Malam itu langit dihiasi bintang-bintang yang gemerlap, seolah ikut merayakan pertemuan kami. Aku, yang biasanya memilih tenggelam dalam kesendirian, tak menyangka akan bertemu seseorang yang mampu membuat waktu seolah berhenti.
Di sudut sebuah kafe kecil di pinggir kota, tatapanku bertemu dengan matanya. Ia duduk di meja dekat jendela, menatap keluar seakan sedang menunggu sesuatu—atau mungkin seseorang. Rambutnya terurai, angin malam sesekali mengacaknya lembut. Ada sesuatu dalam dirinya yang memancarkan kehangatan, seperti nyala lilin dalam kegelapan.
"Apakah kursi ini kosong?" tanyanya tiba-tiba, suaranya selembut bayu malam. Aku hanya mengangguk, terlalu terpaku pada kehadirannya. Kami mulai berbicara, pertama-tama tentang hal-hal sederhana—cuaca, kopi, dan lagu yang sedang dimainkan di kafe itu. Namun, percakapan kami segera merambat ke hal-hal yang lebih dalam, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama.
Waktu berjalan begitu cepat. Tawa, cerita, dan keheningan yang nyaman
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achaa19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jejak yang tak Terhapus
Bab 22: Jejak yang Tak Terhapus
Setelah keberhasilan program Hati dan Harmoni, Arya dan Reina mulai dikenal sebagai pasangan inspiratif di daerah mereka. Namun, dengan pengakuan yang mereka dapatkan, tanggung jawab yang mereka pikul juga semakin besar. Arya dan Reina harus memastikan bahwa semua yang telah mereka bangun tetap konsisten dan selaras dengan nilai-nilai awal yang menjadi dasar Rumah Cahaya.
---
Suatu sore, saat Reina sedang mengecek laporan kegiatan, sebuah panggilan telepon dari seorang rekan lama membuat suasana menjadi tegang.
“Reina, aku baru dengar kabar ini dari Jakarta. Ada pihak yang ingin membeli lahan di sekitar Rumah Cahaya, termasuk beberapa area yang biasa kita gunakan untuk kegiatan luar ruangan.”
Reina terdiam sejenak. Lahan itu adalah tempat mereka sering mengadakan acara seni dan aktivitas outdoor bagi anak-anak. Jika lahan itu hilang, Rumah Cahaya akan kehilangan sebagian besar daya tariknya sebagai ruang komunitas terbuka.
Ketika Arya kembali ke rumah, Reina segera menceritakan kabar itu.
“Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi, Arya. Tempat itu lebih dari sekadar lahan. Itu adalah ruang yang memberi kebahagiaan bagi anak-anak.”
Arya mengangguk dengan tegas. “Kita harus bertindak. Tapi pertama-tama, kita harus mencari tahu lebih banyak tentang rencana mereka.”
---
Arya dan Reina memutuskan untuk menemui pihak pengembang yang ingin membeli lahan tersebut. Dalam pertemuan itu, mereka berhadapan dengan seorang pengusaha kaya bernama Bram.
“Kami ingin membangun kompleks perumahan modern di area itu. Saya yakin proyek ini akan membawa banyak keuntungan bagi masyarakat,” ujar Bram dengan nada yakin.
Reina menjawab dengan tenang namun tegas. “Lahan itu bukan hanya tanah kosong. Itu adalah tempat yang penuh makna bagi anak-anak dan keluarga di sekitar sini. Kami berharap Anda mempertimbangkan dampak sosial yang akan terjadi jika tempat itu hilang.”
Namun, Bram tampaknya lebih fokus pada potensi keuntungan daripada nilai-nilai sosial yang ditawarkan Rumah Cahaya.
“Kalian punya waktu satu bulan untuk mencari solusi lain. Jika tidak, kami akan melanjutkan rencana kami,” ujarnya sebelum meninggalkan ruangan.
---
Arya dan Reina tidak menyerah. Mereka mulai menggalang dukungan dari komunitas lokal, organisasi sosial, dan bahkan pemerintah daerah untuk mempertahankan lahan tersebut.
Mereka mengadakan aksi damai, membuat petisi, dan mempublikasikan kisah perjuangan mereka di media sosial. Banyak orang yang tergerak oleh kisah itu dan mulai memberikan dukungan, baik dalam bentuk tanda tangan petisi maupun sumbangan untuk membeli kembali lahan tersebut.
“Semakin banyak orang yang peduli, semakin besar peluang kita untuk mempertahankan tempat ini,” kata Reina saat memimpin rapat dengan sukarelawan.
---
Di tengah perjuangan mereka, Arya menerima panggilan dari seorang wanita bernama Sarah. Ia adalah mantan rekan kerja Bram yang merasa terinspirasi oleh apa yang Arya dan Reina lakukan.
“Saya tahu Bram orang yang keras kepala, tapi dia tidak sepenuhnya tanpa hati. Saya ingin membantu kalian berbicara dengannya sekali lagi,” ujar Sarah.
Dengan bantuan Sarah, Arya dan Reina mendapatkan kesempatan untuk berbicara langsung dengan Bram, kali ini dalam suasana yang lebih santai.
“Bram, kami tidak menentang pembangunan. Tapi kami percaya ada cara lain untuk berkembang tanpa menghancurkan apa yang sudah ada,” kata Arya.
Bram terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Jika kalian bisa menunjukkan rencana konkret yang juga menguntungkan masyarakat, saya akan mempertimbangkannya.”
---
Arya dan Reina, bersama tim mereka, segera menyusun proposal untuk menjadikan lahan itu sebagai taman edukasi yang terintegrasi dengan Rumah Cahaya. Taman itu tidak hanya akan menjadi ruang untuk anak-anak bermain, tetapi juga tempat untuk pelatihan keterampilan, bazar lokal, dan kegiatan seni budaya.
Saat mereka mempresentasikan proposal itu kepada Bram, ia tampak terkesan. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Saya akan mendukung rencana ini. Tapi kalian harus mengelolanya dengan baik.”
---
Berita bahwa lahan tersebut berhasil dipertahankan disambut dengan sorak sorai oleh masyarakat. Dalam waktu beberapa bulan, taman edukasi itu mulai dibangun, dengan banyak sukarelawan yang ikut membantu.
Pada hari peresmian taman, Reina berdiri di depan kerumunan dengan mata berkaca-kaca. “Hari ini, kita bukan hanya mempertahankan lahan ini. Kita telah menunjukkan bahwa bersama-sama, kita bisa menciptakan sesuatu yang luar biasa.”
Arya menambahkan, “Dan ini adalah bukti bahwa ketika kita bekerja untuk kebaikan bersama, kita bisa melewati segala tantangan.”
---
Malam itu, Arya dan Reina kembali duduk di beranda, memandang taman yang kini dipenuhi cahaya lampu dan tawa anak-anak.
“Aku merasa kita sudah jauh melangkah, Arya,” ujar Reina dengan senyum lembut.
“Kita sudah jauh melangkah, tapi perjalanan kita belum selesai,” jawab Arya sambil merangkulnya. “Selama ada mimpi, kita akan terus berjalan.”
Dan di bawah langit malam yang penuh bintang, mereka tahu bahwa apa yang telah mereka mulai akan terus hidup, melampaui waktu dan generasi.
Setelah keberhasilan mempertahankan lahan untuk taman edukasi, Arya dan Reina menyadari bahwa perjuangan mereka belum selesai. Masyarakat kini memandang mereka sebagai simbol harapan, tetapi mereka juga merasa beban tanggung jawab yang semakin besar.
---
Beberapa hari setelah peresmian taman, Arya menerima kunjungan dari seorang investor besar, Pak Fadil, yang menawarkan kerjasama. Ia tertarik dengan popularitas Rumah Cahaya dan ingin menjadikannya sebagai bagian dari proyek CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaannya.
“Jika Anda bekerja sama dengan kami, Arya, kami bisa membantu membangun lebih banyak cabang Rumah Cahaya di seluruh Indonesia,” kata Pak Fadil dengan nada meyakinkan.
Arya terdiam. Tawaran itu terdengar menggiurkan, tetapi ada syarat yang membuatnya ragu. Pak Fadil ingin memasukkan nama perusahaannya sebagai bagian utama dari setiap proyek.
“Ini bukan sekadar tentang membangun lebih banyak cabang,” ujar Arya kepada Reina setelah pertemuan itu. “Aku khawatir tujuan awal kita akan tergeser.”
Reina mengangguk. “Kita harus berhati-hati. Jangan sampai kita kehilangan esensi dari apa yang sudah kita perjuangkan.”
Setelah berdiskusi panjang dengan tim, mereka memutuskan untuk menolak tawaran tersebut dengan sopan, meskipun mereka tahu risiko finansial yang harus dihadapi.
---
Keputusan itu membawa dampak lain. Beberapa sukarelawan merasa kecewa karena mereka melihat kesempatan besar untuk memperluas jangkauan Rumah Cahaya.
“Kenapa kita menolak bantuan sebesar itu?” tanya salah satu sukarelawan dalam pertemuan.
Reina mencoba menjelaskan, “Kami tidak ingin proyek ini kehilangan identitasnya. Rumah Cahaya adalah milik komunitas, bukan milik perusahaan mana pun.”
Perdebatan itu membuat Arya dan Reina merasa tertekan. Untuk pertama kalinya, mereka merasakan ketegangan di antara anggota komunitas yang selama ini mendukung mereka.
---
Dalam kegelisahan itu, Arya memutuskan untuk meminta masukan dari orang yang ia percayai—Bu Sari, salah satu sukarelawan tertua yang selalu menjadi pendukung mereka.
“Kadang-kadang, kita harus membuat keputusan sulit yang tidak semua orang pahami,” kata Bu Sari. “Tapi jika hati kalian yakin itu benar, teruslah maju. Orang-orang yang tulus akan tetap bersama kalian.”
Kata-kata itu menguatkan Arya dan Reina. Mereka mulai mencari cara lain untuk membangun kepercayaan kembali, termasuk lebih banyak melibatkan komunitas dalam pengambilan keputusan dan transparansi keuangan.
---
Di tengah tantangan itu, Arya dan Reina memutuskan untuk mengadakan malam refleksi bersama seluruh komunitas Rumah Cahaya. Di bawah langit malam yang penuh bintang, mereka berbagi cerita tentang perjalanan panjang mereka, kesalahan yang mereka buat, dan harapan yang masih mereka pegang.
“Kami tidak sempurna,” ujar Reina dengan suara penuh emosi. “Tapi kami berjanji akan selalu mendahulukan kebaikan bersama.”
Arya menambahkan, “Dan kami tidak bisa melakukannya tanpa kalian. Rumah Cahaya adalah milik kita semua. Bersama, kita akan terus berjalan.”
Suasana malam itu berubah menjadi penuh haru. Banyak sukarelawan yang sebelumnya merasa ragu mulai kembali percaya.
--
Beberapa minggu kemudian, Arya dan Reina menerima kabar baik. Sebuah organisasi nirlaba internasional tertarik mendukung program mereka tanpa syarat komersial. Dukungan itu memungkinkan mereka membuka dua cabang baru di kota-kota kecil yang membutuhkan.
“Kita telah membuktikan bahwa prinsip bisa berjalan seiring dengan kemajuan,” ujar Reina kepada Arya.
Arya tersenyum. “Dan ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Aku yakin kita bisa membawa Rumah Cahaya lebih jauh lagi.”
---
Malam itu, di depan taman edukasi yang baru dibangun, Arya dan Reina berdiri bersama, menyaksikan anak-anak bermain dan tawa menggema di udara.
“Kau tahu, Reina?” kata Arya sambil menatap langit. “Apa yang kita mulai dari satu malam penuh harapan ini telah menjadi lebih besar dari yang pernah kita bayangkan.”
Reina meraih tangan Arya dan menggenggamnya erat. “Dan selama kita percaya, cahaya ini tidak akan pernah padam.”
Di bawah langit malam yang cerah, mereka tahu bahwa setiap langkah yang mereka ambil, meskipun sulit, adalah untuk sesuatu yang jauh lebih besar dari diri mereka sendiri—sebuah cahaya yang akan terus menyinari generasi mendatang.