Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga Puluh - Biar Kamu Percaya!
Sampai petang Amara baru sampai di rumahnya. Saat sedang menyetandarkan sepeda motornya dia melihat Alvaro ada di teras rumahnya sedang duduk. Amara mencoba biasa saja saat melihat suaminya, meski ada rindu yang menggebu pada suaminya itu, karena sudah sepuluh hari tidak bertemu. Amara berjalan menuju teras, ia mendekati Alvaro dan meraih tangan Alvaro lalu mencium tangannya. Meski dia kesal dan marah ia tetap melakukan hal seperti itu.
“Kamu kenapa baru pulang?” tanya Alvaro.
“Tadi mampir makan-makan dulu sama Dewi dan teman-temannya,” jawab Amara dengan berjalan masuk ke dalam.
“Kamu marah padaku? Karena aku dari kemarin tidak memberi kabar padamu?” tanya Alvaro pada Amara yang terlihat cuek. Ia raih tangan Amara, lalu menyeretnya dalam pelukannya.
“Ih lepas, gak!” Amara berontak dalam pelukan Alvaro, namun Alvaro malah semakin erat memeluknya. Amara mendongakkan kepalanya, menatap tajam suaminya itu. “Mau mas pulang atau tidak itu bukan urusan aku, Mas!” ucap Amara dingin dan penuh penekanan.
“Kenapa begitu? Apa kamu gak mau menyambut suamimu pulang?” tanya Alvaro. Alvaro paham, pasti istrinya ngambek, karena tidak mendapatkan kabar darinya.
“Tanya pada dirimu sendiri!” tukas Amara, lalu melepaskan diri dari pelukan Alvaro.
“Amara, aku ada hadiah untukmu,” ucap Alvaro.
Amara menghiraukan ucapan Alvaro, ia memilih masuk ke dalam kamarnya, karena sudah terlalu lelah hari ini, ditambah ingatannya kemarin muncul lagi, saat Alvaro bersama dengan Cindi dan Alea di mall. Dan, semalaman di rumah Cindi, tapi Alvaro merasa tidak bersalah sama sekali padanya.
Harusnya Alvaro bisa tegas pada Cindi dan Alea, meksi Alea merengek minta ditemaninya, dia harus tega, karena ada istri di rumah, atau minimalnya dia meminjam ponsel siapa untuk mengabari istrinya, supaya tidak salah paham.
Amara melepaskan jaketnya, lalu menaruh di keranjang kotor, setelahnya ia memilih duduk di tepi ranjang. Alvaro pun turut duduk di sebelah Amara, lalu mengambil kotak kecil yang ada di atas meja. Amara sebetulnya sudah melihat, akan tetapi dia memilih menghiraukannya.
“Ini untuk kamu,” ucap Alvaro.
Amara menerimanya, lalu membuka kotak kecil itu. Ia melihat ada satu set kalung dan cicin dengan model sederhana namun elegan, yang bertahtahkan berlian. Sudah jelas kalung dan cincin itu harganya tidak main-main, akan tetapi Amara tidak meresponnya, dia tidak suka dengan pemberian suaminya itu, mengingat semalam dia lihat suaminya dengan Cindi.
“Kamu tidak suka?” tanya Alvaro.
“Gak pantas buat aku yang begini, ini terlalu mahal, kasihkan pada orang yang cocok pakai ini. Aku ini perempuan kampungan, mana cocok jari dan leherku pakai begituan?” ucap Amara, lalu meletakkan kotak kecil itu di atas meja kembali.
“Kamu kok bilang gitu?!” ucap Alvaro dengan nada cukup tinggi.
“Iya memang begitu, aku gak pantas nerima ini, ada yang lebih pantas menerima ini kok!” jawab Amara.
“Maksud kamu siapa? Cindi?” jawab Alvaro langsung menebak Cindi. Padahal Amara tidak menyebutkannya, tapi Alvaro malah menyebut nama perempuan itu. Sudah sangat jelas, Alvaro masih belum bisa terlepas dari jerat masa lalu dengan Cindi.
Memang yang pantas menerima itu hanya Cindi saja? Banyak perempuan lain, kenapa yang disebut Alvaro hanya Cindi? Jangan-jangan semalam juga Alvaro memberikan hadiah yang lebih spesial untuk Cindi? Dia saja lebih memilih pulang ke rumah Cindi dulu, dan bermalam di sana, daripada pulang ke rumahnya? Sudah jelas bukan, siapa yang ada di hati Alvaro. Bukan dirinya melainkan Cindi. Amara terus berperang dengan batinnya.
“Iya, Cindi?” ulang Alvaro.
“Dari sekian banyaknya perempuan di dunia ini, kenapa hanya Cindi yang kamu sebut? Kelihatan sekali ya, kalau kamu belum bisa melupakannya? Lucu kamu, Mas!” ucap Amara dengan menatap tak suka pada Alvaro.
“Gak usah buang-buang uang gak jelas hanya untuk membelikanku yang seperti ini, Mas! Aku gak butuh itu!” ucap Amara lagi.
“Salah aku membelikan ini untuk kamu? Salah aku kasih hadiah istriku?”
“Salah! Salah besar! Sana kasih saja ke calon istrimu itu, calon istri pilihan mamamu! Kalian kan sudah punya anak juga!” sarkas Amara.
“Aku memberikan ini untuk kamu, Ra! Bukan untuk siapa pun! Apalagi untuk Cindi!” tegas Alvaro.
“Kamu buang-buang waktu saja ya, Mas? Sudahlah aku sudah tahu semuanya, kamu gak usah nutup-nutupin dari aku. Kalau masih cinta dengan Cindi, nikahi saja! Tinggalkan aku! Kan gampang sih? Aku sudah siap buat pisah dengan kamu!”
“Kamu bilang apa sih, Ra! Aku bilang, aku gak suka kamu ucapkan kata pisah!”
“Gak suka tapi kamu masih menemuinya? Gak suka tapi kamu pergi dengan dia, dan terlihat begitu mesra dengan dia? Mau kamu apa sih, Mas? Gak usah pakai alasan ada tugas ke luar kota, Mas! Tinggal bilang saja, sepuluh hari ini aku di rumah Cindi, kan beres? Gak usah bohong, Mas!”
“Maksud kamu apa sih, Ra?”
“Masih mau mungkir? Setelah apa yang aku lihat kemarin kamu masih mau mungkir? Kalau kamu benar ada dinas luar kota, kamu pasti akan memilih pulang lebih cepat, dan segera menemui istrimu, daripada bermalam di rumah perempuan lain, setelah mengajaknya jalan di mall dengan begitu mesra, romantis, sampai disuapi es krim, lalu bermalam di rumahnya, kamu masih tanya apa maksud dari ucapanku tadi?”
“Oke akan aku jelaskan, biar kamu tidak salah paham!”
“Penjelasan yang seperti apa lagi? Ujung-ujungnya ya begini lagi?” ucap Amara.
Amara sudah bosan dengan penjelasan Alvaro yang ujungnya juga akan begitu-begitu lagi.
“Sepertinya memang kita harus berpisah, Mas. Aku tidak mau memaksakan kamu untuk bertahan denganku, dan aku tidak mau memakasa kamu untuk mencintaiku. Lepaskan aku, Mas,” ucap Amara.
Alvaro benar-benar tidak menyangka Amara akan melihat dirinya di mall kemarin malam. Alvaro memang di mall saat itu, tapi tidak dengan Cindi awalnya. Dia hanya mengambil pesanan di toko perhiasan yang ada di sana, dia mengambil kalung dan cincin untuk Amara, yang Alvaro pesan sebelum ia berangkat ke luar kota, Dika pun mengantarkan dia ke mall itu sebelum pergi keluar kota. Itu supaya saat pulang dinas, Alvaro bisa langsung mengambilnya, dan sayangnya saat mengambil cincin dan kalung itu Dika tidak ikut, Dika langsung pulang, karena ibunya tiba-tiba drop, harus segera dibawa ke rumah sakit, Dika pulang lebih dulu daripada Alvaro. Jadi Alvaro pulang sendiri.
Tidak ia sangka setelah selesai mengambil pesanannya itu, Alvaro berpapasan dengan Cindi dan Alea, lalu Alea merengek minta di temani Alvaro di mall, alhasil sampai malam dia di sana dengan Cindi dan Alea. Untuk dia yang disuapi Es krim, memang itu kesalahan Alvaro, kenapa sampai mau disuapi Cindi, meski itu permintaan Alae, tapi harusnya Alvaro menolak, bukan malah mau. Untuk semalaman Alvaro tidak pulang, itu karena Alea jatuh dari wahana bermain anak-anak, kepalanya terbentur dan mengeluarkan darah, harus segera dirawat di rumah sakit, Alvaro yang mau pulang, tapi ia ditahan Alea. Sudah mencoba akan pulang, Alea malah tantrum saat tahu Alvaro akan pulang, jadi dia tidak tega dan memilih menemani Alea di rumah sakit.
“Tolong jangan katakan kata perpisahan lagi, Ra. Aku gak mau, izinkan aku perbaiki semuanya ya, Ra? Aku sudah jelaskan semuanya, kalau kamu tidak percaya tanya Dika yang tahu, dia juga tahu aku pesan ini, karena sebelum berangkat dia yang mengantar aku ke toko perhiasan yang ada di mall itu. Sumpah demi apa pun, aku semalam memang ditahan oleh Alea. Aku tidak tega, karena kepalanya juga baru dijahit,” ucap Alvaro.
“Cukup, Mas! Aku lelah!” ucap Amara.
Alvaro tidak tahan melihat sikap acuh Amara. Ia akhirnya menyeret tangan Amara, membawa Amara keluar, lalu dia ambil kunci mobilnya.
“Mau apa sih, Mas?”
“Biar kamu percaya! Masuk!” titah Alvaro menyuruh Amara masuk ke dalam mobilnya.
Alvaro mengajak Amara ke rumah sakit, supaya Amara lihat sendiri keadaan Alae, supaya Amara percaya, dia juga akan mengajak Amara menemui Dika di rumah sakit itu juga, karena ibunya juga dirawat di sana.