Difiar Seamus seorang penyihir penyedia jasa pengabul permintaan dengan imbalan sesuka hatinya. Tidak segan-segan Difiar mengambil hal berharga dari pelanggannya. Sehingga manusia sadar jika mereka harus lebih berusaha lagi daripada menempuh jalan instan yang membuat mereka menyesal.
Malena Safira manusia yang tidak tahu identitasnya, pasalnya semua orang menganggap jika dirinya seorang penjelajah waktu. Bagi Safira, dia hanyalah orang yang setiap hari selalu sial dan bermimpi buruk. Anehnya, mimpi itu merupakan kisah masa lalu orang yang diambang kematian.
Jika kalian sedang putus asa lalu menemukan gubuk tua yang di kelilingi pepohonan, masuklah ke dalam penyihir akan mengabulkan permintaan kalian karena mereka pernah mencicipi rasanya ramuan pengubah nasib yang terbukti ampuh mengubah hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gaurika Jolie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kontrak Kerja Sama Penyihir
Samuel salah tingkah, dirinya mengangguk seraya mengulum senyum. “Kenapa kamu bisa sampai sini? Buruan pergi dari sini! Kamu nggak pantas datang ke sini!”
“Kenapa?” heran Safira langsung mengerucutkan bibir. “Aku punya keinginan yang harus dikabulkan penyihir! Benar kan ini bar penyihir?”
Samuel mengajak Safira ke luar. “Iya, tapi aku sarankan kamu jangan terlibat sama dia karena hidupmu akan berubah!”
“Aku nggak masalah selama permintaanku terwujud!”
“Tapi, aku nggak mau kamu menyesal karena permintaan kamu ada harga yang harus dibayar. Sebelum hal buruk terjadi, lebih baik kamu pulang,” suruhnya membuka pintu lalu mendorong Safira ke luar.
“Berapa harganya?”
“Bayarannya nggak pakai uang, tapi pakai sistem barter sesuai sama apa yang kamu minta.”
Samuel terkejut karena di luar teras rumah asli pemilik bar, yang berarti jika Safira tidak bisa pulang. “Kita cari jalan lain!”
Melihat Samuel yang menghalangi rencananya, Safira langsung menerobos masuk. “Aku nggak peduli itu, penting bagiku saat ini karena kamu nggak pernah merasakan ada di posisiku! Biar aku mengubah takdirku sendiri!”
Samuel pasrah tidak bisa mencegah wanita incarannya masuk ke dalam jurang dengan suka rela. Setelah melihat dia duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan penyihir, dirinya tidak boleh ikut campur perjanjian antara manusia dan penyihir.
“Sebenarnya, aku nggak bisa menerima pelanggan sebelum waktu yang udah ditentukan, karena kamu udah datang dua kali di sini, aku pikir kamu memang orang yang terpilih.”
Safira menggenggam erat kedua tangannya di atas meja seolah membenarkan ucapan pria di balik kursi itu. “Kita pernah bertemu?”
“Kamu lupa sebelum kebakaran itu? Kamu ada di sini memesan keinginan secara gratis. Semua permintaan kamu udah terwujud,” jawabnya lalu menyilangkan sebelah kakinya. “Penderitaan Manager kamu? Sebentar lagi akan ada berita besar menyangkut Manager kamu.”
Kepala Safira menggeleng berulang kali. Dia menangkap apa yang dimaksud penyihir itu. “Hey, nggak mungkin! Aku hanya bilang permintaan itu ke seseorang yang aku temui waktu gerhana bulan. Beda lagi sama mimpi pesan di bar kamu secara gratis!”
Tiba-tiba saja kursi itu berputar menghadap ke arah Safira. Wajah datarnya masih sama seperti pria yang pernah menciumnya. Mulut Safira langsung terkunci rapat.
'Aku salah menilai. Ternyata aku minta keinginan malam itu langsung dari pusatnya langsung!'
"Jangan pura-pura melupakanku, Safira!" tekan Difiar yang menatap cinta pertamanya itu dengan tajam. "Kamu masih belum bayar utang!"
"Iya, aku ingat!"
Difiar tersenyum miring. “Kamu selalu menemukan tujuan yang tepat. Kali ini kamu minta apa? Pekerjaan baru? Balas dendam? Uang yang banyak? Kali ini kamu harus bayar!”
Setelah gerhana itu, Safira tidak ingin bertemu dengan pria di depannya karena malu. Safira hendak meninggalkan bar itu, tetapi tidak bisa seolah pantatnya menduduki lem.
Akhirnya, Safira mengembuskan napas pasrah. 'Mungkin ini jalan satu-satunya. Aku memang ada di ujung jurang.'
Kepala Safira mendongak menatap Difiar. “Aku ingin membuang kesialanku! Sejak awal yang buat rumit hidupku itu kesialan yang terus menerus datang membuat masalah baru.”
“Jadi?”
Dengan mantap Safira menjajarkan posisi duduknya. “Aku ingin mengubah kesialan dalam hidupku jadi keberuntungan yang bertubi-tubi! Terserah kamu mau kasih harga berapa, aku siap membayarnya.”
Seolah menantikan perkataan yang diinginkan Difiar dari mulut Safira secara langsung, Difiar menjentikkan jarinya sehingga tidak ada yang keberatan di antara kedua belah pihak. "Sepertinya ... kamu memang putus asa."
“Ambil kontrak kerja yang udah disiapkan! Aku menemukan asisten pribadi pilihanku sendiri daripada menunggu kamu lama,” sindir Difiar lalu berdiri menunggu benda yang dia minta.
Samuel masih kebingungan. “Kalian pernah bertemu sebelum di diskotik?"
“Ada masalah?” Difiar balik tanya, matanya menunjuk tangannya yang menunggu surat kontrak itu.
“Nggak boleh! Kata kamu harus dari dunia sihir? Safira itu manusia, Difiar! Lagian nggak sebanding sama harga yang kamu patok!” Samuel protes, tentunya dia tidak ingin keburukan menimpa gadis incarannya.
Difiar berdecak. “Aku butuh karyawan secepatnya. Lagi pula ada hal yang buatku tertarik, dia bisa terhubung sama masa lalu calon pelanggan bar ini, berarti ada kaitannya. Sepertinya, dia bukan manusia biasa.”
Samuel masih tidak menerimanya. Dia menuntut Safira untuk berpikir ulang. “Pikirkan baik-baik! Kalau kamu setuju aku nggak masalah, sebelum penyesalan terlambat kamu harus ikuti saranku!”
“Kamu bisa selalu ada saat aku butuh bantuan?”
Pertanyaan Safira membuat Samuel terdiam. “Tapi—”
“Maka dari itu, aku cuma bisa mengandalkan diri sendiri dan apa yang terjadi setelahnya itu tanggung jawabku!” potong Safira dengan tegas sehingga Difiar kembali membuka telapak tangannya menunggu surat kontrak yang dia inginkan.
Samuel mengalah, percuma menasehati orang putus asa. Dirinya mengambil kontrak itu lalu memberikan ke Safira. Saat Samuel mau menyuruh Safira baca terlebih dahulu, ternyata langsung ditanda tangani setelah kertas ditaruh di depannya. Samuel hanya bisa mengembuskan napas.
Difiar mengambil kertas kontrak itu. “Nggak ada yang bisa mengubah kontrak ini kecuali aku!”
Setelah kepergian Difiar, Safira kembali melihat tempat yang ternyata pernah dia datangi. Ketika mengetuk-ngetuk meja, Samuel menghampirinya.
“Pikirin lagi deh, kontraknya jangka panjang! Kalau kamu mau tarik biar aku bujuk Difiar!”
“Ah, benar aku baru ingat. Kartu identitas penyihir yang kamu kasih waktu itu milik Difiar, kan?” tanya Safira mengalihkan topik.
Samuel masih kekeh mencegah Safira kerja bersama penyihir. “Coba pikirin penyesalan nanti!”
“Memang berapa lama? Lima tahun, kan?” tanya Safira seraya melihat ke arah tempat Difiar meracik ramuan, dirinya sampai terpesona karena mimpi dan kenyataan jauh berbeda.
“Gini nih nggak baca kontrak itu, ya? Kamu harus kerja di bar ini sebagai asistennya selama seribu tahun!”
Mulut Safira terbuka lebar. “Yang benar? Umur aku nggak sampai segitu!”
Samuel hanya mengedikan bahu. “Makanya kamu tadi baca dulu!”
“Nggak papa udah terlanjur. Aku juga butuh pekerjaan,” jawab Safira yang masih menatap punggung Difiar. “Yang penting gajinya besar.”
"Ya ampun!!" Energi Samuel terkuras habis. Dirinya duduk di kursi lain untuk melirik Safira yang masih terpesona sama keahlian Difiar meracik ramuan.
“Wah, selesai.”
Mereka melihat ke arah Difiar yang membawa sendiri baki ramuan itu.
“Tumben banget, biasanya panggil aku.”
Difiar tidak menanggapi temannya yang cerewet. Setelah menaruh ramuan itu, Difiar duduk di kursinya. “Sebelum minum minta permintaan kamu dulu.”
Safira mengangguk. “Makasih.”
Gelas mungil itu pas di genggamannya. Dirinya memejamkan mata meminta apa yang dia inginkan lalu menghirup aroma jamu itu yang sama sekali tidak beraroma.
Perlahan dirinya siap-siap merasakan pahitnya jamu, tetapi setelah meneguk jamu itu ternyata sangat ringan seolah minum air putih.
“Ah.” Safira menaruh gelas yang isinya telah habis. Badannya terasa segar serta dahaganya hilang.
Difiar melihat senyum Safira yang seakan menggelitik hatinya. Dirinya ingin melihatnya terus, tetapi hari ini Safira terlihat lelah dengan pakaian rumah sakit. “Hari ini istirahatlah di rumah. Besok kamu masuk kerja setelah matahari terbenam, karena harus mempersiapkan bahan dan alat-alat ... bersih-bersih juga!”
Safira mengangguk. Ketika mau berdiri dia memegang rahangnya. “Kalau pertemuan kita itu nyata, bagaimana aku aku bisa sampai rumah? Aku sama sekali nggak ingat setelah tidur.”
“Gendong sampai rumah.”
“Hey, nggak mungkin...." rengek Safira dengan gelengan kepala. “Pakai sihir, ya?”
“Menurut kamu apa? Kalau pakai sihir orang-orang yang lihat bisa pingsan, tiba-tiba hilang gitu aja!” jawab Difiar memutar kedua bola matanya.
“Biasa aja, dong!” Sepertinya Safira mulai kesal dengan wajah datar Difiar.
Samuel curiga. “Kalian pernah bertemu di mana, sih?”
“Rahasia!” jawab mereka serentak yang membuat Safira tertawa.
Samuel kesal ternyata mereka pernah bertemu lagi selain di diskotik. Melihat mereka yang masih saling tatap membuat Samuel cemburu. Dengan cepat Samuel menyuruhnya berdiri.
"Husstt!! Pulang udah malam! Cewek nggak boleh keluar malam!" usir Samuel melampiaskan kekesalannya.
“Hih! Iya-iya ini mau pulang!” Safira berusaha melihat Difiar untuk pamitan, tetapi Samuel mendorongnya dari belakang. Safira melambaikan tangannya. "Baybay, kreditur!"
Penyihir murni itu membalikkan bahu Safira sehingga mereka berjalan menuju pintu.
“Kamu yakin kerja di tempat penyihir?” tanya Samuel saat sampai di depan pintu.
Safira mengangguk. “Aku akan baik-baik aja, nggak usah cemas.”
Tiba-tiba saja tangan Samuel mengusap kepala Safira. “Kalau ada apa-apa bilang aja sama aku, pasti aku bantu kamu.”
Safira mengangguk lalu tersenyum.
“Mau aku antar pulang?”
“Kerjakan cucian dulu kalau mau pergi!” Suara lantang dari belakang mereka membuat tangan Samuel turun dari kepala Safira.
Tawa Safira mencairkan kecanggungan mereka. “Nggak papa aku bisa pulang sendiri. Buruan kamu kerja dulu. Kapan-kapan kita main, yuk.”
“Ayok!” Samuel langsung setuju. “Aku traktir, deh!”
"Ekkhemm!"
Difiar berdeham yang membuat Safira menyentuh gagang pintu. “Aku pulang dulu, ya. Sepertinya kamu sibuk.”
“Dia memang gitu. Hati-hati di jalan,” suruh Samuel lalu pergi meninggalkan Safira yang masih memegang gagang pintu.
“Aku ingin sampai rumah sakit biar nggak perlu jalan kaki sampai sana.” Setelahnya dia menarik pintu itu yang langsung tertuju pada jalan yang mengarah ke rumah sakit.
Tentu saja Safira langsung menganggap jika Difiar memang penyihir setelah gubuk tua itu menghilang dari pandangannya.
“Aku harap, ini bukan mimpi!”