan oleh professional dan tidak sembarangan orang bersedia. Kebanyakan mungkin akan malu, dan Azka tidak terlihat begitu. Yang ada Shanum dibuat memerah, sepanjang perjalanan dia hanya menunduk dengan bibir komat-kamit dan berharap tidak akan terlalu banyak yang melihat mereka.
"Ini rumah sakitnya?" tanya Azka menatap sekeliling.
Rasanya dia sudah begitu pelan, tapi entah kenapa rasanya cepat sekali sampai ke tujuan. Entah karena jaraknya yang memang terlalu dekat, atau dirinya kurang lambat, Azkara tidak tahu juga.
"Iya, ayo masuk ... kalau agak siangan ramai, Mas."
Azkara manggut-manggut, siapapn tahu jika sudah agak siang maka pasien akan semakin bertambah. Hal semacam itu bukan hal asing baginya, walau dia bukan tim medis ataupun berkecimpung di dunia kesehatan, tapi Mamanya kerap berbagi cerita setiap pulang kerja.
Begitu masuk, Azkara didampingi sang istri yang memposisikan diri layaknya wali. Semua Shanum lakukan sendiri dan Azkara hanya diminta duduk manis dan menunggu dipanggil untuk ditangani.
"Tunggu ya, Mas," pinta Shanum setelah kembali duduk di sebelahnya dan kini hanya Azkara angguki.
Sebenarnya luka semacam itu kecil bagi Azkara. Di sudah memastikan ketika mandi dan ya, hanya sebuah kecil yang tidak lebih dari tiga senti. Walau memang terasa sakit dan mengeluarkan darah yang cukup banyak, tapi bagi Azkara hal semacam itu sudah biasa dan nanti akan sembuh dengan sendirinya.
Akan tetapi, mengingat sang istri sampai seniat ini demi mengajaknya ke rumah sakit, Azkara menghargai hal itu. Dia cukup sabar menanti dipanggil, mata pria itu masih fokus melihat-lihat pasien lain yang menunggu di sana.
Beberapa saat mengelilingkan pandangan, perhatian Azkara tertuju pada pasangan yang duduk tak jauh dari mereka. Padahal hal semacam ini sudah biasa di mata Azkara, seorang wanita hamil yang tengah dielus perutnya oleh sang suami sangatlah familiar di mata Azkara.
Sayangnya, si suami dari wanita itu salah paham dan sengaja berpindah posisi dan mengalangi istrinya agar tidak bisa dilihat hingga membuat Azkara refleks mengumpat. "Dih? Santai kali."
Sembari berucap pelan, Azkara bergeser dan merangkul pundak sang istri sebagai penegasan jika dia juga punya. Tindakan spontan sukses membuat Shanum berdegub tak karu-karuan.
Bagaimana tidak? Sewaktu awal duduk di sini mereka masih berjarak. Kini, Azkara tiba-tiba mendekat dan merangkul pundaknya. Tak hanya itu, Shanum juga merasakan usapan lembut yang Azka berikan.
"Mas," panggil Shanum mendongak lantaran bingung kenapa sang suami seketika mendekatinya.
"Hem? Kenapa?"
"Aku yang seharusnya tanya, kamu kenapa?"
Azkara berdehem, berusaha menutupi kegugupannya. "Tidak," jawabnya bingung sendiri.
"Num, ini masih lama ya?" Tidak ingin terlalu kentara gugupnya, Azkara mengalihkan pembicaraan.
Masih setia merangkul sang istri tentu saja. Sengaja dia lakukan karena kalau dilepas, maka pria yang tadi melayangkan tatapan tajam ke arahnya akan merasa menang.
Shanum yang sejak tadi fokus dengan ponselnya sama sekali tidak menduga jika ada niat terselubung dibalik rangkulan tersebut. "Bentar lagi, sabar ya."
Walau tidak tahu kapan pastinya, tapi yang bisa Shanum lakukan saat ini hanya itu, sabar. Azkara menghela napas panjang, dia kembali berusaha mencari cara untuk menghilangkan kecanggungan di antara mereka.
"Shanum, boleh aku pinjam handphone kamu?" Setelah sempat bingung hendak bagaimana, perhatian Azkara tertuju pada ponsel yang ada di tangan istrinya.
"Boleh, nih."
Kebetulan belum dimasukkan ke dalam tas, begitu Azkara meminta tanpa basa-basi Shanum memberikannya. Sedikit pun tidak ada kekhawatiran dalam diri Shanum.
"Serius boleh?" Azka mengerutkan dahi, jujur saja dia masih agak tidak menyangka Shanum memberikannya begitu saja.
"Iya boleh."
Mendapat izin sang istri, jelas Azkara tidak akan menyia-nyiakan kesempatan. Tadi malam dia bahkan tidak diizinkan menghubungi keluarganya, dan pagi ini Shanum berbaik hati memberikan ponselnya tanpa curiga.
Walau terkesan santai dan tidak peduli dengan pandangan orang, tapi sejak tadi malam ada satu hal yang cukup mengusik pikiran Azkara, kekhawatiran mamanya.
"Hallo, Ma."
Mata Shanum mengerjap pelan begitu sang suami memulai pembicaraan. Sebelumnya Azka memang tidak bilang, dan Shanum juga tidak bertanya siapa yang hendak dia hubungi.
Tidak banyak yang Azka katakan, dia hanya mengatakan tentang keadaannya dan meminta sang mama untuk tidak khawatir.
"Iya, secepatnya Azka pulang ... jangan nangis, Azka tidak segila itu, Ma."
"Azka?"
Azka, dia menyebut dirinya Azka tatkala bicara dengan mamanya. Kesan pertama yang melekat dalam benak Shanum jelas saja pria itu anak manja. Tanpa sadar hal itu berhasil membuat sudut bibir Shanum tertarik membentuk bulan sabit. Cara bicaranya juga sangat berbeda, entah bagaimana sosok Azka sebenarnya, hingga detik ini Shanum masih dibuat bertanya-tanya.
Selama Azkara bicara, Shanum hanya diam dan mendengarkan dengan seksama. Hanya saja, sejak tadi Shanum terus menatap wajah Azkara yang sesekali tertawa hingga matanya mengecil saking lucunya.
"Ha-ha-ha ... Mama mau oleh-oleh apa memangnya?" tanya Azkara dengan tangan tak bisa diam dan kini memainkan ujung hijab sang istri.
Sesaat, kegiatannya itu terhenti dan kini menatap balik Shanum yang sejak tadi melihatnya hingga wanita itu menunduk seketika.
"Aman, Azka sudah siapkan oleh-oleh buat Mama ... dijamin tidak akan mengecewakan seperti kemarin," ucap Azkara penuh keyakinan sembari terus menatap wajah ayu nan meneduhkan yang kini tengah menundukkan pandangan.
.
.
Selesai bicara pada sang mama Azkara mengembalikan ponsel sang istri. Wajahnya kembali seperti Azkara yang Shanum lihat selama beberapa jam terakhir.
"Sudah?"
"Hem sudah, thanks ya," ucap Azkara layaknya bicara pada teman sebaya.
Shanum mengangguk, lagi-lagi suasana seolah canggung. Azkara tidak membahas pernikahan di telepon, dan hal itu cukup mengusik pikiran Shanum.
Berbagai dugaan mulai bermunculan di benaknya. Apa mungkin Azkara tidak menganggap pernikahan mereka? Apa nanti Azka akan pulang tanpa dirinya? Dan apa mungkin takdir akan sebercanda ini padanya? Sungguh, pikiran Shanum sudah sejauh itu.
"Ehm ... Shanum."
"Iya, Mas?" Shanum mendongak, saking dalamnya dia melamun sampai tidak sadar Azkara sejak tadi memanggilnya.
Pria itu tersenyum tipis, mungkin di mata Azkara Shanum terlalu lucu saja. Entah dari mana asal keberanian Azkara, dia meraih jemari Shanum hingga mata wanita itu membulat seketika "Besok ikut aku pulang mau ya?"
.
.
- To Be Continued -
...Hallow, maaf terlambat😚 Jan lupa sajennya ❣️...
kanebo kering manaaaa
gak boleh num-num