Celia Carlisha Rory, seorang model sukses yang lelah dengan gemerlap dunia mode, memutuskan untuk mencari ketenangan di Bali. Di sana, ia bertemu dengan Adhitama Elvan Syahreza, seorang DJ dengan sikap dingin dan misterius yang baru saja pindah ke Bali. Pertemuan mereka di bandara menjadi awal dari serangkaian kebetulan yang terus mempertemukan mereka.
Celia yang ceria dan penuh rasa ingin tahu, berusaha mendekati Elvan yang cenderung pendiam dan tertutup. Di sisi lain, Elvan, yang tampaknya tidak terpengaruh oleh pesona Celia, justru merasa tertarik pada kesederhanaan dan kehangatan gadis itu.
Dengan latar keindahan alam Bali, cerita ini menggambarkan perjalanan dua hati yang berbeda menemukan titik temu di tengah ketenangan pulau dewata. Di balik perbedaan mereka, tumbuh benih-benih perasaan yang perlahan mengubah hidup keduanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yanahn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah yang belum terputus
Keesokan harinya, setelah sarapan, Celia duduk di taman belakang rumah Nenek Kinan. Angin Bali yang sejuk berhembus lembut, menemani lamunannya. Celia menatap layar ponselnya, membaca pesan singkat dari Lily yang berisi jadwal pemotretan berikutnya.
“Harus fokus,” gumamnya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan hati untuk tetap berada di jalurnya.
Namun, pikirannya terus melayang pada Elvan. Sudah dua hari sejak Celia menginap di sini, interaksi mereka terasa berbeda. Bukan karena canggung, tetapi Elvan terlihat lebih tertutup. Elvan selalu menyibukkan diri di studio, seperti sengaja menciptakan jarak di antara mereka.
“Nak Celia,” suara lembut Nenek Kinan menyadarkannya dari lamunan.
“Nenek,” balas Celia sambil tersenyum.
“Kenapa kamu terlihat murung pagi ini? Ada sesuatu yang mengganggu?”
Celia menggeleng pelan. “Tidak, Nek. Hanya memikirkan pekerjaan.”
Nenek Kinan tersenyum penuh arti. “Kalau itu benar, kenapa kamu terus melihat ke arah jalan?”
Celia terkekeh pelan, menyadari bahwa Nenek Kinan bisa membaca pikirannya. “Aku hanya penasaran ke mana Elvan pergi sepagi ini.”
“Oh, dia di studionya. Ada proyek musik yang harus diselesaikan,” jawab Nenek Kinan santai. “Kamu tahu? Dia sering memikirkanmu saat bekerja. Tapi dia tidak pernah mengakuinya.”
Celia terdiam, hatinya berbunga-bunga mendengar itu. Ada sesuatu dalam ucapan Nenek Kinan yang membuatnya semakin penasaran dengan perasaan Elvan.
Di studio kecilnya di tengah kota, Elvan sedang tenggelam dalam pekerjaannya. Irama elektronik memenuhi ruangan, namun pikirannya terus terganggu oleh bayangan Celia.
“Kenapa dia harus kembali?” gumamnya pada diri sendiri.
Elvan tahu, sejak Celia tiba, dan serumah dengannya, hatinya menjadi tak tenang. Ada perasaan yang selama ini ia pendam, tetapi gengsi membuatnya sulit untuk mengakuinya, bahkan pada dirinya sendiri.
Tiba-tiba pintu studio terbuka, dan Lily masuk dengan wajah serius.
“Kamu Elvan?" tanyanya singkat.
“Siapa kamu? Kenapa kamu di sini?” tanya Elvan, sedikit terkejut.
“Aku Lily, sahabat sekaligus manajer Celia. Aku kesini cuma ingin memastikan agar Celia tetap fokus pada pekerjaannya,” jawab Lily sambil melipat tangan di depan dada. “Dan aku tahu kamu salah satu alasan kenapa dia tidak fokus.”
Elvan menyipitkan matanya, “Aku tidak tahu apa maksud kamu.”
“Jangan pura-pura, Elvan. Aku tahu ada sesuatu di antara kamu dan Celia. Aku tidak menghalangi hubungan kalian, tapi kamu harus tahu, Celia punya tanggung jawab. Jadi, aku harap kamu tidak mengganggunya.”
Elvan menarik napas dalam-dalam, mencoba menahan emosinya. “Kalau begitu, mungkin kamu harus bicara dengannya, bukan denganku.”
Lily terdiam sejenak, lalu mendekat. “Elvan, kamu harus jujur pada dirimu sendiri. Kalau kamu peduli pada Celia, jangan biarkan perasaanmu membuatnya kehilangan arah.”
Tanpa menunggu jawaban dari Elvan, Lily keluar dari studio, meninggalkan Elvan yang masih mematung, dengan pikiran yang semakin kalut.
Sore harinya, Celia memutuskan untuk pergi ke studio. Ia tahu lokasi itu dengan baik, bahkan masih ingat aroma khas ruangan yang penuh dengan kreativitas Elvan.
Ketika Celia tiba, ia mengetuk pintu dengan pelan. Butuh beberapa detik sebelum pintu terbuka, dan Elvan muncul dengan wajah sedikit terkejut.
“Celia?” panggil Elvan.
“Hai, aku ingin bicara denganmu. Apakah kamu sibuk?” tanya Celia.
Elvan menghela napas dan mempersilakan Celia masuk. Ruangan itu tidak banyak berubah sejak terakhir kali ia datang, tetapi ada nuansa berbeda dalam suasana mereka kali ini.
“Apa yang kamu ingin bicarakan?” tanya Elvan, mencoba terdengar santai meski ketegangan semakin terasa.
“Aku hanya ingin tahu kenapa kamu menghindariku,” jawab Celia tanpa basa-basi.
Elvan tertawa kecil, meskipun ada kekakuan dalam tawanya. “Aku tidak menghindarimu.”
“Kamu bohong. Kamu sengaja menghindar dariku, bukan?” balas Celia dengan tatapan tajam.
Elvan terdiam. Ia tahu ia tidak bisa terus berpura-pura. Tetapi sebelum ia sempat menjawab, ponsel Celia berbunyi. Itu panggilan dari Lily.
“Sebentar, aku angkat telepon dulu,” ucap Celia sambil melangkah keluar studio.
Saat Celia sibuk dengan teleponnya, Elvan menatap layar komputernya. Lagu yang sedang ia kerjakan adalah karya terbaiknya sejauh ini, tetapi ia belum menemukan keberanian untuk memperdengarkannya pada Celia.
Ketika Celia kembali, ia menatap Elvan dengan tatapan penuh arti. “Lily mengingatkanku tentang jadwal besok. Tapi aku tidak ingin pergi sebelum kita menyelesaikan ini.”
“Menyelesaikan apa?” tanya Elvan.
“Perasaanmu, Elvan. Aku tahu kau merasakan sesuatu, dan aku ingin kau jujur padaku.”
Elvan terdiam. Kata-kata Celia menusuk hatinya, tetapi sesuatu membuatnya sulit untuk menjawab.
“Celia, aku tidak tahu apa yang kau harapkan dariku. Aku hanya seorang DJ biasa. Kamu punya dunia yang jauh lebih besar dariku. Dan..."
“Berhenti merendahkan dirimu sendiri,” potong Celia dengan suara gemetar. “Aku tidak peduli siapa kamu atau apa pekerjaanmu. Aku hanya ingin kau jujur.”
Elvan menatap Celia dalam diam. Ia tahu ini adalah saatnya untuk berbicara, tetapi ketakutan akan penolakan menahannya.
“Aku tidak tahu, Celia,” jawab Elvan akhirnya.
Celia menghela napas, kecewa tetapi tidak marah. Ia tahu Elvan butuh waktu untuk membuka diri, dan ia bersedia menunggu.
“Aku akan pergi,” ucap Celia sambil melangkah keluar studio. “Tapi aku harap suatu hari kamu bisa jujur, bukan hanya padaku, tapi juga pada dirimu sendiri.”
Elvan hanya bisa menatap punggung Celia yang semakin menjauh. Di dalam hatinya, ia tahu Celia benar. Tetapi apakah ia memiliki keberanian untuk melangkah? Itu masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab.