Amira kira setelah menikah hidupnya akan bahagia tapi ternyata semua itu tak sesuai harapan. Ibu mertuanya tidak menyukai Amira, bukan hanya itu setiap hari Amira hanya dijadikan pembantu oleh mertua serta adik iparnya. Bahkan saat hamil Amira di tuduh selingkuh oleh mertuanya sendiri tidak hanya itu setelah melahirkan anak Amira pun dijual oleh ibu mertuanya kepada seorang pria kaya raya yang tidak memiliki istri. Perjuangan Amira begitu besar demi merebut kembali anaknya. Akankah Amira berhasil mengambil kembali anaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Non Mey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cucu?
Hari itu, Angga pulang dengan langkah gontai setelah menerima gaji terakhirnya. Perusahaan tempatnya bekerja telah mengalami kerugian besar akibat persaingan ketat dengan perusahaan-perusahaan besar lainnya. Pemecatan sejumlah karyawan pun menjadi solusi pahit yang harus diambil oleh manajemen.
Angga, sebagai salah satu karyawan biasa, tidak punya pilihan selain menerima keputusan itu dengan lapang dada. Gaji terakhir yang ia terima, meskipun tidak besar, setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup beberapa minggu ke depan dan memulai usaha kecil-kecilan nantinya.
Sambil berjalan pulang, Angga memikirkan sesuatu. Ia merasa ada satu hal yang harus ia lakukan sebelum uang itu habis yaitu memberikan bagian Arka. Bagaimanapun, Arka adalah anaknya, meskipun Amira tidak pernah secara langsung mengizinkan Angga untuk berperan dalam hidup anak itu. Hatinya terasa sakit setiap kali membayangkan bagaimana ia melewatkan momen-momen penting sebagai seorang ayah, tetapi ia tahu bahwa ini adalah tanggung jawab yang tidak bisa ia abaikan.
Setibanya di kontrakan kecil tempat ia tinggal bersama Ratna dan Loli, Angga langsung memberitahu ibunya tentang niatnya.
“Bu, gaji terakhirku, aku sudah dipecat dari perusahaan karena perusahaan mengalami kerugian besar, jadi uang ini akan aku buat modal usaha dn sisanya untuk keperluan dirumah tapi aku juga ingin memberikan sebagiannya untuk Arka,” ujar Angga pelan tapi tegas.
Ratna yang sedang menyapu lantai langsung berhenti. Matanya menatap Angga dengan tajam. “Apa? Kamu bilang mau kasih uang ke anak itu? Anak siapa? Anak Amira?!”
Bukan kata dipecat yang membuatnya kaget tapi kata akan memberikan sebagian untuk Arka lah yang membuatnya seperti itu.
Angga mengangguk tanpa ragu. “Iya, Bu. Arka itu anakku juga, anak kandung Angga.”
Mendengar itu, Ratna terdiam sejenak. Wajahnya yang awalnya penuh kemarahan berubah menjadi penuh keterkejutan. Lalu ia tertawa kecil dengan nada sinis.
“Anak kandungmu? Jangan bercanda, Angga! Kalau itu benar anak kamu, kenapa Amira nggak pernah bilang apa-apa? Dia cuma mau ambil uang dari kamu, itu aja!” tuduh Ratna dengan suara yang mulai meninggi.
“Amira nggak pernah minta apa-apa dari aku, Bu,” jawab Angga tegas. “Aku yang salah karena nggak pernah ada buat dia dan Arka. Tapi sekarang aku mau memperbaiki semuanya, walaupun cuma sedikit. Setidaknya aku masih mau bertanggungjawab atas Arka.”
Ratna mendekati Angga dan menatapnya dengan pandangan penuh kebencian. “Dengar ya, Angga. Jangan bodoh! Itu anak sudah hidup enak sama ibunya. Buat apa kamu repot-repot kasih uang ke mereka? Itu cuma bikin mereka manja!”
Namun, Angga tetap pada pendiriannya. “Bu, ini bukan soal mereka hidup enak atau nggak. Ini soal tanggung jawab aku sebagai seorang ayah. Arka itu darah dagingku, cucu Ibu sendiri.”
Ratna terdiam mendengar kalimat terakhir itu. Kata “cucu” bergema di kepalanya, membuat pikirannya berputar. Ia mencoba mencerna fakta baru yang baru saja ia dengar.
“Cucu Ibu...?” gumamnya pelan.
Angga mengangguk. “Iya, Bu. Arka adalah cucu Ibu.”
Setelah beberapa saat, Ratna meletakkan sapu yang ia pegang dan duduk di kursi. Wajahnya berubah menjadi serius. Dalam hatinya, ia merasa marah dan iri. Bayangan Amira yang kini hidup damai bersama Arka dan Bram semakin membuat Ratna merasa terhina.
“Kalau benar itu cucu Ibu, berarti dia harusnya ada di sini, sama kita,” ujar Ratna tiba-tiba.
Angga menatap ibunya dengan bingung. “Apa maksud Ibu?”
Ratna tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, lalu berkata, “Nggak apa-apa. Ibu cuma mikir, kalau itu cucu kita, kita punya hak untuk dekat dengannya, kan?”
Angga mengangguk.“Iya, Bu. Tapi yang penting sekarang aku cuma mau memberikan nafkah untuk Arka. Itu aja.”
Ratna hanya mengangguk, tetapi pikirannya sudah melayang jauh. Dalam hati, ia mulai merencanakan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Jika Arka benar adalah cucunya, maka dia punya alasan kuat untuk merebut anak itu dari tangan Amira.
Sementara itu, Loli yang mendengar percakapan tersebut dari dapur merasa cemas. Ia tahu ibunya terlalu licik untuk sekadar menerima fakta bahwa Arka adalah cucunya. Loli mendekati Angga saat Ratna pergi ke kamar.
“Mas, hati-hati sama Ibu,” bisik Loli pelan.
Angga menatap adiknya dengan bingung. “Kenapa, Li?”
“Ibu nggak akan tinggal diam setelah tahu kalau Arka itu anak kamu. Dia pasti bakal rencana sesuatu, entah apa, tapi aku yakin itu nggak akan baik buat Amira,” jawab Loli serius.
Angga menghela napas panjang. “Aku tahu Ibu keras kepala, tapi aku nggak mau tambah ribut, Li. Aku cuma mau bantu Arka, itu aja. Lagian Ibu nggak akan mungkin jahat sama cucunya sendiri," jelas Angga.
“Tapi kamu juga tahu, kan, Mas, Ibu nggak akan berhenti sampai dia dapat apa yang dia mau?” Loli menatap Angga dengan penuh kekhawatiran.
Angga tidak menjawab. Ia hanya menunduk tidak mau berdebat lebih banyak.
Malam itu, Ratna duduk sendirian di kursi tua di ruang tamu. Ia memikirkan bagaimana caranya merebut Arka dari Amira tanpa menimbulkan kecurigaan. Dalam pikirannya, ia merasa bahwa cucunya berhak tinggal bersama keluarga ayahnya, bukan dengan Amira.
“Kalau aku bisa bikin Amira kelihatan nggak layak jadi ibu, pasti lebih mudah buat ambil Arka,” gumam Ratna pelan.
Ratna mulai mencari-cari ide. Ia tahu bahwa Amira adalah seorang ibu yang baik, tetapi ia yakin bahwa semua orang punya kelemahan. Jika ia bisa menemukan kelemahan Amira, maka ia bisa menggunakan itu untuk menyerang dan merebut Arka.
Beberapa hari kemudian, Amira menerima kabar bahwa Angga ingin bertemu dengannya untuk memberikan uang kepada Arka. Meskipun ragu, Amira setuju untuk bertemu di taman dekat kontrakannya.
Angga datang dengan membawa amplop kecil berisi uang. Ia menyerahkan amplop itu kepada Amira dengan tangan gemetar.
“Ini buat Arka. Aku tahu ini nggak seberapa, tapi aku harap bisa bantu sedikit,” ujar Angga dengan suara pelan.
Amira menatap Angga dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu bahwa Angga tulus, tetapi luka di hatinya belum sepenuhnya sembuh.
“Terima kasih, Mas. Tapi aku harap kamu nggak perlu repot-repot gini. Arka sudah cukup, kok, aku bisa mencari nafkah untuk Arka” jawab Amira sambil memandang wajah mantan suaminya.
“Amira, aku tahu aku salah. Aku nyesal. Tapi tolong, aku cuma mau jadi ayah yang lebih baik buat Arka, meskipun dari jauh, dan meski kita juga bukan pasangan lagi,” kata Angga dengan nada memohon.
Amira mengangguk pelan. “Aku nggak pernah melarang kamu, Mas. Tapi aku juga nggak mau Arka terlibat dalam permasalahan keluarga kita ini.”
Pertemuan itu berlangsung singkat, tetapi meninggalkan kesan mendalam bagi keduanya. Angga merasa sedikit lega karena bisa memberikan nafkah untuk Arka, tetapi Amira merasa cemas. Ia tahu bahwa kebaikan Angga bisa saja membawa masalah baru, terutama jika Ratna ikut campur.
Di rumah, Ratna mendengar cerita Angga tentang pertemuannya dengan Amira. Bukannya senang, Ratna malah semakin terbakar amarah.
“Dia bilang nggak perlu repot-repot? Dia cuma nggak mau kita deket sama Arka! Itu alasan dia, Angga!” seru Ratna.
Angga mencoba menjelaskan, tetapi Ratna tidak mau mendengarkan. Dalam hatinya, ia sudah merencanakan sesuatu untuk merebut Arka dari Amira.
Ratna mulai mencari cara Agar bisa merebut Arka dan membiarkan Amira hidup seorang diri. Ia yakin bahwa ada celah yang bisa ia manfaatkan untuk merebut cucunya.