NovelToon NovelToon
Kucari Kebahagiaan Di Antara Luka

Kucari Kebahagiaan Di Antara Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Selingkuh / Cinta Terlarang / Cerai / Keluarga / Tukar Pasangan
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Elfira Puspita

Karin, Sabrina, dan Widuri. Tiga perempuan yang berusaha mencari kebahagiaan dalam kisah percintaannya.
Dan tak disangka kisah mereka saling berkaitan dan bersenggolan. Membuat hubungan yang baik menjadi buruk, dan yang buruk menjadi baik.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfira Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

22. Siapa?

Karin menatap sekelilingnya, mengamati rumah megah yang sangat luas dan didesain begitu apik dengan nuansa monokrom. Rumah itu adalah rumah Tara, dan Karin bisa berada di sana karena ajakan Ibu Resti, tante dari Tara sekaligus orang yang sudah tak sengaja hampir menabrak Karin.

Saat Karin sedang asyik mengamati sekelingnya, Tara, dan Ibu Resti pun muncul dari arah dalam. Tara membawa nampan berisi minuman dan cemilan, sedangkan Ibu Resti membawa segelas es kopi untuk diri sendirinya, di tangannya.

"Silahkan minuman dan cemilannya Rin, maaf seadanya. Aku belum sempat beli cemilan lagi ke minimarket," ucap Tara sambil menyajikan di atas meja, lalu duduk di sebelah Karin.

"Ah, enggak apa-apa Mas, padahal enggak usah repot-repot seperti ini," ucap Karin.

Karin perlahan menatap Ibu Resti yang duduk di sofa, yang ada di hadapannya, tapi mata Ibu Resti malah tertuju pada Tara.

"Jadi ini pacar baru kamu, Bian?" tanya Ibu Resti begitu serius.

"Iya Tan, ini Karin pacarnya Bian." jawab Tara. Nampaknya Bian adalah nama panggilan yang sering mereka gunakan.

"Sudah berapa lama menjalin hubungannya?" tanya Ibu Resti lagi dengan nada bicara yang terdengar sedikit sinis.

"Baru mau 2 bulan Tan," jawab Tara.

"Oalah, baru 2 bulan," decak Bu Resti sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Ibu Resti menghela nafas dengan berat, lalu melirik ke arah Karin. "Apa yang membuat kamu tertarik sama keponakan saya ini?"

Jantung Karin mulai berdebar kencang. Dia berusaha tersenyum, tapi rasa gugup mulai mendera karena tatapan Ibu Resti begitu mengintimidasi dirinya.

"Mungkin karena Mas Tara ini orang yang baik," jawab Karin.

"Hanya karena dia baik?" tanya Ibu Resti sambil terkekeh, dengan nada yang dingin.

"Iya, Mas Tara baik, selain itu juga senyumnya manis," lanjut Karin sambil melirik ke arah Tara.

"Lalu apalagi?" tanya Ibu Resti sambil menyesap kopinya. Tampaknya dia belum puas akan jawaban yang Karin berikan.

"Iya, dia juga selalu menolong saya. Pokoknya berada di samping Mas Tara itu membuat saya bahagia dan merasa aman." Karin harap jawabannya kali ini akan memuaskan Ibu Resti. karena sejujurnya Karin pun tak mengerti kenapa dia bisa jatuh hati kepada Tara.

Ibu Resti mengangguk sambil mengulum bibirnya, lalu bertanya lagi. "Oh, iya, usia kamu berapa kalau tante boleh tahu?"

Tara seketika menyela, "Tante, tak sopan bertanya soal itu."

"Diam Fabian!" sentak Ibu Resti sambil sedikit mengangkat tangannya, dan Tara langsung terdiam. Tara tampak takut dengan kemarahan tantenya.

"Berapa umur kamu cantik?" tanya Ibu Resti, mencoba bersikap lebih ramah pada Karin.

"Umur saya sekarang 30 tahun," jawab Karin.

"Oh, begitu," gumam Ibu Resti.

Lalu dia menepuk tangannya, dan menatap kedua pasangan sejoli itu. "Kalau begitu lebih baik kalian segera menikah saja. Buat apa berlama-lama pacaran. Umur kalian sudah melebihi matang."

Karin dan Tara sontak saling memandang. Sebenarnya, Karin sudah tidak keberatan soal menikah dengan Tara. Dia sekarang sudah percaya 99% dengan Tara.

Namun, tak diduga. "Maaf Tan, kami enggak mau terburu-buru. Kami sudah sepakat mau saling mengenal dulu." Tara menolak ide tantenya.

"Selalu saja ada alasanmu Bian," desis Ibu Resti tampak kesal.

Karin pun terkejut akan jawaban Tara, dan dia merasa sedikit kecewa. Namun, Karin tetap berusaha berpikir positif, mungkin Tara menjawab seperti itu karena berpikir Karin belum siap seperti saat Tara meminangnya beberapa minggu yang lalu.

Ibu Resti mengabaikan Tara, lalu menatap Karin. "Apa benar kamu tak mau buru-buru menikah, Karin?"

"Soal itu... sebenarnya ...." Karin melirik Tara sejenak, lalu yakin dengan apa yang akan dia ucapkan.

"Saya sudah siap kok, jika Mas Tara mau memperistri saya," ucap Karin lantang tapi sedikit gemetar.

Tara terkejut mendengar ucapan Karin. Matanya tampak melebar. "Ka-kamu serius?"

Karin mengangguk, lalu Tara membalasnya dengan senyuman. Tapi entah kenapa Karin merasa senyum Tara sedikit berbeda dengan senyumnya yang biasa. Laki-laki bermata hangat itu seperti memaksakan senyumnya.

"Kamu benar-benar mau menikah sama aku?" tanyanya lagi. "Bukankah saat itu kamu bilang belum siap?"

"I-iya, kalau saat itu aku memang belum siap dan yakin. Tapi semakin hari mengenal kamu ... aku yakin kalau Mas itu calon yang baik," jelas Karin berusaha meyakinkan Tara dan juga Ibu Resti.

Ibu Resti menghela nafasnya, lalu mengangguk dan menggenggam tangan Karin. "Terima kasih karena sudah percaya sama Bian. Tante akan segera atur pernikahan kalian."

Ibu Resti menoleh ke arah Tara. "Kamu mau kan menikah sama Karin?"

"Tentu aku mau Tante," jawab Tara sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

"Kalau begitu atur pertemuan dengan kedua orangtuanya Karin," perintah Ibu Resti.

"Ayah saya sudah meninggal Tante, saya hanya punya ibu dan seorang adik," jelas Karin.

"Ah, maaf... iya kalau begitu segera beritahu ibu kamu kalau kami ingin bertemu."

"Baik Tante, saya akan beritahu ibu sepulang dari sini."

Mereka bertiga memulai berbincang hal lain, ternyata seperti cerita Tara, dia memang dibesarkan oleh Ibu Resti sejak masuk ke jenjang SMA. Orangtua Tara meninggal karena mengalami kecelakaan saat bekerja menjadi TKI di luar negeri.

Demi menyekolahkan Tara hingga tamat SMA, Ibu Resti rela bekerja keras di sebuah pabrik makanan yang memberlakukan shift malam. Lalu saat Tara lulus SMA, Tara juga rela bekerja terlebih dahulu untuk mengumpulkan biaya kuliah di jurusan desain interior.

Barulah setelah lulus dia bekerja di perusahaan bidang desain interior. Lalu lambat laun mulai membuka perusahan sendiri bersama beberapa temannya. Tara merintis perusahaan itu bertahun-tahun.

Hingga akhirnya berkembang dan banyak dipakai oleh orang-orang penting. Bahkan beberapa tahun belakangan ini Tara banyak mendapatkan penghargaan baik dari dalam, maupun luar negeri.

Karin menyimak semua perjalanan hidup Tara dengan serius. Namun, tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang mendesak ingin keluar.

"Mas, aku boleh pinjam toilet sebentar," bisik Karin.

"Ah, tentu Rin, sini Mas tunjukkan."

Tara pun menunjukan letak kamar kecil yang ada di rumahnya.

Setelah menyelesaikan ritual yang singkat, Karin kembali berjalan ke ruang tengah tempat mereka mengobrol, tapi langkahnya terhenti saat mendengar obrolan Tara, dan Bu Resti.

"Kamu betul punya rasa sama dia? Atau kamu hanya mau mempermainkan perasaannya seperti yang sudah-sudah?" Pertanyaan Ibu Resti kepada Tara langsung membuat Karin terkejut.

"Tante sudah tahu kan jawabannya," jawab Tara, terdengar acuh.

"Astaga Fabian!"

"Jangan teriak dong Tan, nanti Karin bisa dengar," bisik Tara.

Karin memutuskan bersembunyi di balik tembok sambil menajamkan pendengaran. Karin tak tahu apa maksud pembicaraan keduanya, tapi hatinya mulai merasa tak enak.

"Kalau perempuan yang kemarin-kemarin, Tante enggak keberatan kalau kamu permainkan. Toh mereka semua bukan perempuan baik- baik ... Tapi, Karin itu berbeda. Tante bisa lihat dia itu baik. Dia tulus sama kamu."

"Cukup kamu melampiaskan sakit hati kamu karena perempuan pengkhianat itu. Jangan jadikan Karin korban kamu juga, Bian!" tegas Ibu Resti.

"Tan, aku--"

"Tante minta kamu berhenti seperti itu. Buka hati kamu dan jalani hubungan baru dengan Karin. Nikahi dia Bian, dan lupakan mantan kamu itu," pinta Bu Resti, suaranya terdengar penuh penekanan.

Karin mematung di tempatnya, jantungnya berdegup nyeri mendengar kenyataan yang sesungguhnya.

"Jadi Mas Tara hanya mempermainkan aku? Dia tak sungguh menyukai aku?" Karin bergumam dalam hati.

Lalu tiba-tiba terdengar suara Tara lagi. "Tante ini ngomong apa sih? Aku enggak ada niatan mempermainkan Karin sama sekali. Aku benar-benar sayang dan jatuh cinta sama dia."

"Aku bahkan sudah meminangnya untuk menikah, tapi saat itu Karin menolak," tambah Tara, berusaha meyakinkan.

Mendengar bantahan Tara, rasa sakit di hati Karin mulai sedikit berkurang, walau tetap serasa ada yang mengganjal di hatinya.

"Jadi kamu benar-benar sudah move on dari Sa--"

Tara tetiba langsung menyela. "Jangan bahas dia! Dia cuma masa lalu bagiku Tan!" Suaranya terdengar begitu tegas.

"Ah, baiklah sepertinya Tante hanya salah paham... Syukurlah kalau kamu sudah bisa membuka hati kamu."

"10 tahun kamu terpuruk karena perempuan itu, bahkan kamu hampir jadi perebut istri orang 5 tahun yang lalu hanya karena perempuan bernama Sa--"

"Tante! Sudah! Aku tak mau Karin mendengar dan salah paham nantinya. Tolong jangan sebut lagi nama perempuan itu!" pinta Tara lagi-lagi menyela ucapan Tante Resti.

"Baiklah maaf..."

Karin terus memperhatikan keduanya dari balik tembok. Hingga tak lama Bu Resti beranjak dari tempatnya, dan tak diduga berjalan ke arah Karin.

Seketika Karin merasa panik, dan bingung harus berbuat apa. "Haruskah aku sembunyi atau kembali ke wc?" gumamnya.

Karin berbalik tapi sepertinya Ibu Resti sudah melihatnya. "Karin," panggilnya.

Karin menoleh pada Ibu Resti sambil tersenyum. Dia malu tertangkap basah sedang menguping

"Kamu sudah lama disini? Kamu mendengar semua pembicaraan kami?" tanyanya dan hanya Karin balas dengan anggukan kepala.

Tara yang juga terkejut, tampak berdiri dari sofa dan menghampiri Karin. Dia menatap Karin dengan raut wajah yang sulit dimengerti.

"Apa kamu dengar semua pembicaraan kami?" tanya Tara.

Karin mengangguk lagi, lalu Tara segera menggenggam tangan Karin. "Aku minta kamu jangan salah paham ya Rin. A-aku akan ceritakan semuanya sama kamu. Aku enggak pernah ada niatan untuk nyakitin kamu."

"Mas Tara tenang aja... aku percaya kok sama Mas. Hanya saja ...." Karin memang percaya, tapi entah kenapa ada rasa yang mengganjal di hatinya.

"Hanya apa?" tanya Tara.

"Aku ingin tahu soal mantan Mas itu. Dan apa benar sebelum kenal denganku Mas suka mempermainkan perempuan?" Karin mengutarakan rasa penasarannya.

Tara dan Ibu Resti saling berpandangan, lalu keduanya kompak menuntun Karin untuk kembali duduk di sofa.

"Kamu mendengar semuanya ya tadi?" tanya Tara dengan raut wajah yang sendu.

Karin mengangguk.

Tara pun menghela nafasnya, lalu menatap Karin dengan sungguh-sungguh sambil menggenggam tangan Karin "Iya aku mengaku... dulu sebelum bertemu dengan kamu. Aku hanya menjadikan pacar-pacarku sebagai pelampiasan karena rasa sakit hatiku. Tak ada yang benar-benar aku cintai menggunakan hati."

"Namun, saat bertemu kamu... hatiku berdebar lagi Karin ... dan rasanya aku ingin terus bertemu dengan kamu," tambah Tara semakin mengeratkan genggamannya.

"Kamu mungkin tak percaya, tapi aku sungguh sudah berubah sekarang. Tak ada sedikitpun niat untuk menyakiti kamu," ucap Tara terus berusaha meyakinkan Karin

Marin mengangguk, dari tatapan dan genggamannya Karin percaya kalau Tara sungguh menyesal. Namun, masih ada hal lain yang ingin dia ketahui. "Iya aku percaya Mas ... tapi, soal mantan kamu itu ... apa kamu tak pernah bertemu lagi dengannya, Mas?"

Tara terdiam, lalu menggeleng. "Aku tak pernah bertemu lagi sejak 5 tahun yang lalu, dan aku tak tahu dia ada dimana sekarang. Aku benar-benar tak tahu, dan memang sudah tak mau tahu lagi tentangnya," jawab Tara dengan suara penuh penekanan.

Karin mengerti. Namun, dia tetap masih penasaran akan sesuatu, dan entah kenapa dia begitu penasaran akan hal itu.

Karin pun memberanikan diri untuk bertanya lagi. "Oh, iya maaf Mas, apa aku boleh tahu nama mantan kamu itu?"

"Kenapa kamu mau tahu namanya? Dia itu hanya masa lalu bagiku, Karin," jawab Tara sambil memalingkan muka.

"Iya aku tahu itu, tapi aku hanya penasaran. Sekilas tadi aku mendengar sebagian namanya disebut," ucap Karin tak bisa menahan rasa dalam hati yang begitu menggebu ingin tahu.

"Namanya Sa apa?" tanya Karin sambil menatap ibu Resti dan Mas Tara secara bergantian.

Ibu Resti menatap Karin, dan membuka mulutnya. "Namanya adalah Sa--"

"Sakhila!" Tara lagi-lagi menyela ucapan Ibu Resti dengan suara yang keras, membuat Karin dan juga Ibu Resti terkejut.

Karin menatap Tara sambil mengucap nama perempuan itu. "Sakhila, Mas?"

"Iya, nama mantan aku adalah Sakhila ... tapi aku minta kamu jangan bertanya lagi soal dia. Ingat, kita akan segera menikah, jadi tak ada gunanya lagi membahas masa lalu."

Karin mencerna ucapan Tara, dan aku rasa itu ada benarnya. Namun, entah kenapa Karin tetap merasa ada sesuatu yang mengganjal di hati, dan dia amat penasaran akan sosok Sakhila.

1
Star Sky
mampir kak
Elfira Puspita
Jangan lupa tinggalkan komentar dan like ya, biar aku semangat updatenya /Determined//Kiss/
Abi Nawa
orang tua penyakitan merepotkan anak aja bagi i ni yg bikin anak ga bs jujur dg keadaan
Elfira Puspita: makasih udah mampir /Smile//Cry/ boleh cek karyaku yang lain ya
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!