Di dunia yang penuh intrik dan kekuasaan, Liora, seorang wanita penerjemah dan juru informasi negara yang terkenal karena ketegasan dan sikap dinginnya, harus bekerja sama dengan Darren, seorang komandan utama perang negara yang dikenal dengan kepemimpinan yang brutal dan ketakutan yang ditimbulkannya di seluruh negeri. Keduanya adalah sosok yang tampaknya tak terkalahkan dalam bidang mereka, tetapi takdir membawa mereka ke dalam situasi yang menguji batas emosi dan tekad mereka. Saat suatu misi penting yang melibatkan mereka berdua berjalan tidak sesuai rencana, keduanya terjebak dalam sebuah tragedi yang mengguncang segala hal yang mereka percayai. Sebuah insiden yang mengubah segalanya, membawa mereka pada kenyataan pahit yang sulit diterima. Seiring waktu, mereka dipaksa untuk menghadapi kenyataan. Namun, apakah mereka mampu melepaskan kebencian dan luka lama, ataukah tragedi ini akan menjadi titik balik yang memisahkan mereka selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah Terakhir Kary
Sudah dua hari berlalu, tetapi keadaan masih tetap sama. Pasukan khusus yang dikirim oleh negara kembali melanjutkan pencarian, menyusuri setiap kemungkinan persembunyian sang ketua musuh yang berhasil melarikan diri. Selain itu, mereka juga berusaha mengungkap siapa dalang di balik pelariannya.
Sementara itu, kondisi Darren semakin membaik berkat perhatian dan bimbingan Liora yang terus mengawasinya. Dengan perlahan, pikirannya mulai terbuka. Ia menyadari bahwa jika hanya diam dan pasrah, tidak akan ada perubahan, apalagi keberhasilan. Darren ingin bangkit, bukan hanya demi dirinya sendiri, tetapi juga untuk mengubah nasib adiknya yang tengah tertimpa kemalangan.
"Bagaimana hasil pencarian?" tanya Komandan Besar dengan sorot mata tajam, menatap Andes yang baru saja kembali dari markas lama The Iron. Andes dan timnya telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyisir setiap sudut, mencari jejak sekecil apa pun yang mungkin tertinggal saat Iron melarikan diri.
Andes menggeleng pelan, ekspresinya menunjukkan kekecewaan. "Tidak ada tanda apa pun, Komandan," jawabnya dengan suara datar, meski terdengar ada nada frustrasi di dalamnya. Ia sudah melakukan pencarian secara menyeluruh, memeriksa setiap detail, namun hasilnya tetap nihil. Tidak ada bekas, tidak ada petunjuk, seolah Iron menghilang tanpa jejak.
Komandan Besar menghela napas berat. Keadaan ini semakin menyulitkan mereka. Tanpa petunjuk yang jelas, menemukan Iron akan menjadi tugas yang jauh lebih rumit daripada yang mereka bayangkan.
Darren terdiam, membiarkan pikirannya kembali berputar, mencari cara untuk mendapatkan jejak yang hilang. Wajahnya serius, matanya menatap kosong ke depan, namun pikirannya bekerja keras menyusun kemungkinan. Bagaimana cara menemukan mereka? Apa ada petunjuk yang terlewat?
Di dekatnya, Liora juga tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia duduk dengan diam, menimbang segala kemungkinan, mencoba menghubungkan setiap kepingan informasi yang mereka miliki. Keheningan di antara mereka terasa berat, seakan masing-masing sedang berjuang dengan pemikiran mereka sendiri.
Tiba-tiba, Darren mengangkat wajahnya, sorot matanya penuh keyakinan. "Aku sangat yakin mereka masih berada di kawasan Sierra," ucapnya dengan tegas, suaranya memecah keheningan yang menyelimuti ruangan.
"Pasukan yang berjaga di gerbang utama Sierra mengatakan bahwa semuanya aman, tidak ada yang keluar," lanjut Darren dengan penuh keyakinan. Sebelumnya, ia sudah menghubungi pihak keamanan di gerbang masuk Sierra untuk memastikan situasi. Jawaban mereka tetap sama—tidak ada tanda-tanda pergerakan mencurigakan, tidak ada yang meninggalkan kawasan, dan sejauh ini, tidak ada laporan penyerangan.
Komandan Besar, Andes, Liora, dan seluruh tim mendengarkan dengan saksama. Mereka mencerna setiap kata yang diucapkan Darren, mencoba menemukan celah atau kemungkinan lain yang bisa mereka manfaatkan. Keheningan menyelimuti ruangan sejenak, masing-masing larut dalam pemikiran mereka sendiri, berusaha mencari cara lain untuk mengungkap keberadaan musuh.
"Aku tahu!" seru Lucian tiba-tiba, suaranya memecah keheningan. Ia memainkan tangannya dengan antusias, ekspresi wajahnya menunjukkan keseriusan, meskipun ada sedikit kejenakaan yang sulit disembunyikan.
Seketika, semua mata tertuju padanya. Komandan Besar, Andes, Liora, dan yang lainnya menatap penuh harap, menunggu apa yang akan dikatakan pria itu. Lucian menyadari dirinya kini menjadi pusat perhatian, tetapi bukannya canggung, ia justru semakin bersemangat.
"Kita harus melakukan pengawasan di malam hari," katanya dengan penuh keyakinan. "Mereka tidak mungkin bergerak saat hari masih terang, karena mereka tahu kita masih ada di sini. Apa pun rencana mereka, pasti membutuhkan persiapan, dan mereka hanya akan bergerak saat malam tiba."
Semua yang ada di ruangan itu mendengarkan dengan seksama. Kata-kata Lucian masuk ke dalam benak mereka, memancing pemikiran dan pertimbangan masing-masing. Jika dugaannya benar, maka malam nanti bisa menjadi kesempatan terbaik mereka untuk menangkap musuh yang selama ini bersembunyi dalam bayang-bayang.
"Apa yang dikatakannya juga ada benarnya," jawab Andes, mengangguk kecil sebagai tanda setuju. Tatapannya tajam, menunjukkan bahwa ia mulai mempertimbangkan ide Lucian dengan serius.
Komandan Besar yang sejak tadi mendengarkan akhirnya mengambil keputusan. "Baiklah! Siapkan semua peralatan pengawasan malam. Kita akan mulai memantau sampai pagi dini hari, dimulai dari malam ini! Jalankan!" perintahnya dengan tegas, suaranya menggema di ruangan, penuh wibawa dan tanpa keraguan.
Tanpa menunda waktu, para prajurit serta anggota tim lainnya segera bergerak. Mereka mulai bersiap, mengambil peralatan, menyusun strategi, dan membagi tugas. Tidak ada yang berani membuang waktu setelah mendengar perintah langsung dari Komandan Besar. Kini, mereka memiliki rencana baru, dan harapan pun kembali menyala dalam benak mereka.
Liora tersenyum tipis, sudut bibirnya terangkat dengan sedikit ejekan. "Cih, ternyata dia bisa berguna juga," gumamnya pelan, cukup hanya untuk dirinya sendiri. Tentu saja yang ia maksud adalah Lucian. Ternyata pria itu memiliki kegunaan juga, pikirnya dalam hati, masih sulit percaya bahwa ide bagus bisa datang darinya.
Di tengah lamunannya, langkah Darren yang mendekat menarik perhatiannya. Liora menatapnya dengan sedikit heran, tidak menyangka pria itu tiba-tiba menghampirinya.
"Maukah kau menemaniku berjaga malam ini?" tanya Darren tanpa basa-basi, nada suaranya datar namun tegas.
Liora menatapnya dengan pandangan sedikit aneh. Permintaan itu terdengar begitu tiba-tiba. Sejak kapan mereka sedekat ini? pikirnya dalam hati. Darren bukan tipe orang yang banyak berbicara dengannya, tapi sekarang, ia malah mengajaknya berjaga bersama.
Liora berpikir sejenak. Tidak ada alasan baginya untuk menolak, tapi tidak ada salahnya juga jika ia menolak. Namun, pada akhirnya, ia memilih untuk mengangguk, memberi jawaban tanpa banyak kata.
Darren yang melihatnya tetap diam, tanpa ekspresi sedikit pun. Wajahnya tetap tegas, seperti biasa, seolah jawaban Liora memang sudah ia perkirakan. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung berbalik dan kembali menyiapkan peralatannya, fokus pada tugas yang ada di depan mereka.
Liora hanya memperhatikannya sekilas sebelum kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. Entah kenapa, ada sesuatu dari Darren yang sulit ditebak, dan itu membuatnya semakin penasaran.
*
Di sisi lain, masih di Sierra namun di markas yang berbeda, Kary terduduk lesu di dalam ruangannya. Tatapannya kosong, pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan yang semakin memperumit situasi.
Markas kedua mereka terletak di pinggir wilayah Sierra, jauh dari pusat, dengan akses jalan yang sulit dilalui. Ini bukan kebetulan—Kary sendiri yang mengarahkan agar markas kedua dibangun di tempat yang sulit dijangkau, berpikir itu akan menjadi perlindungan terbaik bagi mereka. Namun sekarang, strategi itu justru menjadi penghambat.
Pergerakan mereka semakin terbatas. Dengan kondisi seperti ini, mencari celah untuk melanjutkan rencana mereka bukanlah hal yang mudah. Kary mengepalkan tangannya, merasa frustrasi.
Kary menghela napas panjang, rasanya berat sekali. Pikiran dan perasaan yang bercampur aduk membuatnya hampir tak bisa berpikir jernih. Ia teringat kembali pada malam itu, malam yang sangat mengganggunya. Ketika ia berhadapan dengan kakaknya, yang tak ia duga akan menjadi musuh. Kakaknya kini memimpin pasukan negara, dan di sisi lain, dia harus melawan pasukan yang dipimpin oleh orang yang sama yang dulunya ia anggap sebagai keluarga.
Bertanya-tanya dalam hati, haruskah ia melukai atau bahkan mengakhiri hidup kakaknya sendiri? Kary tahu, ia sudah lama tidak berhubungan dengan keluarganya sejak memilih jalan hidup yang berbeda, jauh dari dunia yang dikenalnya. Namun, itu tidak mengubah kenyataan bahwa mereka tetap bersaudara, ikatan yang tetap ada meski jarak dan waktu memisahkan mereka.
Kary tersenyum tipis, sebuah senyuman yang terlahir dari rasa nostalgia. Sudah lama sekali ia tidak melihat wajah keluarganya, bahkan hanya sekadar mendengar kabar. Dan sekarang, takdir seolah membawa mereka bertemu lagi—bukan di tempat mereka dilahirkan, bukan di New York, tapi di tanah asing, di Spanyol. Apakah ini kebetulan? Atau justru sebuah pertemuan yang diatur oleh takdir?