Alisa, harusnya kita tidak bertemu lagi. Sudah seharusnya kau senang dengan hidupmu sekarang. Sudah seharusnya pula aku menikmati apa saja yang telah kuperjuangkan sendiri. Namun, takdir berkata lain. Aku juga tidak mengerti apa mau Tuhan kembali mempertemukan aku denganmu. Tiba-tiba saja, seolah semua sudah menjadi jalan dari Tuhan. Kau datang ke kota tempat aku melarikan diri dua tahun lalu. Katamu,
ini hanya urusan pekerjaan. Setelah kau tamat, kau tidak betah bekerja di kotamu. Menurutmu, orang-orang di kotamu masih belum bisa terbuka dengan perubahan. Dan seperti dahulu, kau benci akan prinsip itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gregorius Tono Handoyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
laut dan hal-hal yang ku benci 2
Tidak lama kemudian. Dia seperti melambaikan tangan dari balik ombak. Aku hanya diam. Tidak menanggapi dengan apa pun, selain tersenyum. Sudah kubilang aku tidak suka berenang di laut. Lagi pula, apa menariknya berenang dengan lelaki?
Selain orang ciuman dan berpelukan, aku juga membenci orang-orang seperti mereka. Sepasang kekasih yang berada beberapa meter dari tempatku berdiri. Aku benci sepasang kekasih yang bertengkar di pinggir laut. Mereka terlihat menjijikkan bagiku.
"Kau pikir aku bahagia denganmu?"
"Itu bukan alasan kau bisa menduakan cintaku."
"Lalu apa yang harus menjadi alasanku menduakan cintamu? Hah?" Perempuan itu emosi.
"Kau pengangguran! Kau tidak mau bekerja, aku pikir dulu sewaktu kita masih kuliah, kau akan menjadi lelaki sukses. Ternyata aku salah, kau tidak lebih dari seorang lelaki pintar yang pemalas!" Perempuan itu lepas kendali.
Lelaki yang di hadapannya hanya diam. Mungkin mencari kalimat yang tepat untuk membalas ucapan si perempuan. Kulihat wajahnya kusut. Sangat kusut. Rambutnya gondrong tidak terurus.
"Kenapa kau diam?" tanya perempuan itu dengan suara meninggi.
Lelaki itu masih saja diam. Dia menatap wajah perempuan itu. Ada hal yang tidak pernah diketahui perempuan itu. Di mata lelaki itu aku melihat perasaan yang begitu dalam kepada si perempuan. Matanya sendu. Ada kesedihan yang mendalam. Namun, sepertinya perempuan itu sudah tidak peduli. Emosinya sudah terlanjur meluap.
Orang-orang yang tidak lagi bisa mengendalikan diri, tidak akan lagi bisa merasakan perasaan cinta.
"Aku pikir kau benar-benar mencintaiku. Ucap lelaki itu bergetar.
"Aku tidak pernah benar-benar mencintaimu. Aku hanya mencintai isi kepalamu. Dan, sayangnya itu tidak lagi kau gunakan. Perempuan itu terus saja menyudutkan si lelaki. Hingga akhirnya lelaki itu berlari meninggalkan si perempuan.
"Hei... mau ke mana kau?"
Lelaki itu tidak bisa dicegah. Dia terus menjauh meninggalkan perempuan yang menduakan hatinya.
Aku tidak tahu kenapa lelaki itu akhirnya memilih melarikan diri. Namun, aku menduga dia tidak lagi sanggup menenangkan diri. Dan, salah satu cara terburuk dalam menghadapi masalah adalah lari dari kenyataan.
Sebelum perempuan itu pergi, dia menatapku penuh kebencian. Itulah alasan lain, kenapa aku membenci orang-orang bertengkar di tepi laut. Orang-orang seperti ini penuh dengan kebencian, dan aku benci pada kebencian.
"Tolong! Tolong!" Suara lelaki yang berenang di laut tadi terdengar samar. Aku kira dia bercanda, meski terlihat bukan.
Ah, sial. Ternyata dia tenggelam. Aku ingin menolongnya, tetapi entah kenapa ada sesuatu yang menahan kakiku. Seolah kakiku sudah membeku di pasir yang aku tapaki. Aku berteriak ke beberapa orang yang masih berada di pantai. Tetapi mereka. tidak mendengar suaraku. Ah, sial! Dia bisa mati tenggelam.
Aku bersorak sekuat suaraku. Namun tetap saja. tidak ada satu orang pun yang menolongnya. Hingga dua puluh lima menit berlalu, tubuh lelaki itu sudah terdampar di pinggir laut. Aku mendekat, beberapa saat sebelum tubuh itu dicampakkan ombak ke tepi laut, kakiku tiba-tiba saja bisa digerakan. Aneh.
Aku menangis menatap tubuh lelaki itu. Tiba-tiba saja aku merasa sedih yang teramat sedih. Tubuh lelaki itu tidak lagi bergerak. Dia sudah mati. Aku melihat wajahnya dengan sangat dekat. Mencoba tidak percaya, tetapi tidak bisa kudustai. Wajah lelaki yang mati itu sama persis dengan wajahku. Sama persis dengan wajah lelaki yang bertengkar dengan kekasihnya tadi. Lelaki yang lari dari kenyataan. Lelaki yang dikhianati kekasihnya.
Lelaki yang memilih berenang di laut untuk mengobati patah hatinya. Karena meminum alkohol tidak mampu menenangkan kepalanya, ia melompat ke laut meski ia tidak pandai berenang.
Hingga sampai saat ini, aku masih berdiri di tepi laut. Menatap hal-hal yang aku benci. Sesekali aku melayang-layang tertiup angin. Membiarkan diriku. terbawa angin terbang. Kejadian itu sudah berlalu setahun lamanya. Namun, tiap kali aku berdiri di tepi laut ini selalu terulang adegan-adegan yang menyedihkan itu. Hal-hal yang menyebabkan aku menjadi hantu penghuni tepi laut ini.
Entah sampai kapan aku berada di sini. Sejujurnya aku benci kepada diriku sendiri. Yang setahun lalu membunuh dirinya di laut ini.