🥈JUARA 2 YAAW S2 2024 🏆
Perceraian, selalu meninggalkan goresan luka, itulah yang Hilda rasakan ketika Aldy memilih mengakhiri bahtera mereka, dengan alasan tak pernah ada cinta di hatinya, dan demi sang wanita dari masa lalunya yang kini berstatus janda.
Kini, setelah 7 tahun berpisah, Aldy kembali di pertemukan dengan mantan istrinya, dalam sebuah tragedi kecelakaan.
Lantas, apakah hati Aldy akan goyah ketika kini Hilda sudah berbahagia dengan keluarga baru nya?
Dan, apakah Aldy akan merelakan begitu saja, darah dagingnya memanggil pria lain dengan sebutan "Ayah"?
Atau justru sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#12
#12
“Sini … sini … sama eyang…” Bu Ratih bergegas mengambil alih Ammar dari pelukan Hilda, bayi berusia 40 hari itu baru selesai mandi, wajah dan tubuhnya yang mulai berisi lemak membuat siapa saja gemas ingin menggendongnya.
“Jangan sampai kelelahan loh, apalagi sampai lupa minum obat, Bu…” Hilda mengingatkan, karena jika sudah menggendong Ammar, Bu Ratih malah jadi lupa istirahat dan minum obat Hipertensi nya.
“Iya… kamu tenang saja.” Begitu jawaban Bu Ratih. Namun hanya iya saja karena ya selalu terulang, Bu Ratih melupakan obat yang seharusnya rutin ia konsumsi.
Satu bulan berlalu, hari-hari baru Hilda lalui dengan tawa bahagia.
Bahkan Bu Ratih nyaris tak berhenti tersenyum bahagia, walau Ammar bukan cucu kandungnya, tapi kehadirannya membawa selaksa bahagia di sela-sela aktivitas hariannya.
Kesibukan di perkebunan kini digantikan oleh Irfan, sementara di dapur Catering Hilda tetap menghandle semuanya, walau ia tak melakukan pekerjaan yang berat pasca persalinannya.
Hampir setiap malam pula, sebelum semua beranjak menuju pembaringan, Irfan selalu menyempatkan diri menimang Ammar, tak bermaksud apa-apa, hanya saja ia senang dan kini mulai terbiasa merasakan perasaan hangat ketika memeluk tubuh mungil bayi itu. Seperti Irfan yang mulai menikmati aktivitas malam sebelum tidur bersama Ammar, begitu pula sebaliknya.
Terkadang bayi itu sedikit menguji kesabaran Hilda, Ammar akan sulit tidur manakala seharian belum di gendong oleh Irfan, karena pria itu harus pergi ke Solo atau beberapa kota untuk urusan pemasaran sayur-sayuran organik dari kebun mereka.
Hal itu pula yang membuat Hilda semakin tak enak hati, ia benar benar ingin segera menguatkan fisik dan memulihkan keuangannya, agar bisa mandiri. Menyewa sebuah kontrakan demi kenyamanan bersama, dan berhenti merepotkan orang lain.
Hilda bahkan sudah bertanya sana-sini pada orang-orang yang bekerja di rumah besar Bu Ratih, biar bagaimanapun, Hilda tak enak dengan Irfan putra Bu Ratih karena menghormati keberadaannya beserta Ammar.
“Terima Kasih, Mas…” Seperti biasa Hilda akan mengambil alih Amar dari gendongan Irfan, kemudian memindahkannya ke kamar.
Selama Ammar belum tidur, Hilda akan menunggu di ruang tengah, sambil merapikan catatan pembukuan Catering, sementara Irfan menimang Ammar di teras rumah. “Biar aku saja yang menidurkannya di kamar.”
“Tidak, Mas… begini saja sudah cukup, aku sudah sangat berterima kasih, karena Mas bersedia menina bobokkan Ammar. Tugas yang seharusnya dilakukan oleh Ayah kandungnya.” Jawab Hilda dengan suara sendu sarat akan luka tak kasat mata.
Irfan terdiam, haruskah ia mengatakannya, bahwa sejak kehadiran Ammar, ia pun ingin menjadi seorang Ayah, merasakan hangat nya cinta dalam rengkuhan keluarga. “Baiklah… aku mengerti, maaf kalau aku melampaui batas, tapi…” Irfan menjeda kalimatnya, “Aku ingin kamu tahu bahwa aku sudah menganggap Ammar seperti anakku sendiri, aku sungguh-sungguh menyayanginya.”
“Terima kasih, Mas… kami permisi mau istirahat, selamat malam.”
Jawaban Hilda sungguh di luar prediksi Irfan, niat hati ingin melontarkan lamaran melalui kalimat sindiran, tapi sepertinya Irfan harus menerima fakta bahwa Hilda tak memahami maksud kalimat yang ia lontarkan.
‘Tak mengapa’, pikir Irfan, masih ada lain waktu, bila perlu ia akan meminta bantuan sang Ibunda untuk menyampaikan maksud hatinya.
.
.
Sendu memayungi wajah Afifah, kecewa sudah pasti manakala kekasih yang ia nanti tetiba membatalkan niat melamar dirinya.
“Maaf…” Hanya itu yang mampu pria itu katakan, sementara ada sekuntum bunga yang sekian lama menunggu sang kumbang mendatangi aroma wanginya.
“Aku menunggu mas, masih menunggumu…” ucapnya dengan hati hancur. “maaf jika dulu aku mengecewakanmu, bahkan menolak maksud baikmu, tapi sungguh aku dalam kondisi terjepit.”
Pria itu adalah Irfan, 5 tahun silam keduanya pernah saling menyukai, Irfan ingin menyegerakan hubungan, sementara Afifah memiliki tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga.
Rasa kecewa karena penolakan Afifah, membuat Irfan memilih mengejar impiannya ke negeri seberang sebagai TKI, melupakan rasa kecewa serta patahnya harapan yang ia susun sejak lama.
Dan kini, rasa yang dulu menggebu, terkubur bersama dengan harapan serta angan yang semu.
Getaran cinta tak lagi Irfan rasakan, perasaan yang dulu menggebu, kini hampa seperti tak pernah ada rasa.
“Apakah benar perasaanku selama beberapa hari ini?”
“Perasaan?”
“Kulihat wajahmu selalu berseri seri ketika menatap wajahnya, bahkan kamu sangat menikmati momen ketika menimang Ammar. Lantas apa aku tak boleh curiga?”
“Itu hanya perasaanmu saja,” Sanggah Irfan.
“Tapi benar kan?” Afifah kembali memastikan.
“Maaf.”
“Apa kelebihannya, Mas? Dia hanya seorang Janda dengan satu anak, apa dibalik wajah polosnya itu ternyata dia juga menggodamu? hingga perasaanmu berpaling dariku?” cecar Afifah, bagaimanapun ia belum bisa merelakan sang pujaan hati.
Irfan tercengang, tak menyangka jika Afifah tega berkata demikian mengenai Hilda, “Astaghfirullah… singkirkan pikiran burukmu, Hilda tak serendah itu, dia wanita terhormat.” Bela Irfan.
“Bagaimana bisa disebut terhormat, jika dia saja tinggal serumah dengan seorang pria dewasa!!” Tuduh Afifah.
“Afifaaaah!!”
“Kenapa? Tidak terima? Itulah bisik bisik yang ku dengar di belakang kalian!!”
“Bisik-bisik?”
“Ya … Mas tidak tahu kan, bahwa di antara para pekerja ada omongan seperti itu?”
“Tapi aku tak tinggal serumah, dengan Hilda, aku tinggal di Mes pegawai, pak Han saksinya,”
“Siapa yang tahu, kalian berdua sama-sama punya kesempatan, bahkan yang ku dengar, Mas baru kembali ke Mes selepas jam 11 malam, apa salah jika ada yang berprasangka??!!!” Jerit Afifah, ia sudah kehabisan akal, rasa kecewa akibat penantian cinta yang tak berbalas, membuat Afifah mulai kehilangan akal sehat, hingga ia mendahulukan prasangka, dibanding logika.
Irfan menggeleng, kemudian berpaling pergi meninggalkan Afifah, “Mas… kita belum selesai bicara!!” Pekik Afifah.
“Bagiku sudah tak ada lagi yang perlu kita bicarakan, kita sudah berakhir sejak lama, bahkan kita tak pernah terikat dalam sebuah lamaran, silahkan mencari lelaki yang baik yang bisa menjadi pendamping hidupmu, karena aku pun sudah memantapkan pilihan hatiku.”
Afifah tertunduk sedih, memandangi Irfan yang berlalu pergi membawa segenggam harapan serta penantian yang kini sia-sia.
.
.
Sementara itu, di rumah Bu Ratih, Hilda pun tak dapat menahan kesedihannya, tanpa sengaja ia mendengar gunjingan orang-orang mengenai keberadaan nya di rumah bu Ratih.
Akhirnya ia memantapkan niatnya untuk pergi dari rumah Bu Ratih.
“Maafkan saya Bu, bukan maksud saya bersikap layaknya kacang yang lupa akan jasa kulitnya. Tapi tak salah jika mereka menggunjing saya demikian, karena pada kenyataannya saya hanya menumpang tinggal di rumah Ibu.”
Bu Ratih menatap iba pada Hilda, ‘sungguh malang nasib wanita ini’, pikirnya. Diceraikan hanya karena tak ada cinta setelah 5 tahun menikah, dan kini setelah melahirkan anak dari mantan suaminya, masih ada pula omongan miring tentang dirinya.
“Seandainya mereka hanya menggunjingkan saya, tak masalah Bu, tapi saya tak terima ketika Ammar dikatakan sebagai anak dari hasil hubungan gelap, Demi Allah saya tak terima Bu.”
“Astaghfirullah… siapa yang berani berkata demikian?”
Hilda menggeleng, sudahlah, ia tak ingin lagi memperpanjang masalah, yang terpenting adalah mencabut akar masalahnya, agar semua bisa diselesaikan dengan baik, tanpa menambah masalah.
“Lalu, setelah keluar dari rumah Ibu, kamu akan tinggal di mana? Bagaimana jika Ammar rewel, sementara kamu tetap harus bekerja? Apa sudah yakin, kalau tempat tinggal barumu nanti sesuai dengan kondisi anakmu yang masih bayi?”
“Insya-Allah bisa bu, kami harus bisa, karena kami hanya bisa mengandalkan diri kami sendiri, Bu.”
“Tidak!!!” Tolak Bu Ratih, “kalian tidak boleh pergi!!! Bagaimana bisa kamu memisahkan seorang cucu dari Eyangnya??!”
“Tapi, Bu…”
“Tapi Apa? Irfan adalah lelaki yang mereka maksudkan toh? Kamu pikir Ibu gak tahu? Ibu tahu, tapi Ibu diam saja, karena Ibu pikir, gosip murahan begitu tak akan mempan, tapi ternyata kamu terpengaruh juga.”
“Saya juga punya perasaan, Bu… saya memang seorang janda, tapi saya…”
“Sudah… jangan dilanjutkan, kalau Ibu melamarmu untuk putra Ibu, apa kamu bersedia menerimanya nak?”
.
.
andai..andai.. dan andai sj otakmu skrg