"Sekarang tugasku sudah selesai sebagai istri tumbalmu, maka talaklah diriku, bebaskanlah saya. Dan semoga Om Edward bahagia selalu dengan mbak Kiren," begitu tenang Ghina berucap.
"Sampai kapan pun, saya tidak akan menceraikan kamu. Ghina Farahditya tetap istri saya sampai kapanpun!" teriak Edward, tubuh pria itu sudah di tahan oleh ajudan papanya, agar tidak mendekati Ghina.
Kepergian Ghina, ternyata membawa kehancuran buat Edward. Begitu terpukul dan menyesal telah menyakiti gadis yang selama ini telah di cintainya, namun tak pernah di sadari oleh hatinya sendiri.
Apa yang akan dilakukan Edward untuk mengambil hati istrinya kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Ghina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabur lagi....
"Perlu panggil dokter lagi gak Tuan?” tanya Ria.
“Kita tunggu dulu sebentar.”
Ria menganggukkan kepalanya, “Biar saya saja tuan yang memijat tangan non Ghina,” pinta Ria.
“Saya saja yang pijat, sebaiknya kamu buatkan bubur dan minuman yang hangat,” titah Edward.
“Baik Tuan, saya permisi ke dapur.”
Tangan Ghina dipijat Edward, sesekali dia memencet sela antara jempol dan telunjuk.
“Eeeggh ...." lenguhan Ghina merasa kesakitan.
Kelopak matanya mulai terbuka, dan yang pertama dilihat Dia adalah wajah Edward.
“Minum dulu.” Edward menyodorkan teh yang dibawa Ria, Ghina bangun dan menyadarkan tubuhnya ke headboard ranjang.
“Makasih Om.” Ghina menerima gelas itudari Edward.
Sambil menyesap teh, Ghina mengingat-ingat apa yang terjadi. Sampai dia sudah ada di ranjang.
Perasaan tadi gue lagi nari deh, truss kepala agak pusing ... jangan-jangan gue pingsan lagi ... ah kok jadi selemah ini badan gue. Tapi si Om kok ada di atas ranjang juga!!
Kedua netra gadis itu berpaling dari tatapan Edward, merasa jengah melihat mata Edward.
Tanpa banyak kata Edward duduk di sofa, dan memainkan ponselnya. Sedangkan Ghina tetap duduk di tepi ranjangnya.
“Permisi Non Ghina,” ucap Ria masuk ke kamar tamu, dengan membawa nampan.
“Ya, Mbak Ria.”
Edward hanya melirik sebentar, lalu sibuk kembali dengan ponselnya.
“Makan dulu ya Non, Non Ghina itu belum sehat banget," pinta Ria sambil memberikan semangkok bubur ayam.
“Makasih ya Mbak Ria,” Ghina segera menikmati bubur ayamnya.
“Sayang, ternyata kamu ada di sini,” sapa Kiren dari pintu kamar tamu yang terbuka. Kiren menghampiri Edward dan langsung mengecup bibir Edward di depan Ghina dan Ria.
“Maafkan tadi saya pulang duluan, tidak memberitahu kamu,” ucap Edward sambil merangkul pinggang Kiren.
“Lain kali jangan begitu ya sayang, aku kan calon istri kamu Kak,” jawab manja Kiren.
“Maaf Tuan Besar, saya lupa kasih tahu. Makan malamnya telah siap,” ucap Ria yang tahu jika Ghina tidak suka kehadiran Edward dan Kiren.
“Makasih mbak,” jawab Kiren.
“Eh, kamu kenapa Ghina, sedang sakitkah?” tanya Kiren yang penuh perhatian dengan saudara Edward.
“Hanya pusing aja.”
“Semoga cepat sembuh ya, jangan sampai kamu menyusahkan Om kamu ini, dia banyak pekerjaannya. Jangan gara-gara kamu sakit, Om kamu meninggalkan pekerjaannya,” tutur Kiren pelan tapi dalam artinya.
“Jika menurut mbak Kiren, saya menyusahkan. Kenapa kalian berdua menahan saya di sini!” jawab Ghina tanpa memandang Kiren dan Edward.
“Jaga omongan kamu Ghina, masih untung Kiren perhatian dengan kamu,” ucap Edward yang sudah berdiri di pintu kamar.
“Saya tidak minta perhatian kalian berdua!” Ghina kembali menjawabnya.
“Sayang, sebaiknya kita makan saja, mungkin Ghina sedang sensitif jadi melawan terus,” tutur Kiren menahan lengan Edward yang ingin kembali mendekati Ghina.
Tanpa bicara lagi Edward dan Kiren meninggalkan kamar tamu.
“Non." Ria memanggil Ghina yang termenung.
“Mmmmm ...."
“Non, dihabiskan makannya, nanti minum obat lagi. Biar cepat sembuh.”
“Iya, Mbak." Bubur yang masih ada, pelan-pelan dihabiskannya.
“Non, yang sabar ya selama di sini.”
“Duh kudu sabar ya ...!"
“Mbak Ria, bisa bantu Ghina gak?”
“Bantu apa non?”
“Saya ingin keluar dari mansion ini!”
“Maksud Non, mau kabur. Gimana ya Non, di sini banyak yang jaga.” Ria agak bingung bagaimana cara bantunya.
“Emang Non mau ke mana?”
“Saya mau pulang ke rumah aja Mbak.”
Ria mengerutkan keningnya, memikirkan bagaimana caranya Ghina keluar dari mansion Andre.
“Non, besok pagi bagian dapur akan belanja ke pasar, biasanya saya ikut ke pasar. Bagaimana kalau Non pura-pura jadi pelayan bagian dapur, kebetulan dia pakai hijab. Kalau Non setuju, kita bicarakan dengan mbak Tia di paviliun.”
“Ide yang cemerlang Mbak Ria.” Ghina kembali bersemangat.
“Kalau begitu saya cek keadaan di luar dulu, kalau sudah aman nanti mbak kirim pesan.”
“Siap Bos!” Ghina memberikan hormat ke Ria.
.
.
Jam 9 malam ...
Ria kembali ke kamar tamu, terlihat Ghina sudah menggunakan sweaternya.
“Gimana, aman di luar?” tanya Ghina.
“Aman Non, Tuan Besar dan Nyonya sedang di ruang kerja.”
“Siipp ... lets go!”
Ghina mengikuti Ria menuju paviliun. Tidak banyak makan waktu Ghina berdiskusi dengan mbak Tia bagian dapur. Dan nampaknya Tia bersedia membantu. Baju gamis dan hijab Tia sudah ada di tangan Ghina, jadi besok pagi dia akan menyamar sebagai Tia, dan untung sementara Tia berdiam di kamarnya seakan-akan dia benar benar pergi ke pasar.
Urusan persiapan untuk besok pagi sudah siap, Ghina kembali ke kamar tamu dengan hati yang gembira. Tidak sabar menunggu hari esok.
Sedangkan Edward di ruang kerjanya masih terbayang kejadian tadi pagi, dengan sempurnanya melihat tubuh indahnya Ghina.
Sesekali Edward memijit pelipisnya, hanya teringat saja hasratnya sudah on.
Di dalam kamar tamu, Ghina mulai merapikan barang pribadinya ke dalam tas kecilnya.
Semoga besok di mudahkan untuk keluar dari mansion Om Edward.
.
.
Pagi menjelang ...
Jam 5 pagi, Ghina sudah rapi dengan baju dan hijab pinjaman dari Tia dan tak lupa dia memakai masker.
Ria sudah tiba di kamar tamu.
“Mbak Ria, gimana penampilan Ghina?”
“Sempurna, seperti Tia. Semoga para pengawal tidak curiga.”
“Semoga, bismillah.”
Ria membawa tas kecil dan bergandengan tangan dengan Ghina, mereka menuju pintu belakang. Karena semua pelayan kalau mau keluar harus lewat pintu belakang, baru menuju gerbang utama lewat taman samping mansion.
Ghina berusaha jalan dengan tenang, agar para penjaga mansion tidak mencurigai mereka berdua.
Para penjaga hanya melihat Ghina dan Ria saat mereka berdua lewat, pikir mereka akan pergi ke pasar seperti biasanya.
Aman sesi 1
Lanjut lewat pintu utama, para penjaga hanya melihat saja tidak menegur mereka berdua.
Aman sesi 2
Tibalah Ria dan Ghina di pos security tempat gerbang mansion di buka.
“Wah mau ke pasar ya Tia, Ria?” tanya salah satu security, sambil memencet tombol gerbang.
“Iya Pak,” jawab Ria tenang.
Gerbang Mansion telah terbuka, Ria dan Tia bergegas keluar dari mansion.
“Non, cepat naik ojek,” ucap Ria, menunjuk 2 ojek langganan yang biasa mengantar Ria dan Tia ke pasar.
Ghina hanya mengikuti saja, ke dua ojek tersebut mengantarkan mereka ke pasar. Agar tidak terlalu mencurigai kalau terjadi apa-apa.
Selepas kepergian ojek tersebut, Ghina dan Ria ke toilet umum, Ghina langsung menganti pakaiannya dan menitipkannya kembali ke Ria.
“Mbak Ria terima kasih atas bantuannya, jika ada apa tolong kabarin ke Ghina ya."
“Iya Non, hati-hati pulang ke rumahnya. Mbak hanya bisa bantu sampai di sini aja.”
“Ini sudah bersyukur sudah di bantu mbak Ria.”
Ghina memeluk Ria tanda mereka harus berpisah.
Dia sudah memesan ojek online untuk kembali ke rumahnya.
Jam 8 pagi Ria sudah kembali dari pasarnya dengan membawa belanjaannya, Tia mengendap-endap di taman samping menunggu ke pulangan Ria. Dari kejauhan sudah lihat Ria, Tia langsung menghampirinya dan ikut membawa tentengan plastik belanjaannya.
“Aman gak,” bisik Ria.
“Sementara aman,” jawab Tia. Mereka bergegas ke dapur.
“RIA ... RIA ...!” teriak Edward dari ruang tengah.
DEG
.
.
bersambung...
n