Gendhis Az-Zahra Bimantoro harus menerima takdir kematian ayahnya, Haris Bimantoro dalam sebuah kecelakaan tragis namun ternyata itu adalah awal penderitaan dalam hidupnya karena neraka yang diciptakan oleh Khalisa Azilia dan Marina Markova. Sampai satu hari ada pria Brazil yang datang untuk melamarnya menjadi istri namun tentu jalan terjal harus Gendhis lalui untuk meraih bahagianya kembali. Bagaimana akhir kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Makin Kejam Saja
Gendhis terbangun dengan terkejut. Tubuhnya basah kuyup dan bau. Ia mencium bau amis dan menyengat dari air yang membasahi tubuhnya. Dengan susah payah, ia membuka matanya dan melihat sekelilingnya. Ia masih berada di ruang tamu, tempat ia pingsan setelah Prasojo mencoba melecehkannya.
Tiba-tiba, Marina muncul di hadapannya dengan wajah yang marah. Wanita tua itu membawa ember bekas cucian pel lantai dan menatap Gendhis dengan tatapan jijik.
"Bangun kamu, perempuan kotor!" bentak Marina, dengan suara yang kasar. "Kamu pikir kamu bisa tidur nyenyak setelah membuat masalah di rumah ini?"
Marina kemudian dengan sengaja menyiramkan sisa air cucian pel lantai yang ada di ember ke wajah Gendhis. Gendhis terkejut dan menjerit histeris. Air kotor itu masuk ke dalam mulut dan hidungnya, membuatnya mual dan ingin muntah.
"Rasakan itu! Kamu pantas mendapatkan hukuman karena sudah berani menggoda suami orang!" kata Marina, dengan nada yang sinis.
Gendhis menangis dan memohon ampun. Ia tidak tahu apa lagi yang harus ia lakukan untuk menghadapi kemarahan Marina.
"Tante, tolong maafkan saya. Saya tidak bersalah," kata Gendhis, dengan suara yang bergetar.
Namun, Marina tidak menghiraukan permohonan Gendhis. Ia terus saja memarahinya dan menyiksanya.
"Kamu ini memang perempuan tidak tahu malu! Sudah berani menggoda suami orang, sekarang masih berani berbohong!" kata Marina, dengan nada yang penuh amarah.
Tidak lama kemudian, Stefanny datang dan melihat kejadian itu. Ia juga ikut marah dan memarahi Gendhis.
"Gendhis, kamu ini memang benar-benar perempuan murahan! Sudah berani menggoda suami saya, sekarang masih berani berlagak tidak bersalah!" kata Stefanny, dengan nada yang sinis.
Stefanny kemudian menghampiri Gendhis dan menampar wajah gadis itu dengan keras. Gendhis terkejut dan merasakan pipinya panas dan sakit.
"Rasakan itu! Kamu pantas mendapatkan pelajaran karena sudah merusak rumah tangga orang!" kata Stefanny, dengan nada yang penuh kebencian.
Gendhis hanya bisa menangis dan pasrah menerima semua perlakuan kasar dari Marina dan Stefanny. Ia merasa sangat sedih dan putus asa. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menghadapi mereka.
"Ya Tuhan, berikanlah aku kekuatan dan kesabaran untuk menghadapi semua ini," doa Gendhis, dalam hatinya.
****
Saat ketegangan mencapai puncaknya, Khalisa, dengan langkah yang tenang namun pasti, memasuki ruangan itu. Wajahnya datar, tanpa ekspresi, namun matanya memancarkan amarah yang terpendam. Seolah-olah kehadiran Marina dan Stefanny belum cukup, kini Khalisa datang menambah teror bagi Gendhis.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Khalisa mengambil piring yang ada di meja dan melemparkannya ke lantai dengan keras. Suara pecahan piring yang nyaring menggema di seluruh rumah, menambah rasa takut dan panik yang dirasakan oleh Gendhis. Ia tahu, ini adalah pertanda buruk.
Gendhis, yang sudah ketakutan sejak awal, kini semakin gemetar. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh ketiga wanita itu padanya. Ia merasa seperti mangsa yang siap diterkam oleh tiga predator yang lapar. Wajah mereka terlihat sangat seram, mata mereka melotot tajam, dan bibir mereka menyunggingkan senyum sinis yang membuat bulu kuduk Gendhis meremang.
"Kamu memang pantas mendapatkan pelajaran!" teriak Marina, dengan suara yang lantang.
"Kamu sudah membuat hidup kami susah!" timpal Stefanny, dengan nada yang tidak kalah kasar.
"Kamu harus belajar untuk menghormati orang yang lebih tua dari kalian!" bentak Khalisa, dengan suara yang penuh amarah.
Ketiga wanita itu kemudian secara bergantian memarahi dan menyiksa Gendhis. Mereka tidak peduli dengan tangisan dan permohonan ampun dari gadis itu. Mereka terus saja melampiaskan amarah dan kekesalan mereka kepada Gendhis, seolah-olah gadis itu adalah sumber dari semua masalah mereka.
Gendhis hanya bisa pasrah dan menerima semua perlakuan kasar dari ketiga wanita itu. Ia sudah tidak berdaya untuk melawan mereka. Ia hanya bisa berdoa dan berharap, suatu hari nanti, keadilan akan datang kepadanya.
"Ya Tuhan, berikanlah aku kekuatan dan kesabaran untuk menghadapi semua ini," doa Gendhis, dalam hatinya.
Ia tidak tahu sampai kapan ia harus bertahan dalam situasi ini. Ia hanya bisa berharap, suatu saat nanti, ia akan bisa bebas dari cengkeraman ketiga wanita yang kejam itu.
****
Di kamarnya yang terkunci, Bismo mendengar dengan jelas jeritan Khalisa, Stefanny, dan Marina dari luar. Ia tahu betul apa yang sedang terjadi. Adiknya, Gendhis, pasti sedang dimarahi dan disiksa oleh ketiga wanita iblis itu. Hatinya hancur mendengar jeritan adiknya yang penuh ketakutan dan kesakitan.
Bismo ingin sekali keluar dari kamarnya dan menolong Gendhis. Namun, ia tidak berdaya. Tubuhnya masih sangat lemah akibat obat-obatan yang diberikan oleh Khalisa dan Marina. Ia tidak bisa bergerak atau bahkan berteriak. Ia hanya bisa terbaring di tempat tidur dan mendengarkan jeritan adiknya dengan hati yang hancur.
"Gendhis ... maafkan aku, Mas," gumam Bismo, dengan suara yang bergetar. "Aku tidak bisa melindungimu. Aku adalah kakak yang tidak berguna."
Air mata Bismo mulai menetes. Ia merasa sangat bersalah dan menyesal. Ia tahu, semua ini adalah salahnya. Ia telah membawa petaka bagi keluarganya karena telah menikahi Khalisa.
"Aku bodoh! Aku sangat bodoh!" kata Bismo, dengan nada yang penuh penyesalan. "Aku telah membuat kesalahan besar dalam hidupku. Aku telah menikahi wanita yang salah."
Ia teringat akan nasihat ayahnya, Haris, sebelum ia meninggal dunia. Ayahnya selalu berpesan agar ia berhati-hati dalam memilih pasangan hidup. Ayahnya tidak ingin ia mendapatkan wanita yang hanya menginginkan hartanya.
"Ayah ... maafkan aku, Ayah," kata Bismo, dengan suara yang lirih. "Aku tidak mendengarkan nasihatmu. Aku telah memilih wanita yang salah. Aku telah membawa bencana bagi keluarga kita."
Bismo kemudian teringat akan Gendhis. Ia sangat menyayangi adiknya itu. Gendhis adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki setelah ayahnya meninggal dunia. Ia tidak ingin Gendhis menderita karena ulahnya.
"Gendhis ... kamu adalah adik yang sangat baik. Kamu tidak pantas mendapatkan semua ini," kata Bismo, dengan nada yang sedih. "Aku berjanji akan melindungimu. Aku akan membuat mereka menyesal telah menyakitimu."
Bismo kemudian memejamkan matanya dan berdoa. Ia memohon kepada Tuhan untuk memberikan kekuatan dan petunjuk. Ia ingin bisa melawan Khalisa dan Marina. Ia ingin menyelamatkan Gendhis dari cengkeraman kedua wanita itu.
"Ya Tuhan ... berikanlah aku kekuatan. Tunjukkanlah jalan yang benar," doa Bismo, dengan suara yang penuh harap.
Ia berharap, doanya akan dikabulkan. Ia percaya, Tuhan tidak akan pernah meninggalkannya dalam kesulitan.
****
Setelah puas melampiaskan amarah mereka kepada Gendhis, Khalisa dan Marina kembali ke ruang makan dengan wajah yang puas. Mereka berdua merasa telah memberikan pelajaran yang setimpal kepada gadis itu.
"Dia itu memang pantas mendapatkan semua ini. Dia sudah membuat hidup kita susah," kata Khalisa, dengan nada yang sinis.
"Iya, dia itu memang tidak tahu diri. Sudah berani melawan kita," timpal Marina, dengan nada yang tidak kalah sinis.
Mereka berdua kemudian memanggil semua asisten rumah tangga yang ada di rumah itu. Mereka ingin memberikan perintah kepada mereka.
"Kalian semua, dengarkan baik-baik!" kata Khalisa, dengan suara yang lantang. "Mulai sekarang, saya tidak mau ada satu pun dari kalian yang membantu Gendhis membersihkan rumah ini."
"Biar dia sendiri yang membereskan semua kekacauan yang telah ia buat," timpal Marina.
"Jika ada yang berani melanggar perintah saya, saya tidak akan segan-segan untuk memecat kalian!" ancam Khalisa, dengan nada yang penuh amarah.
Para asisten rumah tangga hanya bisa menunduk dan mengangguk. Mereka semua merasa takut dengan ancaman Khalisa. Mereka tahu, Khalisa dan Marina adalah orang yang sangat berkuasa di rumah itu. Mereka tidak mau kehilangan pekerjaan mereka hanya karena membantu Gendhis.
"Baik, Nyonya," jawab salah satu asisten rumah tangga, dengan nada yang ketakutan.
"Kami tidak akan membantu Gendhis," timpal asisten rumah tangga yang lain.
Khalisa dan Marina tersenyum puas mendengar jawaban dari para asisten rumah tangga. Mereka berdua merasa telah berhasil mengendalikan semua orang yang ada di rumah itu.
"Bagus. Kalian semua sudah mengerti," kata Khalisa. "Sekarang, kalian boleh kembali bekerja."
Para asisten rumah tangga kemudian pergi meninggalkan ruang makan dengan perasaan yang lega. Mereka tidak ingin berurusan dengan Khalisa dan Marina. Mereka hanya ingin bekerja dengan tenang dan aman.
Sementara itu, di kamarnya yang terkunci, Gendhis masih saja menangis dan meratapi nasibnya. Ia merasa sangat sedih dan putus asa. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menghadapi kekejaman Khalisa dan Marina.
"Ya Tuhan, berikanlah aku kekuatan dan kesabaran untuk menghadapi semua ini," doa Gendhis, dalam hatinya.
Ia berharap, suatu hari nanti, keadilan akan datang kepadanya. Ia percaya, Tuhan tidak akan pernah tidur.