Siapkan kanebo kering untuk menyeka air mata!
Bermaksud menolong seorang pria dari sebuah penjebakan, Hanna justru menjadi korban pelampiasan hingga membuahkan benih kehidupan baru dalam rahimnya.
Fitnah dan ancaman dari ibu dan kakak tirinya membuat Hanna memutuskan untuk pergi tanpa mengungkap keadaan dirinya yang tengah berbadan dua dan menyembunyikan fakta tentang anak kembarnya.
"Kenapa kau sembunyikan mereka dariku selama ini?" ~ Evan
"Kau tidak akan menginginkan seorang anak dari wanita murahan sepertiku, karena itulah aku menyembunyikan mereka." ~ Hanna
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kolom langit, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5
Hanna menutup pintu rapat-rapat setelah berhasil membuat Nyonya Ursula murka. Dari dalam rumah, ia masih dapat mendengar makian demi makian walaupun samar. Pandangannya menyapu seisi rumah demi mencari keberadaan kedua anaknya. Tetapi baik Sky maupun Star tidak terlihat. Wanita itu meraih kayu rotan yang menggantung di dinding, kemudian duduk di sebuah kursi.
“Sky ... kemari!” panggilnya.
Senyap! Sepertinya Sky bersembunyi dan tak berani menghadap mommy-nya. Hanna melirik sebuah tirai dan mendapati empat kaki kecil bersembunyi di balik tirai itu. Tetapi Hanna masih duduk tenang di kursi.
“Aku akan menghitung lagi sampai tiga. Kalau kau masih bersembunyi, maka—” Belum sempat Hanna menyelesaikan kalimatnya, Sky sudah memunculkan diri.
Langkah kakinya terlihat meragu, tatapannya menyiratkan rasa takut. Terus menunduk hingga berdiri tepat di hadapan Hanna.
Melihat kayu rotan sebesar gagang sapu dengan panjang kurang lebih satu meter di tangan kanan sang mommy, Sky sudah mampu menebak apa yang akan dilakukan Hanna padanya. Ya, ia kerap mendapatkan hukuman yang sama setiap melakukan kesalahan.
“Ulurkan tanganmu!”
Jemari kecil Sky saling meremas di balik punggung. Ia memberanikan diri mendongak dan menatap Hanna. Melihat wajah yang tanpa ekspresi itu, Sky pun mengulurkan dua tangannya dengan terpaksa. Sementara Star mengintip dari balik tirai. Memperhatikan Mommy dan kakaknya dari sana.
Sky mendesis ketika kayu rotan menghantam telapak tangannya hingga meninggalkan tanda kemerahan. Tetapi meskipun merasakan sakit dan perih, ia sama sekali tak menangis. Hanya kening dan alis yang mengerut, juga kelopak mata yang menutup dan terbuka secara bergantian. Serta bibir saling mengatup demi menahan tangis. Lima kali Hanna menghantamkan cambuk di telapak tangan putranya.
“Ini ke lima kalinya kau melakukan ini! Kalau kau melakukannya lagi, maka aku akan menambah hukumanmu menjadi dua kali lipat! Kau mengerti?”
“Mengerti, Mommy,” lirih Sky.
“Sekarang kau tahu apa hukuman selanjutnya, kan?”
Sky mengangguk tanda mengerti, lalu tanpa sepatah kata pun masuk ke dalam sebuah ruangan kecil di sudut rumah itu. Sebuah kamar pengap yang berisi barang-barang bekas yang telah usang, gelap dan hanya ada cahaya dari sebuah jendela kecil. Sky menutup pintu dan duduk bersila di atas sebuah karpet tua.
Satu hal yang tidak diketahui oleh Hanna, bahwa putranya itu sangat takut dengan kegelapan.
“Aku tidak akan mengunci pintunya. Tapi kalau kau berani keluar sebelum hukumanmu selesai, maka kau akan tahu akibatnya,” ujar Hanna dari balik pintu.
“Baik, Mommy ...”
Hanna menggantung kembali kayu rotan miliknya di dinding, kemudian meraih sebuah paper bag di atas meja. Ia harus segera mengantarkan pakaian yang baru selesai dijahit.
Sehari-hari Hanna bekerja sebagai seorang penjahit pakaian demi menghidupi dua anaknya. Pekerjaannya pun tidak menuntut harus ke butik, karena Hanna diizinkan membawa pulang dan menyelesaikan di rumah. Sehingga dapat bekerja sambil mengawasi Sky dan Star.
“Star ... jangan ke mana-mana, ya. Mommy mau keluar sebentar.”
Star hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Setelah kepergian Hanna, ia melirik pintu gudang di mana kakak kembarnya sedang menjalani hukuman. Gadis kecil nan cantik itu lantas meraih tongkat kayu miliknya dan mengapit di ketiak, lalu berjalan dengan terseok-seok menuju gudang dengan membawa segelas air putih dan juga dua potong roti yang tadi diambil Sky dari toko Nyonya Ursula.
Dua tahun lalu, Star tertabrak sebuah sepeda motor saat bermain di luar rumah yang menyebabkannya patah tulang di kaki kiri. Sampai sekarang, ia masih berjalan dengan menggunakan tongkat. Hanna tidak dapat melanjutkan pengobatan untuk Star karena terkendala biaya.
“Kakak, ini minumnya,” ucap Star menyodorkan segelas air putih.
Sky meraih gelas dan meminum dengan tergesa. Ia cukup merasa haus setelah kejadian tadi.
“Kakak tangannya sakit dipukul mommy ya?” tanyanya seraya memeriksa telapak tangan sang kakak.
Walaupun dengan pencahayaan seadanya, Star dapat melihat bekas cambuk yang kemerahan di telapak tangan kakaknya.
“Tidak sakit. Mommy kan pukulnya pelan-pelan.”
“Terus kenapa kakak menangis?”
"Tidak apa-apa."
Star menyandarkan tongkat kayunya di dinding. Saat akan duduk, kakinya tak sengaja terpeleset sehingga tubuhnya jatuh menghantam lantai. Sontak gadis kecil itu meringis kesakitan dan menangis, seraya memegangi kaki kirinya yang terasa nyeri.
Sky pun berusaha menghilangkan sakit di kaki adiknya dengan meniupnya. Hingga rasa sakit itu mulai berkurang. Tangisan Star mulai berhenti menyisakan suara isakan di antara keduanya.
Mereka pun saling menghapus air mata dan saling memeluk satu sama lain.
.
.
.
Suasana mulai tenang. Sepasang anak kembar itu duduk di atas sebuah anak tangga sambil menatap keluar jendela.
“Kakak ... Di mana daddy kita? Kenapa nyonya penyihir itu bilang daddy kita tidak jelas?” tanya Star mengingat makian Nyonya Ursula tadi. Membayangkan anak-anak lain di sekitarnya memiliki seorang ayah membuatnya merasa iri.
“Tidak tahu. Nanti saja kalau sudah besar kita cari daddy sama-sama.”
“Iya. Kalau ketemu sama daddy nanti, aku mau minta dibelikan boneka seperti punya Efsun.”
“Aku juga mau minta dibelikan mainan mobil tank perang. Pasti sangat keren.”
"Tapi ... apa daddy punya uang untuk membelinya?"
"Tidak tahu. Tapi Daddy kan bisa bekerja untuk mendapatkan uang dan membelinya untuk kita."
Dari balik pintu, Hanna mematung mendengarkan percakapan itu. Ia mengusap air mata yang mengaliri wajahnya.
Tiba-tiba teringat masa lalu, ketika Evan kerap menuduh dirinya sebagai seorang wanita bayaran yang rela melakukan segalanya demi uang.
Daddy kalian adalah orang yang sangat kaya. Dia bahkan mampu memberikan apapun yang kalian minta. Tapi dia tidak akan menginginkan kita, karena dia sangat membenci mommy.
___
Sebuah pesawat mengudara di atas kota Istanbul. Evan baru kembali ke kota asalnya setelah sekian lama tak menginjakkan kaki di tempat yang penuh dengan kenangan itu. Ia melirik keluar jendela menatap pemandangan kota di bawah sana.
Tiba-tiba saja air mata jatuh dan membasahi pipinya. Entah untuk alasan apa, tapi Evan merasa sesak. Ada rasa sakit yang ia tak tahu apa sebabnya.
***