bercerita tentang Boni, seorang pemuda lugu yang kembali ke kampung halamannya setelah merantau selama 5 tahun. Kedatangannya disambut hangat oleh keluarga dan sahabatnya, termasuk Yuni, gadis cantik yang disukainya sejak kecil.
Suasana damai Desa Duren terusik dengan kedatangan Kepala Desa, pejabat baru yang sombong dan serakah. Kepala desa bermaksud menguasai seluruh perkebunan durian dan mengubahnya menjadi perkebunan kelapa sawit.
Boni dan Yuni geram dengan tindakan kepala desa tersebut dan membentuk tim "Pengawal Duren" untuk melawannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hinjeki No Yuri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Baru
Pagi hari di Kampung Duren selalu diawali dengan kicauan burung dan aroma kopi yang tercium dari setiap rumah. Namun, pagi ini terasa sedikit berbeda. Usai kejadian patroli malam sebelumnya, Boni dan Yuni bergegas menuju balai desa untuk berkumpul dengan tim Pengawal Duren.
Boni datang lebih awal dari yang lain, membawa setermos kopi dan beberapa gorengan untuk disantap bersama ketika yang lain tiba. Dia duduk di salah satu bangku kayu panjang, menunggu yang lain datang. Tak lama kemudian, Yuni muncul dengan membawa buku catatannya.
“Kamu rajin banget pagi-pagi udah di sini,” ujar Yuni sambil duduk di sebelah Boni.
“Aku nggak bisa tidur tadi malam,” jawab Boni sambil menuangkan kopi ke cangkir kecil. “Kejadian semalam bikin aku mikir terus.”
“Aku juga.” balas Yuni. “Makanya aku langsung bikin daftar langkah-langkah yang bisa kita lakukan untuk rencana patroli nanti."
Boni melirik buku catatan Yuni yang penuh dengan coretan. “Kamu serius banget ya.”
“Ya iyalah.” jawab Yuni sambil tersenyum. “Kalau kita nggak serius, kebun ini bisa hancur nantinya.”
Tak lama kemudian, Arman, Pak Jono, dan beberapa anggota tim lainnya tiba di balai desa. Mereka membawa berbagai perlengkapan, termasuk peta dan catatan patroli sebelumnya.
“Baik, kita mulai.” ujar Arman sambil mengetuk meja dengan jarinya. “Semalam Boni dan Yuni nemuin jejak baru di bagian barat kebun. Kita juga dapet bukti kalau ada yang mencoba merusak pohon durian.”
Ia mengangkat gergaji kecil yang ditemukan Boni dan Yuni tadi malam.
“Pertanyaannya sekarang, siapa dalang yang ada di balik semua ini?” lanjut Arman.
Pak Jono menghela nafas. “Aku kira ini ada kaitannya dengan pak Kepala Desa. “Dia kan, sudah lama menargetkan perkebunan kita untuk diubah menjadi perkebunan kelapa sawit.”
“Tapi masalahnya kita nggak punya bukti apapun yang menguatkan kalau pelakunya adalah kepala desa.” ujar Yuni. “Kita cuma tahu ada dua orang yang kabur semalam.”
“Kalau begitu, kita harus cari bukti lebih banyak lagi” kata Boni. “Kita harus lebih tingkatkan lagi patrolinya dan mungkin kita bisa pasang jebakan di beberapa titik strategis.”
“Jebakan?” tanya Bu Siti dengan alis terangkat.
“Iya.” jawab Boni sambil tersenyum. “Bukan jebakan yang berbahaya, tapi sesuatu yang bikin mereka ketahuan kalau masuk kedalam kebun.”
Tim mulai mendiskusikan mengenai masalah gagasan jebakan yang Yuni usulkan. Yuni mengeluarkan buku catatannya dan mulai mencatat berbagai saran.
“Aku kepikiran, bagaimana kita pakai lonceng untuk jebakannya?” kata Arman. “Kita gantung saja lonceng itu di pohon, jadi kalau ada yang mendekat, loncengnya nanti bakalan bunyi.”
“Bagus juga idemu.” ujar Yuni sambil mencatat. “Tapi kita butuh sesuatu yang lebih mengejutkan lagi, daripada sekedar lonceng.”
“Gimana kalau kita pasang ember berisi air di atas pintu masuk kebun?” usul Boni sambil tertawa kecil. “Kalau mereka lewat, embernya bakalan tumpah.”
Semua orang tertawa mendengar ide yang diusulkan oleh Boni.
“Itu sangat lucu! tapi menurutku, rencanamu itu nggak terlalu efektif.” komentar Pak Jono sambil tersenyum. “Kita butuh sesuatu yang bisa bikin mereka takut.”
“Apa bisa kalau kita pakai suara aneh?” tanya Bu Siti. “Kayak suara hewan buas atau sesuatu hal yang bisa membuat mereka lari.”
Yuni mengangguk. “Itu ide bagus! Kita bisa pasang speaker kecil di beberapa titik, terus rekam suara serigala atau macan.”
Arman mengetuk meja. “Oke, kita gabungkan semua ide ini. Malam ini kita pasang lonceng, speaker, dan jebakan air. Kita lihat bagaimana reaksi mereka.”
Malam harinya, tim Pengawal Duren mulai memasang jebakan di sekitar kebun duren. Boni dan Yuni bertugas untuk menggantung lonceng kecil di beberapa pohon.
“Kamu yakin ini bakalan berhasil?” tanya Yuni sambil mengikat lonceng di cabang pohon.
“Yakinlah.” jawab Boni. “Minimal, kita bakal tahu kalau ada yang masuk.”
Di sisi lain kebun, Arman dan Pak Jono memasang ember berisi air di atas pintu masuk. Mereka terkekeh membayangkan seseorang terjebak dalam jebakan itu.
“Aku tidak bisa membayangkan betapa lucunya mereka. kalau sampai terkena jebakan ini, pastinya mereka bakalan lari terbirit-birit.” kata Pak Jono.
“Benar,” balas Arman. “Setidaknya jebakan ini bakal ngasih kita waktu buat bertindak untuk bisa menangkap mereka.”
Sementara itu Bu Siti dan beberapa warga lainnya tengah memasang speaker kecil yang terkoneksi dengan ponsel. Mereka mencoba memainkan suara serigala, dan hasilnya cukup menakutkan.
“Ini pasti bikin mereka lari tunggang-langgang.” kata Bu Siti sambil tertawa.
Setelah semua jebakan selesai dipasang, semua tim kembali ke gubuk untuk berjaga. Mereka memutuskan untuk begadang semalaman dan berpatroli secara bergiliran setiap dua jam.
Boni dan Yuni duduk di dekat jendela, memantau area kebun.
“Yun, menurutmu kita bakal lihat sesuatu malam ini?” tanya Boni sambil menyesap kopi.
“Mungkin.” jawab Yuni pelan. “Tapi aku harap kita nggak perlu sampai menghadapi mereka secara langsung.”
"Tetapi kalau kita terpaksa harus melawan, aku akan melindungimu, jadi kau tidak perlu khawatir." kata Boni dengan nada serius.
Yuni tersenyum tipis. "Aku tahu, kok Bon! Makanya aku selalu tenang kalau ada kamu."
Mereka melanjutkan pengintaian secara diam-diam, hanya diiringi suara jangkrik dan angin malam yang menghembus disekitar mereka berdua.
Sekitar pukul dua pagi, bel di bagian barat kebun tiba-tiba berbunyi. Boni yang tengah mendapat giliran berjaga langsung berdiri.
“Ada yang masuk!” serunya pelan, membangunkan Yuni dan Arman.
Ketiganya langsung berlari menuju lokasi bel, sambil membawa senter dan tongkat. Di dekat pohon tua, mereka melihat bayangan dua orang yang mencoba memanjat pohon tersebut.
“Berhenti di situ!” teriak Boni sambil menyorotkan senter ke arah mereka.
Kedua pria tersebut kaget dan berusaha melarikan diri, namun salah satunya terkena jebakan ember air. Ember itu jatuh dan air dingin mengalir ke tubuhnya.
“Ah, sial!” teriak pria itu sambil mencoba bangkit.
Boni dan Arman langsung menangkapnya, sementara satu orang lainnya berhasil melarikan diri.
“Lepasin gue!” pria itu berteriak sambil mencoba melepaskan diri.
“Siapa kamu? Dan apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Arman dengan nada tegas.
Pria itu hanya diam, menunduk dengan raut wajah ketakutan.
“Kita bawa saja langsung dia ke balai desa." kata Boni.
"Baiklah aku setuju." Balas Arman.
Mereka segera membawa pria yang mereka yakini sebagai orang yang berniat merusak kebun durian, menuju balai desa untuk diinterogasi.
...----------------...
Di balai desa, pria itu duduk dengan tangan terikat. Yuni berdiri di depannya sambil menatapnya dengan tatapan tajam.
“Sekarang cepat jawab,” kata Yuni. “Siapa yang menyuruhmu masuk ke kebun kami?”
Pria itu masih terdiam, namun matanya berkilat gelisah.
“Kalau kamu nggak jawab, kita bisa lapor ke kamu polisi.” ancam Arman.
Pria itu akhirnya membuka mulut. “Oke, oke! Gue cuma disuruh. Gue nggak tahu siapa bosnya. Gue cuma dibayar buat nebang pohon.”
“Dibayar sama siapa?” desak Boni.
Pria itu menggeleng. “Gue nggak tahu nama aslinya. Tapi dia selalu datang pakai mobil hitam.”
Yuni menoleh ke Arman. “Mobil hitam? Bukankah itu mirip dengan mobil Kepala Desa?”
Arman mengangguk. “Kita perlu bukti lebih kuat, Tapi ini udah cukup buat memastikan kecurigaan kita.”
Setelah pria tersebut dibebaskan dengan peringatan keras, tim Pengawal Duren berkumpul kembali.
“Kita harus terus tingkatkan pengawasan,” kata Arman. “Dan sekarang kita punya alasan lebih kuat buat mencurigai Kepala Desa.”
Yuni mengangguk. “Tapi kita juga harus hati-hati. Kalau dia tahu kita udah curiga, dia bisa jadi lebih agresif.”
Boni mengepalkan tangannya. “Apapun yang terjadi, kita nggak boleh kalah. Kebun ini adalah milik kita, dan kita akan melindunginya.”