Novel ini merupakan lanjutan dari "susuk nyironggeng"
"Ampun Sari jangan,"Juragan Karta berlari keluar dari kamar,sedangkan perempuan yang bersama nya mengigil ketakutan,terlihat sosok penari ronggeng melayang mengejar Juragan Karta.
Sudah 10 tahun sejak peristiwa pembakaran yang menyebabkan kematian seorang penari ronggeng,kini desa itu sudah maju dan berganti nama menjadi desa sukamulya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon JK Amelia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemampuan Maharani
Setelah sosok arwah Sari pergi kang Jejen mendekati Ica yang menangis tersedu-sedu sambil memengangi lehernya yang sakit dan mengeluarkan darah.
Kang Jejen mengambil kain dan menutupinya,lalu ia menatap warga yang berkumpul,"bapak-bapak saya mau minta tolong panggilkan Akhmad,aku khawatir dengan lukanya Ica.
"Iya Kang,iya,kami juga dari tadi mau mengusulkan itu,"ujar warga yang berkumpul,kemudian beberapa orang pergi memanggil Akhmad sementara yang lain ada yang tinggal dan ada juga yang pulang.
Diluar rumah dibelakang pepohonan pisang,terlihat Emaknya Sari melihat situasi,ia melihat semua kejadian tadi.
"Gawat,para warga sudah mulai berani,aku harus bersikap seolah-olah tidak tahu apa-apa,aku hanya ingin menyaksikan orang yang dulu menganiaya Sari mati dengan mengenaskan,aku harap Sari bisa menuntaskan dendamnya secepat mungkin dan untuk kamu Azam,aku akan membuatmu menderita,kamulah penyebab semua ini,"setelah itu Emaknya Sari pergi.
Tanpa Emaknya Sari ketahui dua orang bertopeng memperhatikan gerak-gerik Emaknya Sari sedari tadi.
"Kang kita harus bagaimana,apa kita katakan saja Emaknya Sari lah biang dari semua ini?"
"Sabar,kita tidak punya bukti,salah-salah para warga akan berbalik menyerang kita,dia licik,ayo kita pergi sepertinya keadaan sudah aman."
Paginya ditempat pak Komar,terlihat Emaknya Sari datang membawa banyak oleh-oleh,dia menghampiri Pak Komar,kades Jana dan Mumun yang sedang duduk diteras menikmati ubi rebus.
Mumun yang melihat Uwanya datang menyenggol bapaknya,"tuh datang,saya kirain enggak balik lagi."
"Hush..,nanti dia dengar,"pak Komar melotot pada Mumun.
Emaknya Sari datang menghampiri mereka,"eh kalian lagi ngumpul disini,nih aku bawakan oleh-oleh,ini buat Mumun mudah-mudahan suka,dan ini untuk Jana,dan ini untuk kamu Komar,aku lihat sarung kamu udah pada butut,Mun itu sutra loh,Uwa beli di pasar tempanya Baba yang jualan kain-kain sutra.
Mumun membuka bungkusan yang diberikan Uwanya,dan dia terkejut dengan hadiah yang diberikan,"wah bagus sekali Wa,makasih ya Wa,"Mumun berdiri dan memeluk Uwanya.
"Iya sama-sama,dipake yah,ya udah saya masuk dulu mau istirahat dulu."
"Enggak sarapan dulu bareng kita Ceu,"ujar Pak Komar.
"Aku capek,aku masuk dulu."
"Iya Wa,makasih hadiahnya,"wajah Mumun tampak kegirangan mendapatkan hadiah baju sutra dari Uwanya.
Emaknya Sari melenggang masuk ke dalam rumah,ada senyum sinis tersungging dibibirnya melihat semua orang membuka hadiahnya.
Ketika mereka tengah asyik membicarakan Emaknya Sari yang tiba-tiba berubah menjadi sangat baik,dari kejauhan terlihat motor Kang Jejen berboncengan dengan pak Ustadz datang memasuki halaman rumah Pak Komar,mereka memarkirkan motornya dan mendatangi pak Komar yang sedang mencoba sarung barunya.
"Assalamualaikum pak Komar,pak Kades,Mumun,maaf pagi-pagi menganggu,"kata pak Ustadz.
"Waalaikum salam,"jawab mereka serentak.
"Tumben pagi-pagi kesini,ada hal apa ini?"tanya pak Komar.
Sementara Mumun bergegas masuk,Mumun memang tidak pernah mau ikut campur urusan suami dan Bapaknya.
Setelah Mumun pergi,Pak Ustadz dan Kang Jejen dipersilahkan duduk.
"Begini Pak Komar,pak Kades tadi malam Ica didatangi sosok arwah Sari,bahkan Ica hampir terbunuh,"Kang Jejen bicara dengan suara kecil,ia khawatir ada Emaknya Sari dan mendengarnya.
Pak Komar dan Kades Jana terkejut,mereka saling pandang.
"Kok bisa,bukankah kemarin Abah menyegel makamnya agar tidak keluar,"ujar pak Komar.
"Kami sendiri tidak mengerti,apa kita tidak sebaiknya melihat kemakam Sari sekarang,apa ada hal aneh disana,"usul Kang Jejen.
"Iya,ayo,"Pak Komar dan Kades Jana mengikuti kang Jejen dan pak Ustadz yang terlebih dulu naik kemotornya.
Mereka mengendarai motor menyusuri jalan melewati kebun dan sawah,setelah sampai mereka memarkirkan motor mereka dan bergegas pergi kemakam Sari.
Begitu sampai dimakam mereka terkejut ada tetesan darah yang mengering disekeliling makam dan bau amis menyengat.
"Apa ini,siapa yang melakukannya?"pak Komar shock melihat pemandangan itu.
Pak Ustadz dan yang lainnya pun sama.
"Pak Komar,apa ini perbuatan Emaknya Sari yah?"tanya kang Jejen.
"Entahlah,tapi aku ragu,kemarin dia pulang kekampungnya dan baru datang tadi pagi,"sahut Pak Komar.
"Benar itu pak Ustadz,Uwa memang pulang kekampungnya mau melihat rumahnya," Jana menguatkan pendapat mertuanya.
"Kalau begitu,ini perbuatan siapa ya?"sahut Kang Jejen.
Mereka terdiam,kemudian pak Komar mengajak mereka pulang dan melanjutkan pembicaraan mereka dirumah.
Sementara itu ditempat Ica disana sudah ada Kang Azam,Dewi dan Maharani,mereka lansung datang begitu mendengar berita tentang kejadian semalam.
Dewi duduk didekat Ica sambil mengelus-elus kepala Ica,sementara Rani dan Kang Azam duduk dikursi deket jendela.
"Ca,sebenarnya apa yang terjadi,Teteh tadi pagi mendengar dari cerita warga yang hendak kesawah."
"Enggak tahu Teh,Ica bingung,kenapa dia terus mengejar Ica,Ica sudah nyekar kekuburannya dan meminta maaf,apa itu tidak cukup?"Ica mulai menangis.
"Sabar,banyakin berdoa saja,Teteh tidak percaya arwah bisa bangkit lagi kalau tidak ada campur tangan manusia atau hal-hal lainnya,"Dewi berusaha menenangkan Ica.
"Tapi apa benar itu arwah Sari Ica,soalnya aku,Kang Jejen dan yang lainnya menyaksikan sendiri Abah sudah menyegel makam itu,sampai Abah juga pingsan,"Kang Azam setengah tak percaya.
"Bener Kang,sumpah,ini lihat,walaupun sudah diobati Akhmad lukanya masih terasa panas dan seperti melepuh,"Ica membuka kain yang menutupi lehernya,ada ramuan yang ditempelkan oleh Akhmad,tapi sepertinya itu tidak berpengaruh,malah seperti melepuh.
"Ya Allah Ica,apa ini sakit?"Dewi terkejut dan memeriksa leher Ica.
"Sangat sakit Teh,"Ica kembali meneteskan airmatanya.
Kang Azam pun ikut terkejut,ia ikut memeriksa luka Ica,"kok bisa seperti ini."
"Aku enggak tahu Kang?"Wajah Ica terlihat sedih.
"Sabar,kamu harus sabar,kita akan bantu cari obatnya,"Dewi memeluk Ica menguatkan,bagi Dewi Ica sudah seperti adik.
Tiba-tiba Maharani mendekati Bapaknya dan menarik bajunya,"Ayah,Ayah,Rani boleh pegang leher tante Ica tidak."
Kang Azam terkejut dengan permintaan Maharani,"jangan Neng,kasian Tante Icanya sedang sakit."
"Sebentar saja,yah boleh ya,"Maharani tetap meminta memegang leher Ica.
"Bagaimana ini?"Kang Azam menatap Dewi dan Ica meminta persetujuan.
"Udah biarin aja Kang,namanya juga anak kecil suka penasaran,"sahut Ica.
Dewi mengeser duduknya,"pelan-pelan yah tante Ica nya sedang kesakitan."
Rani tidak menyahuti ucapan Ibunya,ia tetap mendekati Ica dan ditempelkannya telapak tangannya dileher Ica.
Rani memejamkan matanya,tapi tangannya tetap ditempelkan dileher Ica,ada asap yang keluar dari leher yang dipegang Maharani,Ica mengeliat kesakitan.
"Akhhh..,Sakit,panas,"Ica berusaha melepas tangan Maharani.
Dewi dan Kang Azam panik,ia memanggil-manggil Maharani agar berhenti,tapi sepertinya Maharani tidak merespon.
"Sakit Neng,lepaskan tangannya,Tante kesakitan,"Ica terus berusaha melepaskan tangan Maharani yang seperti lengket dileher Ica.
"Diamlah,biarkan dia bekerja,"Maharani bersuara tapi suara yang keluar bukan suara Maharani,suara itu berat dan berwibawa.
Ica yang terkejut segera menarik tangannya,sedangkan Kang Azam dan Dewi tertegun shock dengan apa yang didengarnya.
Setelah beberapa saat Maharani membuka matanya,dia melepaskan tangannya dan menatap Ica.
"Sembuh ya Tante,tante orang baik,pasti banyak yang menolong,"Maharani mengelus-elus pipi Ica.
Ica begitu terharu,ia meneteskan airmatanya kemudian memeluk Maharani,"anak pintar,mudah-mudahan kalau nanti tante punya anak bisa secantik kamu dan sepintar kamu."
Ica melepaskan pelukannya dan membelai rambut Maharani,ia kemudian memeriksa lehernya,ia takjub sampai bangun dan melihat kekaca lemari memeriksa kembali lehernya.
"Aku sembuh,aku sembuh Teh,Kang Azam,"Ica menatap Dewi dan Kang Azam.
Dewi dan Kang Azam memeriksa leher Ica,lukanya sudah kering dan hanya bekas seperti tancapan kuku.
"Rani Neng,kok bisa,bagaimana kamu melakukannya,"Dewi bejongkok memegang pipi Maharani dengan kedua tangannya.
"Enggak tahu?"hanya jawaban itu yang keluar dari mulut Maharani.
"Kang...,"Dewi menatap Kang Azam meminta penjelasan.
"Sudah,sudah,tidak ada yang tidak mungkin kalau Allah sudah berkehendak,mungkin lewat tangan Maharani Ica bisa sembuh,"ujar Kang Azam,lalu mengangkat Maharani dan mengendongnya,ia jadi teringat akan ucapan Abah Harun sebelum beliau pulang.
awal aku ngebayangin daerah karawang, kan daerah penari.
lalu kalau jalur tempuh tengah malam bisa nyampe Banten, berarti deket, antara Bogor atau Sukabumi.
ah jadi lieur kumaha othor wae lah hehehe
up
up
up