Pembaca baru, mending langsung baca bab 2 ya. Walaupun ini buku kedua, saya mencoba membuat tidak membingungkan para pembaca baru. thanks.
Prolog...
Malam itu, tanpa aku sadari, ada seseorang yang mengikuti ku dari belakang.
Lalu, di suatu jalan yang gelap, dan tersembunyi dari hiruk-pikuk keramaian kota. Orang yang mengikuti ku tiba-tiba saja menghujamkan pisau tepat di kepalaku.
Dan, matilah aku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ady Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. Kuntilanak?
"Ayu!!! Kamu mengacak-acak kosmetik nya Mbak Mega kan!!!" sosok berbaju serba hitam tadi menyerbu ke Ayu yang kebetulan, atau sengaja duduk di sebelahku.
"Kyaaa!!!" Ayu sembunyi di belakang punggungku. "Maaf, Ayu cuma ingin terlihat lebih cantik lagi seperti Mbak Mega."
"Sini kamu!!" Mbak Mbak yang di panggil Mbak Mega itu menyeret tangan Ayu supaya di berdiri. Tapi, tangan Ayu berpegangan erat ke lenganku.
"Hei hei! Jangan libatkan aku." seru ku.
"Aah, Mas Riyono. Tolongin." rengek Ayu.
"Minta tolong ke Angga sana. Dia kakak kamu kan?" protes ku.
"Mas Angga temennya Mbak Mega. Suka marahin aku. Adadadadaahh!!" Mbak Mega menjewer telinga Ayu. "Ampun Mbak. Ampun!! Huee!!!" Ayu pun menangis sambil memeluk erat lenganku.
"Kamu masih terlalu kecil untuk berdandan!" Kata Mbak Mega. "Kalau mau berdandan, setidaknya minta tolong ke Mbak Mega. Biar Mbak yang dandani kamu."
"U.. Udah donk. Kita lagi seru-serunya nonton tipi nih." kataku. "jadi kelewatan tuh bagian seru-serunya."
Mbak Mega melotot ke arahku. Aku bergidik ngeri sambil berupaya melindungi wajahku, takut di gampar oleh dia. Tapi, dia cuma menghela nafas panjang lalu berdiri, terus tersenyum manis padaku. "Maaf, maaf." katanya. "Silahkan menikmati filmnya."
"Acaranya sudah habis." kataku. Jengkel? Ya iya lah, kan acara favoritku jadi terpotong karena ulah mereka. Mau marah tapi ga bisa, kan aku cuma numpang. Hehehe.
"Ahahaha. Maaf maaf. Sebagai permintaan maaf, sini, aku buatkan es serut. Ayok ikut ke warung." kata Mbak Mega. Kesannya berbeda sekali dengan yang tadi. Dia menjelma menjadi Mbak cantik bersifat kalem, yang awalnya mirip nona Kunti. Mbak Mega cukup tinggi, sekitar seratus tujuh puluh centimeter. Berambut panjang bergelombang, memiliki kulit sawo matang. Sangat berbeda dengan keluarganya Angga yang lain yang memiliki kulit putih bersih. Tapi wajahnya sangat cantik. Ga kalah cantik dengan adiknya yang bernama Ayu.
"Eh? Serius ni Mbak?" tanyaku.
"Dua rius!" jawabnya sambil menarik tanganku. "Ayo, dek."
"A.. Aku juga di kasih?" tanya Udin sambil menunjuk ke arah mukanya sendiri.
"Kamu enggak." jawab Mbak Mega dengan wajah jutek. "kemarin kamu sudah. Adek yang ini belum." dia menarik ku lagi. Ayu ngintilin kita.
"Ih, Mbak Mega pelit." jawab Udin.
"Bodo amat."
Nex
Walaupun rumah dan Warungnya berada satu bangunan. Tapi pintu masuk utama berada di sebelah Utara, sedangkan Warungnya berada barat bangunan, dan menghadap jalan raya Mulyorejo, tepat di depan seberang tokonya Efi yang sekarang di kelola oleh anaknya yang bernama Bu Devi. Buat pembaca setia ku. Pasti akan langsung ngeh dengan kisi-kisi yang aku ceritakan.
"Ayu!! Jangan ngintilin temennya Mas Angga." seru Mbak Mega yang sekarang menyuguhkan es serut ke arahku.
"Biarin, wee." Ayu masih nempel di lenganku. Dia menjulurkan lidah ke arah Mbak Mega.
"Kamu ini ya!!" Mbak Mega mulai akan menjewer telinga Ayu lagi, tapi aku larang.
"Ga papa kok Mbak. Ayu mengingatkan aku kepada adikku." kataku sambil melindungi Ayu yang ketakutan dengan kakak perempuannya itu.
"Lho. Kata Angga kamu sebatang kara." kata Mbak Mega sambil menatapku penuh perhatian. Sepertinya Angga menceritakan kalau aku ini tinggal sendirian deh.
"Dulu, aku punya adik perempuan juga Mbak." jawabku. "Kaka laki-laki juga punya. Tapi, mereka sudah tidak ada."
"Tidak ada?" tanya Ayu sambil menatap wajahku penuh dengan tanda tanya.
"Sudah meninggal." jawabku sambil mengelus rambutnya Ayu yang ikal itu. "Dia meninggal saat masih berusia sekitar empat tahun." kenangan tentang Erni kembali datang. Dia seolah olah muncul dan berdiri di mana Ayu saat ini berada. Jidadnya yang lebar, kembali terbayang, senyumnya. Dan tawanya seolah olah menari-nari di telingaku.
"Ayu adeknya Mas Riyono juga kok." kata Ayu sambil mempererat pelukannya di lenganku. "Aku. Aku... Aku adeknya Mas Riyono, jadi Mas Riyono jangan nangis ya."
Saat itulah aku menyadari kalau air mataku jatuh membasahi pipiku. Aku kembali mengelus rambutnya Ayu. Lalu berkata. "Terima kasih, Ayu. Terima kasih."
Setelah itu aku menceritakan kisah kematiannya Erni yang tidak masuk akal itu, dengan sedikit mengubah waktu kejadiannya. Yang aslinya di tahun enam puluhan. Aku ganti di tahun sembilan puluhan awal.
"Setan berkebaya merah?" kata Mbak Mega. Kini dia sudah duduk di sebelahku sambil menatap wajahku penuh perhatian lagi. "Aku, aku mau tidak percaya, tapi..."
"Ga papa kok Mbak. Lagi pula, itu juga cerita lama. Lagipula, setan demit dan sebangsanya, dulu sering menggangguku. Dan memang itu sangat sulit untuk di buktikan. Dan sangat tidak masuk akal, kalau kita tidak mengalaminya sendiri." kataku sambil menikmati es serut yang dia buatkan. "Es nya enak sekali Mbak. Ini baru pertama kalinya aku makan es."
"Benarkah?" tanya Ayu. "Belum pernah sekalipun?"
"Iya." jawabku. "Aku tinggal sendirian, punya saudara sih. Tapi mereka berada di negara antah berantah. Menjalankan tugas negara. setiap bulan mereka mengirim uang untuk aku bisa makan. Tidak banyak, jadi aku sebisanya menghemat uang. Maka dari itu, untuk beli es seperti ini aku harus pikir pikir dulu."
"Hidup kamu pasti berat ya dek. Oh ya, Adik, kalo kamu mau makan es tiap hari. Adik bisa ke sini." kata Mbak Mega.
"Maaf, itu hanya akan merepotkan Mbak Mega." jawabku.
"Uwehem!!" Udin berdeham dari arah ruang tengah rumahnya Angga, dimana kami tadi menonton film kartun. Saat berdeham itu, dia mulai melangkah menuju aku berada. "Katanya Elu ga percaya dengan yang begituan. Tapi..."
"Hehehe. Itu cerita lama Din. Aku cuma ingin melupakan kisah-kisah horor yang menyelimuti hidupku." jawabku sekenanya.
"Jadi, Elu percaya kan kalau di kali Gimun ada kuntilanak." tanya Udin. Dia sudah bergabung dengan meja kami.
"Disana ga ada kuntilanak." jawabku.
"Hah!" dia menggebrak meja, tapi langsung mengkeret karena Mbak Mega menjitak jidadnya.
"Bukan kuntilanak. Aku yakin kalau itu bukan kuntilanak. Karena aku kenal dekat dengan kuntilanak." tanpa sadar aku berkata demikian.
"Kepadamu kejedot apaan Yon?" tanya Udin. "Kenal kuntilanak? Kayaknya ada yang eror dengan otakmu."
"Mas Udin!!" bentak Ayu. "Ga boleh ngomong kasar ke Mas Riyono!!"
"Idih, biyarin.. Weekk." Udin menjulurkan lidahnya ke arah Ayu sambil mengolok-olok dia yang membela ku. Ayu semakin marah ke Udin.
Ayu, benar-benar telah mengingatkan aku kepada adikku. Adikku yang paling aku sayangi. Erni Harianti. Terima kasih Ayu, setidaknya kamu telah mengobati sara rinduku kepada Erni.
Kuntilanak? Benar, yang aku rasakan di kali Gimun itu bukan kuntilanak. Karena aku hafal betul dengan hawa kehadirannya.
Kalaupun ada setan di kali Gimun. Itu bukan dia. Pasti ada setan betina yang lain. Siapa dia? Mau apa dia? Apakah aku harus menyelidiki asal-usul nya?
Kalaupun dia benar-benar kuntilanak yang waktu itu. Saat aku bertemu dengannya lagi, aku akan melakukan apa? Apa yang harus aku lakukan selanjutnya?
Memintanya mengembalikan aku ke masa lalu? Dimana aku hidup seharusnya? Mustahil, itu sangat tidak masuk akal. Sangat tidak mungkin. Dan sangat sangat mustahil.