Tampan, kaya, pintar, karismatik mendarah daging pada diri Lumi. Kehidupan Lumi begitu sempurna yang membuat orang-orang iri pada kehidupannya.
Hingga suatu hari Lumi mengalami kecelakaan yang membuat hidupnya berada ditengah garis sial atau beruntung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mesta Suntana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 - Tidak Ada Perubahan
Suara alarm berbunyi begitu kencang. Seseorang dari gulungan kain halus dan hangat itu meronta keluar. Tangannya mencoba mencapai alarm yang ada di mejanya. Ketemu. Tangan kekar itu langsung menekan tombol off. Bunyi bising pun tidak terdengar kembali. Pria itu terbangun dengan setengah rasa kantuk terlihat pada raut wajahnya. Sekarang Dia menggeserkan badannya ke tepi kasur. Kaki panjang itu sudah menginjak lantai. Dia terduduk di tepi kasur. Tangannya meraba-raba mencoba mencari sesuatu.
Halus dan keras terasa pada tangannya. Gagang laci tertarik. Lacipun terbuka, tangan itu kembali mencari sesuatu di dalam laci. Dingin dan keras menyentuh jari - jari tangan, tanpa pikir panjang Lumi langsung mengambilnya. Benda itu terlihat seperti ada empat bagian. Tapi saat mereka di turunkan, benda itu menjadi satu dan tegak seperti tongkat.
Tongkat Instisblind, tongkat itu berguna untuk penuntun jalan bagi penyandang tunanetra. Tongkat itu berbahan alumunium ringan. Bagian ujung kaki tongkat terbuat dari karet tebal anti slip berwarna hitam. Begitu juga bagian kepala tongkat atau bagain handle berwarna hitam dan dibuat senyaman mungkin untuk digenggam. Di bagian ujung handle ada tali. Serta ada warna merah dibagian bawah handle yang jaraknya agak jauh.
Tongkat itu mulai memandu Lumi untuk berjalan. Tongkat itu seperti navigasi yang dapat mengetahui benda di sekitarnya. Seperti saat ini tongkat itu mendeteksi ada benda keras di hadapan Lumi. Lumi mengetuk benda tersebut.
" Keras, ada bagian yang datar, bunyinya begitu bulat dan bertenaga. " Gumam Lumi mencoba menerka-nerka benda apa itu. Sekilas Lumi tersadar, Dia tahu benda apa itu.
" Kursi. "
Tangan Lumi terkepal keras. Raut wajah Lumi terlihat marah. Tanpa rasa kesabaran Lumi menendang dengan keras kursi yang bertengger di ambang tangga. Bunyi itu begitu keras terdengar. Semua pelayan berkumpul dan menghampiri suara keras itu berasal.
Terlihat serpihan kayu berserakan di bawah tangga. Semua pelayan terkejut melihat betapa kacaunya dibagian bawah tangga.
Mata mereka terbelalak begitu hebat. Sorot mata ketakutan begitu memenuhi mata mereka. Suara ketukan sepatu terdengar seperti panggilan kematian. Para pelayan melihat Lumi turun dengan wajah kejamnya yang dingin. Langkahnya terhenti di tengah tangga.
" Sayang sekali bukan aku yang jatuh. " Lumi menyeringai kejam sambil menendang serpihan kursi yang tertinggal di tangga.
" Kalian semua berkumpul di atas, saya tunggu. " Titahnya dengan nada yang rendah namun tegas.
Bagai petir yang menyambar mereka, gemerlap petir memenuhi rumah itu. Itu mimpi buruk bagi para pelayan. Suasana begitu menegang dan mencekik mereka. Saat mereka menaiki tangga sudah tidak ada harapan lagi untuk belas kasihan. Kini semua sudah berkumpul di dekat tangga. Mata Lumi seperti stalaktit yang akan menghujami mereka.
" Satu Pria, siapapun itu ambil kursi kayu yang mana saja, dan cepat! " Dengan cepat salah satu dari mereka berlari mencari kursi.
" Lalu ambilkan aku dasi hitam! Kau yang di dekat balustrade, Ambil! " Pelayan wanita itu terperanjat berlari setelah Lumi memberikan perintah.
" Ini Tuan kursinya. " Suara gugup itu terdengar dari samping Lumi. " Simpan di sana. " Tunjuk Lumi untuk menyimpannya di ambang tangga.
Satu pelayan datang setelahnya. Deru nafas tak beraturan terdengar begitu lelah. " Ini Tuan dasinya. " Suaranya begitu cemas. " Simpan di atas kursi. " Perintah Lumi.
" Mulai dari kanan dan berlanjut secara horizontal, kalian ambil dasi itu, lalu bawa kembali ke tempat kalian berdiri. Setelah itu tutup mata kalian dengan dasi itu dan berjalanlah ke arah kursi itu. "
Para pelayan kembali terbelalak, mereka tidak percaya akan mendapatkan hukuman seperti itu. Terlihat jelas wajah pelayan yang pertama akan melakukannya begitu pucat.
" Ayo maju. " Teriak Lumi.
Pelayan wanita itu berjalan begitu terhuyung - huyung. Dia ingin melarikan diri tapi tidak bisa. Dasi hitam itu sudah menutupi matanya. Tangannya langsung merentang dan meraba-raba. Baru setengah langkah wanita itu berjalan dari arah tangga terdengar suara teriakan. Wanita itu berhenti bergerak.
" Ada apa ini? " Bu Sri dan Pak Diar menghampiri Lumi yang sedang berdiri tegak menghadap para pelayan.
" Tidak ada hanya memberi hukuman. " Ucap Lumi dengan posisi yang tidak bergeming.
" Hentikan ini! " Suara lembut Pak Diar keluar.
" Tidak. " Tolak Lumi.
Brugh.
Suara itu terdengar dari depan Lumi. Barisan kedua paling tengah. Wanita itu terduduk memohon kepada Lumi. " Tolong ampuni saya Tuan, saya minta maaf, saya yang ceroboh menyimpan kursi itu di sana. " Dia menangis sambil menggosokkan kedua tangannya.
Tidak cukup di situ saja, wanita itu langsung menghampiri Lumi dan bersujud di atas kaki Lumi. " Tolong Tuan maafkan saya. Saya akan memperbaikinya kembali. " Pintanya putus asa.
" Jika ku mati apa kau bisa memperbaiki itu. " Pelayan itu tersentak. Lumi kini mulai menunduk.
Wajah Lumi mendekat pada pundak wanita itu. Satu hirupan membuat Lumi teringat. " Ini memang Kau, wangi yang murahan ini samar - samar tercium akibat kontaminasi dari parfum yang tertinggal di udara. " Wanita itu kembali tersentak lemah, air mata terus mengalir begitu deras.
Lumi kembali bangkit. " Pecat Dia! " Perintah Lumi pada Bu Sri. Pelayan wanita itu kini terkulai tak berdaya, pipinya masih dibanjiri dengan air mata.
" Tolong beri Dia kesempatan. " Mohon Bu Sri pada Lumi yang hendak meninggalkan mereka.
Langkah Lumi terhenti. " Jika aku terjatuh dari tangga, tetap saja mereka tidak akan mendapat uang dari ku. "
Lumi meninggalkan mereka dalam suasana yang tidak menyenangkan.