NovelToon NovelToon
LOVE ISN'T LIKE A JOKE

LOVE ISN'T LIKE A JOKE

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Seiring Waktu / Office Romance / Slice of Life
Popularitas:980
Nilai: 5
Nama Author: Yhunie Arthi

Ayuni dan kedua temannya berhasil masuk ke sebuah perusahaan majalah besar dan bekerja di sana. Di perusahaan itu Ayuni bertemu dengan pria bernama Juna yang merupakan Manager di sana. Sayangnya atasannya tersebut begitu dingin dan tak ada belas kasihan kepada Ayuni sejak pertama kali gadis itu bekerja.

Namun siapa sangka Juna tiba-tiba berubah menjadi perhatian kepada Ayuni. Dan sejak perubahan itu juga Ayuni mulai mendapatkan teror yang makin hari makin parah.

Sampai ketika Ayuni jatuh hati pada Juna karena sikap baiknya, sebuah kebenaran akan sikap Juna dan juga teror tersebut akhirnya membawa Ayuni dalam masalah yang tak pernah ia sangka.

Kisah drama mengenai cinta, keluarga, teman, dan cara mengikhlaskan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yhunie Arthi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 21. TELEPON

...“Jika saja ilusi tak menjadi bisikan,...

... tak perlu aku gundah memandangmu....

...Jika saja kenyataan tak menjadi impian,...

...Mungkin tak perlu aku risau mengenalmu....

...Jika saja kebohongan tak menjadi kebenaran,...

...Mungkin tak perlu sesal aku jatuh hati padamu.”...

Nyaris satu minggu aku melakukan rutinitas berbeda dari sebelumnya, terlalu fokus dengan segala yang kukerjakan. Tak jarang kuambil pekerjaan dari rekanku setelah tak ada lagi yang bisa kukerjakan. Kubuat otakku terus berpikir, memaksanya agar tak memikirkan hal yang kudengar dari atasanku sebelumnya.

Tak ada yang menyinggung akan perubahan sikapku, mungkin lebih tepatnya tidak berani. Terlihat jelas bagaimana sikap penolakanku akan segala pertanyaan yang mungkin akan mereka ajukan ketika melihat air mukaku. Sikapku menjawab pertanyaan tak langsung mereka dengan jelas; ‘jangan tanya aku’.

Setelah pertengkaran yang terjadi antara aku dan Bos Juna, tak ada dari kami yang saling menyapa. Tak ada lagi yang mengantarkanku pulang seperti sebelumnya, dan meninggalkan hanya dua pilihan: Pulang sendiri atau pulang dengan dua temanku. Dan sepertinya pulang sendirian tidak terlalu buruk juga. Hanya saja waktu berjalan lebih lambat dibandingkan saat atasanku itu mengantarkanku pulang. Terkadang gelap malam membuatku takut akibat terbiasa pulang bersama orang lain.

Dua temanku sepertinya sadar akan perubahan sikapku itu, dan mereka bertanya sangat sering apa yang terjadi. Mereka berdua memintaku untuk tidak berpikir negatif, karena mereka yakin kalau Bos Juna memiliki alasan kuat yang mungkin tidak bisa dikatakan padaku mengenai foto itu. Salah satunya menjadi pengagum rahasiaku kata mereka berdua, jika diingat betapa Bos Juna memanjakanku sebagai karyawannya. Itu alasan yang kutepis jauh-jauh, hal yang rasanya tidak mungkin kudapatkan di dunia ini. Ini kehidupan nyata dan bukannya Drama Korea yang bercerita manis akan sebuah hubungan percintaan. Tentu itu tidak mungkin.

Walau jujur, aku tidak menyukai situasi ini. Aku tidak senang ketika melihat Bos Juna mengalihkan pandangannya dariku, seakan ia mengatakan dengan jelas dari sikapnya kalau ia tidak ingin melihat atau berurusan denganku.

Semua menjadi semakin mengganggu pikiran ketika berbagai foto dan juga memo kutemukan di meja kerjaku, benda-benda yang sama kutemukan mengenai foto kakakku dan juga seorang pria yang tidak kukenal. Aku masih tidak tahu siapa yang menaruh foto-foto itu dan juga memo mengerikan itu di meja kerjaku. Semua orang yakin kalau tidak ada yang melihat orang mencurigakan, atau orang yang mendekati mejaku dalam waktu lama. Kemungkinan orang itu menaruh semua hal tidak masuk akal itu subuh, sebelum semua orang datang. Hal ini benar-benar menakutkan.

“Kirimkan dokumen ketiga yang ada di Flashdisk ini ke Perusahaan Orlando?” suruh Bos Juna yang memberikan USB kepadaku sebelum ia beranjak pergi, bahkan ketika otakku masih memeroses yang ia katakan barusan.

Dan itulah kontak terakhirku dengannya. Walaupun ia ada di dekatku, beberapa langkah saja dari tempatku berada, atau bahkan berpapasan, ia tidak menghiraukanku. Seolah aku transparan atau memang tidak ada di ruangan ini. Dan aku membenci hal itu.

Dua minggu berlalu begitu saja, membosankan, tidak menyenangkan. Aku lebih sering marah dengan Andre dibandingkan hari biasanya, lebih banyak diam saat nimbrung dengan rekan dan teman-teman kerjaku. Aku tidak ingin mengakuinya, namun aku merasa ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang kurang sejak Bos Juna tidak bicara denganku lagi.

Selama satu minggu terakhir aku berusaha untuk memerbaiki hubunganku kembali dengannya, setidaknya antar karyawan dengan bawahannya. Beberapa kali aku lihat ia selalu sibuk dengan pekerjaannya dan tidak terlihat kalau ia telah makan siang. Ditambah ia juga tidak pernah ikut berkumpul dengan karyawan lain untuk sekedar berbincang atau bergabung makan siang. Beberapa kali kutaruh makanan di atas mejanya ketika ia keluar dari ruangan, berharap kalau itu akan menghilangkan rasa lapar. Lagipula Bos Juna sering sekali melakukan hal yang sama kepadaku, memberikan makanan ketika aku lupa untuk makan siang karena fokus menyelesaikan pekerjaan.

Apa aku melakukan hal yang salah? Apa aku terlalu kasar ketika bertanya mengenai kebenaran foto itu? Kenapa justru aku yang merasa menyesal dan gusar sekarang?

“Kamu ngapain di sini?” kudengar suara dari belakangku.

Aku sadar kalau aku lupa berada di ruang Bos Juna, memberikannya makanan karena seperti kemarin ia melupakan makan siangnya. Dan sepertinya karena melamun aku lupa untuk segera pergi sebelum Bos Juna kembali.

Mata Bos Juna melirik makanan di atas meja sepintas, kemudian menatapku dengan pandangan dingin. Sejak pertengkaran itu, tidak lagi kulihat pandangan lembut dan hangat saat ia melihatku. Dan aku sungguh tidak suka melihat perubahan sikap Bos Juna kali ini.

“Saya permisi,” aku berkata seraya berjalan menuju pintu keluar. Lagipula pandangan mata Bos Juna mengatakan dengan jelas kalau ia tidak senang melihatku di ruangannya.

“Berhenti melakukan hal tidak penting seperti ini,” suaranya menghentikan langkahku tepat saat aku memegang kenop pintu. “Bukankah kamu yang menghakimi saya kemarin, jadi berhenti seolah peduli apakah saya makan atau tidak. Itu bukan urusan kamu.”

Tidak penting? Bukan urusanku?

Dadaku rasanya seakan dicengkeram dengan keras ketika mendengar hal yang baru saja terlontar dari mulut Bos Juna. Aku hanya berusaha untuk membuat keadaan kembali seperti semula, dimana aku bisa melihat ia tersenyum lagi seperti biasanya. Diam dan sikap dinginnya membuatku takut. Seolah akulah penjahat yang sebenarnya di sini, merasa bersalah atas hal yang tidak kulakukan.

Air mata mulai menggenang, kebiasaan setiap kali aku merasa kesal atau marah setelah mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari orang lain.

“Maaf, saya nggak akan ngelakuinnya lagi, Bos.” Sial, suaraku bergetar ketika aku mengatakannya.

Takut terlihat menyedihkan lebih jauh lagi, aku bergegas keluar dari ruangan. Kutundukan kepalaku agar tidak ada yang melihatku dalam raut kacau. Aku tidak suka jika harus menjadi pusat perhatian khususnya dalam keadaan tidak menyenangkan seperti ini.

Aku kembali ke meja kerjaku, mengangkat kepalaku setelah berhasil menenangkan pikiran. Profesional, itulah yang selalu kuterapkan dalam pekerjaan tak peduli serumit apa masalah pribadiku.

Aku sempat tersentak ketika mendengar ponselku berbunyi.

“Dari tadi bunyi tuh,” Andre memberitahuku dari meja kerjanya.

Nomor tak dikenal.

Aku sempat ragu ketika melihat nomor asing yang meneleponku, karena jarang sekali aku mendapatkan panggilan dari nomor baru yang tak ada di kontakku. Niatnya tidak ingin kuangkat, tapi aku takut kalau-kalau nomor itu ada hubungannya dengan kakakku yang jauh di sana—kabar buruk contohnya.

Akhirnya aku mengangkat panggilan itu, sedikit terkejut ketika mendengar suara pria di seberang telepon. Suaranya berat, seperti pria di atas usia tiga puluhan. Dan yang terpenting aku tidak mengenal suara ini. Terdengar sangat asing. Lagipula aku tidak punya kenalan dengan pria baru baya, seingatku.

“Halo? Ini siapa?” tanyaku ragu.

“Kalau ingin tahu tentang kakakmu, datang ke taman kota dekat kantor kamu sekarang,” kata pria tersebut dari seberang telepon.

“Apa? Anda siapa? Apa hubungannya dengan kakak saya?” suaraku cukup kuat hingga banyak orang yang bisa mendengar dan memberikan pandangan penasaran.

Aku membalikkan tubuhku dari mereka semua agar tidak menarik perhatian lebih banyak lagi. Tak sengaja melihat Bos Juna yang berdiri di depan pintu ruangannya—memerhatikanku. Kualihkan tatapanku, berusaha bicara berbisik dan tenang agar tidak menarik perhatian.

“Jika ingin tahu lebih banyak datang saja.” Panggilannya langsung terputus.

Untuk sesaat aku bimbang harus pergi atau tidak. Aku bahkan tidak tahu siapa orang yang meneleponku, bisa jadi orang yang memberikan teror di kantor, atau mungkin orang yang ingin menculikku. Aku tidak tahu.

Tapi ini kesempatan aku tahu tentang yang terjadi, tentang hal-hal aneh dan teror yang terjadi padaku belakangan ini. Ada hal yang disembunyikan dariku oleh Kak Indra, dan sepertinya ia tidak berniat memberitahuku. Jika ia sampai menyuruhku pindah kerja di tempat yang jauh, pastilah ada sesuatu yang terjadi yang ia tidak ingin aku ketahui.

Tak ingin membuang waktu lebih banyak, kusambar tas selempangku dan segera berlari meninggalkan ruangan. Masa bodo dengan pekerjaanku, aku bisa mengurusnya nanti. Yang lebih penting hanyalah kebenaran agar aku mengerti akan masalah yang menimpaku. Aku tidak bisa menjadi orang buta selamanya saat ada orang di luar sana yang mungkin saja ingin aku tahu.

Aku tidak peduli jika kakiku menjerit lelah karena aku berlari tanpa henti, lebih memilih melewati tangga darurat karena lift terlalu lama mencapai lantai tempatku berada. Pikiranku setengah kalut, terus bimbang apakah yang kupilih ini tepat, menghampiri orang asing tak dikenal. Tidak tahu apakah ia musuh atau teman.

Kuhentikan taksi yang melintas, menyuruh sang supir agar pergi ke taman dua kilometer dari kantor dengan cepat. Aku tidak ingin kehilangan orang yang mungkin tahu informasi yang kubutuhkan.

Setibanya di taman, mataku nanar mencari orang yang meneleponku tadi. Mengumpati diriku sendiri karena tidak bertanya akan bertemu di titik mana, padahal jelas teman ini cukup besar.

Kucoba menghubungi nomor yang tadi meneleponku. Dan ia mengangkatnya. Ia menyuruhku agar pergi ke dekat gerbang timur taman, berada di sisi lain tempatku berdiri saat ini. Tak lupa ia menyebutkan ciri-ciri dirinya, pakaian yang ia kenakan dan dimana ia menunggu.

Tak perlu berdebat dengan pikiranku lagi, aku bergegas berlari ke tempat yang dijanjikan. Mataku terus mencari sosok yang disebutkan, tak ingin sampai melewatkannya hanya karena aku panik. Hingga akhirnya aku menemukan orang yang kucari.

1
aca
lanjut donk
Yhunie Arthi: update jam 8 malam ya kak 🥰
total 1 replies
aca
lanjut
Marwa Cell
lanjut tor semangatt 💪
Lindy Studíøs
Sudah berapa lama nih thor? Aku rindu sama ceritanya
Yhunie Arthi: Baru up dua hari ini kok, up tiap malam nanti ☺️
total 1 replies
vee
Sumpah keren banget, saya udah nungguin update tiap harinya!
zucarita salada 💖
Akhirnya nemu juga cerita indonesianya yang keren kayak gini! 🤘
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!