Cinta Dibalik Kontrak

Hari-hari setelah gala amal itu terasa berbeda. Luna berusaha melupakan tatapan penuh arti Karina dan fokus pada pernikahannya dengan Kaid. Namun, sesuatu tetap mengganjal di hatinya. Ia mulai menyadari bahwa cinta bukan hanya tentang kebersamaan, tetapi juga keberanian untuk menghadapi masa lalu yang mungkin kembali menghantui.

Suatu pagi, ketika Luna sedang mempersiapkan sarapan, Kaid turun ke dapur dengan ekspresi lelah.

“Kamu begadang lagi?” tanya Luna sambil menuangkan kopi untuknya.

Kaid mengangguk sambil mengusap wajahnya. “Ada proyek besar di kantor. Aku harus menyelesaikan laporan sebelum tenggat waktu.”

Luna hanya mengangguk, tetapi ia merasa ada sesuatu yang tidak diceritakan oleh Kaid. Sebagai istri, ia ingin membantu meringankan bebannya, tetapi Kaid sering menutup diri ketika menghadapi masalah.

“Kalau kamu butuh sesuatu, bilang ya,” ujar Luna, mencoba terdengar ringan.

Kaid tersenyum tipis, lalu mencium keningnya. “Terima kasih, Luna. Kamu selalu ada untukku.”

Hari itu, Luna memutuskan untuk membersihkan kamar kerja Kaid. Ia tahu bahwa ruangan itu jarang disentuh, dan Kaid selalu sibuk sehingga tidak sempat membereskannya.

Saat membersihkan meja, matanya tertumbuk pada sebuah amplop cokelat yang tergeletak di antara tumpukan dokumen. Amplop itu tidak memiliki nama penerima, tetapi rasa penasarannya membuat Luna membukanya.

Di dalamnya, ada beberapa foto Kaid dan Karina yang tampaknya diambil beberapa tahun lalu. Salah satu foto menunjukkan mereka berdua sedang tersenyum bahagia di sebuah taman. Luna merasakan dadanya sesak.

“Kenapa foto ini masih ada?” gumamnya, merasa campuran antara marah dan terluka.

Namun, ia juga menemukan sebuah catatan kecil di amplop itu: “Kaid, aku berharap kita bisa berbicara. Ada hal yang ingin aku selesaikan. Karina.”

Luna menggenggam catatan itu dengan tangan gemetar. Apakah Karina mencoba kembali masuk ke kehidupan Kaid?

Malam itu, Luna menunggu Kaid pulang. Saat ia membuka pintu dan melihat wajah suaminya yang lelah, ia merasa bersalah karena ingin mengonfrontasinya. Namun, perasaan itu kalah oleh rasa ingin tahu yang membara di dalam hatinya.

“Kaid,” panggil Luna saat mereka duduk di ruang tamu.

Kaid menatapnya, sedikit terkejut dengan nada serius dalam suara Luna. “Ada apa?”

Luna menunjukkan foto dan catatan itu. “Aku menemukannya di meja kerjamu. Apa ini?”

Kaid terdiam, wajahnya berubah menjadi serius. Ia mengambil foto dan catatan itu, memandangnya sejenak sebelum menjawab.

“Luna, aku tidak bermaksud menyembunyikan ini darimu. Karina memang sempat menghubungiku setelah gala amal. Dia ingin berbicara, tapi aku menolaknya.”

“Kenapa kamu tidak memberitahuku?” tanya Luna, suaranya penuh dengan emosi.

“Aku tidak ingin membuatmu khawatir,” jawab Kaid. “Aku pikir aku bisa mengatasi ini sendiri. Tapi aku sadar sekarang bahwa aku seharusnya jujur sejak awal.”

Luna terdiam, mencoba mencerna kata-kata Kaid. Ia ingin percaya padanya, tetapi rasa cemburu dan takut masih menghantui pikirannya.

“Aku hanya ingin tahu satu hal,” kata Luna akhirnya. “Apakah masih ada perasaan di antara kalian?”

Kaid menatap Luna dalam-dalam, lalu menggeleng tegas. “Tidak. Karina adalah masa lalu. Kamu adalah satu-satunya wanita yang aku cintai sekarang.”

Kata-kata itu membawa sedikit ketenangan bagi Luna, tetapi ia tahu bahwa masalah ini belum sepenuhnya selesai.

Beberapa hari kemudian, Luna memutuskan untuk menemui Karina secara langsung. Ia tahu bahwa untuk melindungi pernikahannya, ia harus menghadapi wanita itu dan mencari tahu niat sebenarnya.

Karina menyetujui pertemuan itu di sebuah kafe kecil di pusat kota. Ketika Luna tiba, Karina sudah menunggu dengan secangkir kopi di depannya.

“Luna,” sapa Karina dengan senyum ramah. “Aku tidak menyangka kamu akan menghubungiku.”

Luna duduk di hadapannya, mencoba menjaga ketenangan. “Aku hanya ingin tahu apa sebenarnya yang kamu inginkan dari Kaid.”

Karina tersenyum tipis. “Aku mengerti kenapa kamu merasa perlu bertanya. Tapi aku tidak punya niat buruk, Luna. Aku hanya ingin menutup bab terakhir dalam hidupku. Aku ingin meminta maaf pada Kaid karena meninggalkannya dulu.”

“Mengapa sekarang?” tanya Luna tajam.

“Karena aku melihatnya di gala itu, dan aku sadar betapa aku menyakitinya. Aku ingin memperbaiki segalanya, bukan untuk kembali padanya, tetapi untuk meluruskan kesalahan di masa lalu,” jawab Karina dengan nada tulus.

Luna menatap Karina, mencoba mencari kebohongan di matanya, tetapi tidak menemukannya.

“Aku mencintai Kaid,” kata Luna akhirnya. “Dan aku tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkan pernikahan kami.”

Karina tersenyum kecil. “Kamu tidak perlu khawatir, Luna. Kaid mencintaimu, itu sudah jelas. Aku hanya berharap kamu bisa memberinya kebahagiaan yang aku tidak mampu berikan dulu.”

Percakapan itu berakhir dengan suasana yang lebih ringan, tetapi Luna tetap merasa ada bayang-bayang masa lalu yang belum sepenuhnya sirna.

Malam harinya, ketika Luna menceritakan pertemuannya dengan Karina, Kaid memeluknya erat.

“Kamu tidak perlu menghadapi semua ini sendirian, Luna. Kita adalah tim, dan aku ingin kita selalu saling mendukung,” ujar Kaid dengan lembut.

Luna tersenyum, merasakan ketenangan dalam pelukan Kaid. Ia tahu bahwa perjalanan mereka tidak akan selalu mudah, tetapi dengan cinta dan kepercayaan, mereka bisa menghadapi apa pun yang datang.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Luna merasa yakin bahwa pernikahan mereka lebih dari sekadar kontrak—ini adalah awal dari cinta sejati.