NovelToon NovelToon
Takdir Di Ujung Cinta

Takdir Di Ujung Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Irh Djuanda

Judul: Takdir di Ujung Cinta

Soraya adalah seorang gadis sederhana yang tinggal di sebuah desa kecil bersama ayah dan ibunya. Setelah ayahnya meninggal dunia akibat penyakit, keluarga mereka jatuh miskin. Utang-utang menumpuk, dan ibunya yang lemah tidak mampu bekerja keras. Soraya, yang baru berusia 22 tahun, harus menjadi tulang punggung keluarga.

Masalah mulai muncul ketika seorang pria kaya bernama Arman datang ke rumah mereka. Arman adalah seorang pengusaha muda yang tampan tetapi terkenal dingin dan arogan. Ia menawarkan untuk melunasi semua utang keluarga Soraya dengan satu syarat: Soraya harus menikah dengannya. Tanpa pilihan lain, demi menyelamatkan ibunya dari hutang yang semakin menjerat, Soraya menerima lamaran itu meskipun hatinya hancur.

Hari pernikahan berlangsung dengan dingin. Soraya merasa seperti burung dalam sangkar emas, terperangkap dalam kehidupan yang bukan pilihannya. Sementara itu, Arman memandang pernikahan ini sebagai kontrak bisnis, tanpa rasa cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Satu kebenaran terungkap

Malam semakin larut, tapi pikiran Arman terus berputar, tak memberikan ruang untuk beristirahat. Setelah Soraya kembali ke kamar, ia tetap duduk di ruang tamu, termenung di tengah keremangan lampu.

Ponselnya kembali bergetar. Kali ini bukan pesan, melainkan panggilan telepon. Nama Nadia tertera di layar. Arman menatapnya dengan nadi yang berdegup kencang. Ia ingin mengabaikannya, tapi entah kenapa jari-jarinya bergerak untuk menerima panggilan itu.

"Arman," suara Nadia terdengar dingin di ujung telepon,

"Kau pikir aku akan diam saja menunggu? Aku sudah cukup sabar."

"Nadia, tolong... jangan lakukan ini sekarang," kata Arman, nadanya penuh tekanan. Ia melirik ke tangga, memastikan Soraya tak mendengar.

"Jangan lakukan ini?" Nadia tertawa kecil, penuh ironi.

"Kau yang seharusnya berhenti berpura-pura. Kau tak bisa terus menyembunyikan ini dari Soraya. Atau kau ingin aku sendiri yang memberitahunya?"

"Nadia, aku akan memberitahunya," balas Arman cepat.

"Tapi beri aku waktu. Aku sedang mencari cara yang tepat."

"Sudah bertahun-tahun, Arman," potong Nadia, suaranya berubah tajam.

"Berapa banyak waktu lagi yang kau butuhkan? Kau tahu apa yang terjadi pada kakakku karena semua ini. Apa kau pikir aku akan terus membiarkanmu hidup tenang setelah apa yang kau lakukan?"

Arman terdiam, tak mampu menjawab. Kata-kata Nadia menghantamnya seperti pukulan bertubi-tubi. Ia tahu Nadia benar. Apa yang ia lakukan dulu telah menghancurkan seseorang yang tak pantas diperlakukan seperti itu.

"Aku akan bertemu Soraya besok," kata Nadia akhirnya, suaranya penuh kepastian.

"Kalau kau masih punya sedikit keberanian, kau yang harus bicara duluan. Kalau tidak, aku yang akan melakukannya."

"Nadia, tunggu—" Tapi sambungan telepon sudah terputus.

Arman meletakkan ponselnya dengan tangan gemetar. Ia menatap kosong ke depan, pikirannya dipenuhi rasa takut dan penyesalan. Di atas sana, Soraya tertidur lelap, tak menyadari badai yang sedang mendekat.

***

Arman terduduk lemas, ponsel masih tergenggam erat di tangannya. Dalam pikirannya, berbagai kemungkinan buruk mulai bermunculan. Jika Nadia benar-benar menemui Soraya besok, ia tahu semuanya akan runtuh. Tapi di sisi lain, jika ia tetap diam, Nadia mungkin akan melangkah lebih jauh.

Arman menghela napas panjang, mencoba mencari keberanian. Ia melirik jam dinding—sudah hampir tengah malam. Dengan tangan gemetar, ia kembali menatap ponselnya, kali ini hendak menelepon Ray. Hanya sahabatnya itu yang bisa memberinya nasihat dalam situasi seperti ini.

Namun, sebelum ia sempat menekan tombol panggil, langkah kaki terdengar dari arah tangga. Soraya muncul, mengenakan piyama, dengan raut wajah mengantuk tapi penuh rasa ingin tahu.

"Kenapa kau belum tidur?" tanya Soraya, berjalan mendekat.

"Ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu, ya?"

Arman segera menyembunyikan ponselnya di balik sofa, mencoba mengendalikan ekspresi wajahnya.

"Soraya" ucapnya seraya memegang kedua tangan lembut istrinya.

"Sebenarnya,,,, aku sudah pernah menikah! Dan Nadia, adik iparku"

Soraya terdiam, seolah kata-kata Arman baru saja menghantamnya seperti petir di siang bolong. Matanya membesar, lalu perlahan menyipit, mencoba memahami apa yang baru saja didengarnya.

"Kau... sudah menikah?" bisiknya nyaris tak terdengar.

"Dan Nadia... dia siapa sebenarnya?"

Arman mengangguk perlahan, menunduk dalam rasa bersalah yang tak mampu ia sembunyikan.

"Nadia adalah adik dari mantan istriku. Aku tak pernah berniat menyembunyikan ini darimu, Soraya. Tapi aku... aku takut. Takut kehilanganmu."

Soraya menarik tangannya dari genggaman Arman. Tubuhnya kaku, seolah kekuatan untuk berdiri hampir meninggalkannya.

"Jadi selama ini... semuanya palsu? Kejujuran yang selalu kau banggakan, perhatian yang kau tunjukkan... itu semua hanya topeng?"

"Tidak, Soraya! Tidak ada satu pun darimu yang palsu. Aku mencintaimu, sungguh. Aku hanya tak tahu bagaimana cara mengatakannya."

Suara Arman mulai serak, hampir memohon.

"Pernikahanku sebelumnya sudah lama berakhir. Mantan istriku pergi begitu saja tanpa kabar, meninggalkanku dan... dan Nadia. Aku tak ingin membawa bayangan masa lalu itu ke dalam hidup kita."

Namun Soraya menggeleng pelan, air mata mulai mengalir di pipinya.

"Tapi kau membawanya, Arman. Dengan berbohong padaku, kau sudah menyeret bayangan itu masuk tanpa aku tahu. Kau pikir aku tidak layak tahu tentang hidupmu sebelumnya?"

Arman mendekat, mencoba meraih Soraya, tapi ia mundur, menolak sentuhan itu.

"Soraya, aku tahu aku salah," katanya, hampir berbisik.

"Tapi aku tidak pernah berpikir hal ini akan kembali menghantui kita. Nadia tiba-tiba muncul di hidup kita lagi, dan aku tidak tahu bagaimana menghadapinya."

Soraya terdiam, memeluk dirinya sendiri seolah mencoba menemukan kekuatan dalam keheningan. Akhirnya, setelah beberapa saat yang terasa seperti selamanya, ia mengangkat wajahnya, matanya penuh tekad.

"Besok," katanya pelan namun tegas,

"kau akan menemui Nadia. Dan aku akan ikut. Aku ingin mendengar langsung darinya apa yang sebenarnya terjadi."

"Soraya, aku—"

"Sudah cukup, Arman," potong Soraya, suaranya bergetar.

"Kali ini, aku ingin tahu semuanya. Dan jika aku menemukan lebih banyak rahasia, aku tidak tahu apakah aku bisa bertahan dalam hubungan ini."

Tanpa menunggu jawaban, Soraya berbalik, meninggalkan Arman berdiri di ruang tamu yang terasa semakin dingin dan sunyi. Di tangannya, ponsel yang tadi menggenggam begitu erat kini terasa seperti beban tak tertanggungkan.

Arman tahu, hari esok akan menentukan segalanya. Dan ia tidak yakin siap untuk menghadapi apa yang akan datang.

Tanpa Arman sadari, Arman telah membuka luka lama yang ada pada Soraya. Luka ibunya, Sheila kini menjadi bayang-bayang dalam rumah tangganya.

Pagi itu Farida melihat gelagat aneh pada putra dan menantunya. Tak seperti biasa mereka berjalan tak saling berdampingan. Hal itu membuat Farida bertanya-tanya.

"Arman, apa yang terjadi dengan kalian? Apa kalian sedang bertengkar?"

Menghentikan langkahnya di ambang pintu dapur, menoleh ke arah ibunya yang sedang duduk di meja makan dengan cangkir teh hangat di tangannya. Soraya berdiri tak jauh di belakangnya, wajahnya kaku dan matanya menghindari tatapan Farida.

"Ibu, Soraya sudah mengetahui tentang Nadia"

Ungkap Arman, tentu saja Farida terkejut mendengarnya. Nadanya seketika berubah serius, cangkir teh yang ada di tangannya hampir terlepas. Dia menatap Arman, mencoba mencerna apa yang baru saja diungkapkan.

"Tahu tentang Nadia?" Farida mengulang, suaranya pelan namun tegas.

"Apa maksudmu, Arman? Apa Nadia sudah mengatakannya?."

Tatapan Farida beralih pada wajah sedih Soraya. Ia tahu jika kini perasaan Soraya kecewa, marah bercampur aduk. Farida mendekat pada Soraya dan mencoba membuat Soraya sedikit lebih tenang.

"Nak, ibu mohon padamu, percayalah pada Arman. Arman tak mungkin menyakiti mu."

"Ibu tahu apa yang kau rasakan saat ini. Namun, apapun alasan Arman menutupi kebenaran tentang masa lalunya, semua hanya untuk mu, Nak".

Mendengar ucapan Farida membuat hati Soraya sedikit terguncang. Soraya menatap sendu kepada mertuanya itu. Ada ketulusan saat mengatakan kata-kata itu. Namun Soraya hanya ingin memastikan apa yang diinginkan Nadia.

"Bu, Soraya hanya ingin memastikan, apakah tujuan Nadia mengganggu kebahagian ku!"

Farida menatap Soraya dengan penuh perhatian, mencoba meresapi kata-kata menantunya. Suasana di sekitar mereka terasa kian berat, seolah-olah setiap detik menjadi beban yang tak terkatakan. Farida menghela napas panjang, meletakkan cangkir teh yang kini hampir dingin ke atas meja.

"Soraya, Ibu tahu kamu merasa terancam dengan keberadaan Nadia. Ibu mengerti bagaimana perasaanmu saat mengetahui ada rahasia besar yang selama ini disembunyikan," ujar Farida dengan suara lembut, berusaha menenangkan.

Namun, meskipun suara Farida terdengar tenang, Soraya masih tampak cemas dan bimbang. Wajahnya yang dulu ceria kini dipenuhi keraguan. Dia tak tahu apakah dia bisa mempercayai apa yang dikatakan mertuanya atau apakah dia hanya sedang dibohongi.

"Ibu, apakah kamu benar-benar yakin, bahwa apa yang dilakukan Arman itu demi kebaikanku?" tanya Soraya, nada suaranya kali ini lebih rendah, hampir seperti bisikan.

"Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Arman yang sejak tadi terdiam, merasa seperti terpojok. Rasa bersalah semakin mencekiknya. Ia tahu bahwa segala yang disembunyikan hanya akan menyakiti Soraya, namun tak ada pilihan lain selain melindunginya dari kenyataan yang lebih pahit.

"Soraya, aku mohon, percayalah padaku," Arman akhirnya angkat bicara, suaranya bergetar.

"Aku tahu aku membuat kesalahan, tapi semua yang aku lakukan, aku lakukan karena aku ingin melindungimu, dan aku tak ingin ada yang mengusik kebahagiaan kita."

Namun, Soraya tetap terdiam. Sorot matanya menunjukkan kebingungannya.

"Tapi kenapa baru sekarang semuanya terungkap? Apa yang sebenarnya terjadi, Arman? Apa yang kamu sembunyikan dariku?"

Farida memandang keduanya dengan harapan, meski hatinya juga terasa berat. Dia ingin semuanya selesai dengan damai, agar keluarga ini bisa kembali utuh. Tapi, seiring dengan pergulatan batin yang ada, ia tahu bahwa kedamaian tak akan mudah datang jika kebenaran masih disembunyikan.

"Arman," Farida akhirnya berkata,

"jika ini adalah waktunya untuk semuanya dibuka, maka lakukanlah. Jangan biarkan rahasia itu merusak apa yang sudah kita bangun. Ibu tahu ini berat, tapi kadang kita harus menghadapi kenyataan, meski itu menyakitkan."

Arman menunduk, merasa terjebak di antara cintanya kepada Soraya dan keinginan untuk melindunginya dari masa lalunya yang kelam. Namun, satu hal yang ia tahu, ia tak ingin kehilangan keluarganya.

Dengan suara berat, Arman mulai membuka cerita yang selama ini ia sembunyikan, berharap, meskipun sulit, Soraya bisa memahaminya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!