"Meskipun aku ditodong dengan pisau, aku tidak akan pernah mau menjadi pacarnya. Kalau begitu aku permisi."
"Apa?! Kau pikir aku bersedia? Tentu saja aku juga menolaknya. Cih! Siapa yang sudi!"
Raga heran kenapa setiap kali di hadapkan pada gadis itu selalu akan muncul perdebatan sengit. Bri jelas tak mau kalah, karena baginya sang tetangga adalah orang yang paling dibencinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Karangkuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35
Langit senja berangsur berubah jingga ketika Bri dan teman-temannya akhirnya tiba di bumi perkemahan. Udara sejuk khas pegunungan menyambut mereka, membawa serta aroma tanah basah dan daun pinus.
"Akhirnya!" Vita meregangkan tubuhnya setelah perjalanan panjang. "Aku sudah tidak sabar untuk memasak dan bersantai."
Bri mengangkat alis. "Kita baru sampai, dan kau sudah bicara soal bersantai?"
Vita tertawa. "Tentu saja! Aku bukan tipe yang suka ribet. Lagipula, pacarku akan datang sebentar lagi, jadi mungkin dia bisa membantu kita memasang tenda."
Bri mendengus. "Aku penasaran siapa lelaki yang mau berurusan dengan perempuan semalas dirimu."
Vita hanya terkikik tanpa menanggapi. Sementara itu, mereka mulai membongkar barang-barang dari mobil dan mencari tempat yang pas untuk mendirikan tenda.
Tenda telah didirikan dengan berbekal buku manual di tangan Nina dan video yang ditonton Bri mereka akhirnya berdiri menatap tenda yang cukup kokoh. Bri dan Nina yang lelah melepas sepatu dan berbaring sejenak di dalam tenda diiringi dengan sapuan angin sore.
Namun, belum lama mereka mencari, sebuah suara yang sangat dikenal Bri terdengar dari belakang.
"Hei! Tempat itu milik kami!"
Bri menegakkan badan dan mengintip keluar. Dia menemukan sosok yang sama sekali tidak ingin ia temui di tempat sesunyi ini. Raga.
Ia berdiri dengan tangan di pinggang, ekspresi tidak senang tergambar jelas di wajahnya. Di sampingnya, ada seorang pria lain yang tak lain adalah pacar Vita, Eka dan tiga orang temannya yang lain.
"Apa maksudmu?" Bri keluar dari tenda dan berdiri sambil menyilangkan tangan. "Kami duluan yang mendapatkan tempat ini."
"Tapi kami sudah menandainya sejak tadi," sahut Raga dengan santai.
Bri mendengus. "Mana buktinya?"
Eka, yang tampaknya tidak ingin terjadi pertengkaran, mencoba menengahi. "Sebenarnya kami memang tiba lebih dulu, lalu pergi sebentar untuk mengambil barang."
"Itu bukan urusanku," potong Bri. "Kalau pergi, artinya kalian kehilangan tempat ini."
Raga menyipitkan mata, jelas tak terima. "Jangan seenaknya. Kau tidak bisa merebut milik orang lain begitu saja."
"Aku tidak merebutnya! Kami memang sedang mencari tempat, dan ini yang paling pas."
Perdebatan mulai memanas, membuat Vita dan Eka saling berpandangan canggung. Vita menarik lengan Bri. "Sudahlah, kita cari tempat lain saja—"
"Tidak!" Bri bersikeras. "Aku tidak mau menyerah hanya karena si kepala batu ini!"
"Siapa yang kepala batu?" Raga mendekat, menatap Bri dengan tatapan menantang.
"Kau, tentu saja," sahut Bri tajam. "Selalu merasa benar dan menyebalkan."
"Setidaknya aku tidak seenaknya merebut tempat orang," balas Raga.
Bri mengepalkan tangan. Dalam hati, ia tahu perdebatan ini bisa berlangsung selamanya jika tidak ada yang mengalah. Maka, dengan ekspresi penuh kemenangan, ia meraih botol minum yang berada di tangan Raga , lalu melemparkannya ke genangan lumpur di dekat mereka.
Pluk!
Cairan dalam botol menyembur keluar saat menghantam lumpur, menciptakan cipratan kotor di sekitar. Raga terbelalak. "Kau?!"
Bri tersenyum puas. "Sekarang kau bisa pergi dan mencari tempat lain."
Tanpa banyak bicara, Raga menatap Bri tajam, lalu dengan gerakan cepat, ia merebut salah satu sepatu Bri yang tergeletak di dekat tenda. Sebelum Bri bisa bereaksi, Raga sudah melemparnya ke sungai dangkal yang mengalir di dekat mereka.
Byur!
Bri terpaku, memandang sepatunya yang kini mengapung dengan tenang di permukaan air sebelum perlahan tenggelam. Ia menoleh kepada Raga dengan tatapan membunuh. "Kau!"
"Kau mulai duluan," Raga menjawab santai, meski ada sedikit senyum puas di wajahnya.
Vita dan Eka menghela napas bersamaan. "Mereka benar-benar seperti anak kecil," gumam Vita.
Seorang pria agak gemuk bernama Theo menggaruk kepalanya. "Bagaimana kalau kita pasang tenda bersama saja?"
Bri dan Raga menoleh bersamaan. "Apa?"
"Benar. Daripada ribut terus," lanjut Didin teman Raga lainnya, "lebih baik kita mendirikan tenda di tempat ini bersama-sama. Lagipula, tempatnya cukup luas."
Bri menggerutu, tetapi melihat keadaan—dan kenyataan bahwa ia tidak ingin berjalan jauh hanya untuk mencari tempat baru—ia akhirnya mengangguk dengan enggan.
"Terserah," katanya, "tapi aku tidak mau berbagi apa pun dengan dia."
"Aku pun tak sudi," sahut Raga cepat.
Dan dengan demikian, mereka mulai mendirikan tenda, meskipun dengan atmosfer yang dipenuhi ketegangan.
Malam tiba, dan perkemahan mulai dipenuhi suara-suara canda tawa dari kelompok lain. Cahaya api unggun menerangi wajah-wajah yang menikmati malam dengan makanan dan cerita.
Bri duduk dengan tangan bersedekap, masih kesal karena harus berbagi tempat dengan Raga.
"Jangan cemberut begitu," goda Vita. "Nanti wajahmu jadi berkerut permanen."
Bri melotot. "Kau kira aku bisa menikmati ini setelah insiden tadi sore?"
Vita hanya terkikik, sementara di sisi lain, Raga tampaknya menikmati makanannya tanpa peduli pada Bri.
Langit malam di perkemahan terbuka begitu luas, bertabur bintang yang berkilauan. Langit semakin malam Brin melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul 11 malam . Angin dingin berembus lembut di antara pepohonan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang jatuh. Api unggun di tengah perkemahan berderak pelan, cahayanya menari di wajah-wajah para peserta kemah. Raga dan teman-temannya serta Bri dan dua orang sahabatnya duduk melingkar, menikmati hangatnya api. Dua pasangan duduk berdekatan saling menggoda satu sama lain.
“Jadi, siapa yang berani cerita horor?” tanya Theo. salah satu teman mereka yang sejak tadi sibuk memanggang marshmallow. Bri yang duduk di ujung sambil menopang dagu sambil menatap pria itu dengan malas kerjaannya makan terus pikir Bri.
“Tidak perlu cerita horor,” sela Raga. “Cukup lihat wajah Dindin saat bangun tidur, sudah menyeramkan.”
Tawa pecah. Dindin pura-pura tersinggung, lalu menoleh ke arah Eka yang duduk agak jauh dari mereka, sibuk memasukkan jagung ke dalam sebuah tusukan lidi.
“Eka ayo mulai."
Eka mendongak, menatap mereka dengan malas. “Menariknya di mana? Lagipula, cerita horor itu hanya omong kosong untuk menakut-nakuti diri sendiri.”
“Ah, skeptis seperti biasa,” gumam Raga sambil terseyum tipis.
Tiba-tiba, sebuah suara aneh terdengar dari belakang mereka. Suara erangan rendah, disertai dengan napas berat. Semua orang langsung menoleh, mendapati salah satu teman mereka, Theo, terjatuh ke tanah sambil menggeliat. Matanya terbuka lebar, tetapi tatapannya kosong. Bibirnya bergetar, seperti hendak mengatakan sesuatu, tetapi hanya suara geraman yang keluar.
“Astaga! Theo kenapa?!” seru Vita panik.
“Kesurupan!” Dindin langsung bangkit dan mundur beberapa langkah.
Bri menghela napas panjang, lalu berkata, “Jangan konyol. Mungkin dia hanya bercanda atau terkena serangan panik.”
Namun, tubuh Theo tiba-tiba menegang. Ia mendadak tertawa kecil, lalu berbicara dengan suara yang lebih dalam dari biasanya, “Kalian berisik sekali, Mengganggu ketenangan kami.”
Semua orang menjerit, kecuali Bri yang hanya menatap dengan ekspresi datar, masih duduk dengan tenang. Raga mencoba mendekati temannya itu dengan hati-hati. “Theo? Kau bisa mendengar kami?”
Pria itu menoleh perlahan. Senyumnya melebar dengan cara yang tidak wajar. “Theo? Siapa itu? Aku sudah lama di sini.”
Eka hampir pingsan di tempat. Vita berlindung di balik punggungnya.
“Baiklah, ini tidak lucu lagi,” kata Bri sambil menyilangkan tangan.
“Kau pikir ini bercanda?” suara Theo semakin serak dan berat. Ia lalu menatap Bri tajam. “Kau tidak percaya, ya?”
Bri tetap tidak terpengaruh. “Tentu saja tidak. Kau bisa saja hanya akting. Lagipula, suara serakmu itu terdengar lebih mirip orang yang terkena dehidrasi daripada kerasukan mahluk gaib.”
Tiba-tiba, Theo berteriak keras. Badannya menegang, lalu jatuh ke tanah dengan keras. Semua orang makin panik.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Nina dengan suara gemetar.
“Aku—Aku pernah melihat ini di film. Kita harus membaca doa atau mencari seseorang yang bisa mengusir makhluk halus!” jawab Dindin panik.
Raga mengangguk cepat. “Baiklah, kita coba saja.”
Mereka pun mulai berdoa dengan suara tidak karuan. Vita membaca doa dengan terbata-bata, Eka memegang ranting seolah-olah itu benda suci, dan Raga mencoba menepuk-nepuk pipi Theo agar ia sadar.
Sementara itu, Bri hanya menatap mereka semua dengan ekspresi yang semakin bosan. “Kalian ini benar-benar kebanyakan menonton film.”
Saat itu juga, Theo mendadak mengerang lebih keras dan tubuhnya kembali menegang. Semua orang makin panik. Raga mencoba menggoyangkan tubuhnya, tetapi tidak ada reaksi.
“Kita butuh air!” seru Eka. “Biasanya orang kesurupan bisa sadar kalau disiram air.”
“Aku tidak yakin itu cara yang benar, tapi baiklah,” sahut Raga.
BYURR!!!
Tiba-tiba, Theo tersedak dan langsung terbatuk-batuk. Ia bangkit dengan ekspresi kebingungan. “Kenapa aku basah?”
Semua orang menatap siapa pelaku yang menyiramkan Theo air sebanyak itu. Dari belakang Bri berdiri dengan wajah datar sambil memegang ember yang cukup besar.
"Kau sudah sadar kan?" tanyanya tanpa rasa bersalah.
Semua orang kembali menatap Theo dengan cemas. “Kau tadi kesurupan!” seru Vita.
Theo mengerutkan dahi. “Kesurupan? Aku hanya merasa pusing dan tiba-tiba semuanya gelap.” Keheningan melanda.
Bri menatap semua orang dengan tatapan penuh kemenangan. “Lihat? Aku bilang juga apa? Orang ini hanya pingsan karena kelelahan atau terlalu banyak makan."
Raga menatapnya sinis dan teman-temannya yang lain saling bertukar pandang, lalu menatap Theo yang masih kebingungan. Eka menggaruk kepalanya. “Jadi, tidak ada makhluk halus?”
“Yang ada hanya ketakutan kalian sendiri,” jawab Bri dengan nada puas.
Semua orang terdiam. Lalu, tanpa aba-aba, Eka mendekati Theo dan berkata, “Kau baik-baik saja? Lihat dirimu. Kau basah kuyup kawan.” Theo mengangguk pelan, lalu tiba-tiba menatap Bri dengan sinis seperti tidak terima dengan perbuatan wanita itu.
"Jadi sebenarnya kau memang sedang bercanda ya?" tanya Didin berusah mencerna apa yang terjadi.
"Apakah aku sukses?" Theo tersenyum bangga namun segera memeluk dirinya karena perlahan dia kedinginan.
"Sialan kau Theo!" Raga sudah siap melayangkan tinjunya namun dihentikan oleh Theo.
"Aku ganti baju dulu, dingin sekali. Dan terima kasih untuk teman kita Bri karena sudah menyelamatkan kalian semua dari rasa cemas," ucap Theo yang terdengar sinis.
Bri balas menatapnya dengan malas. "Sama-sama."