Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Telepon Dari Kamu
Dizza mengjatuhkan tubuhnya diatas tempat tidur yang tertutupi dengan seprai bermotif geometric perpaduan biru dan cream. Totebag yang beberapa saat lalu tersampir dibahu pun ikut terhempas jatuh ke atas tempat tidur bersama dirinya. Hari ini dia tidak langsung melakukan ritual biasa selepas pulang kampus, seperti mandi dan ganti baju lalu menyiapkan makanan. Pikirannya sudah kepalang kusut sehingga badannya jadi terasa jauh lebih lelah dibandingkan hari biasa dan saat ini satu hal yang paling gadis itu inginkan adalah tidur lalu masuk dan menghilang di alam mimpi.
Semua ini adalah dampak dari pada apa yang dia dengar di perpustakaan beberapa saat lalu. Juga dari Kesimpulan yang dia tarik dari kejadian yang pernah dia saksikan pula beberapa hari yang lalu. Jika sebelumnya Dizza masih berharap bahwa dia punya kesempatan untuk bisa bersama dengan Edzhar dalam sesuatu yang lebih. Sekarang harapan itu mesti pupus lantaran Dizza sudah mendengar sendiri dari mulut Edzhar bahwa pemuda itu sudah punya tambatan hati dan sialnya Dizza sendiri tidak pernah menyadari hal itu meski mereka pernah bersama di beberapa kesempatan.
Kapan, siapa, dimana, dan bagaimana bisa Edzhar menaruh hati pada perempuan lain adalah beberapa pertanyaan yang belum mendapati jawaban secara jelas dari ingatan Dizza. Hanya satu hal yang paling mendekati dan jawabannya adalah hal yang paling sangat Dizza ingin ingkari. Yakni kemungkinan sahabatnya yang dia sukai itu menjalin hubungan dengan dosen wanita di kampus mereka.
Dizza patah hati. Ya, itu adalah ungkapan yang paling tepat untuk mendeskripsikan perasaannya saat ini. Ternyata agak sakit memang, tetapi dia juga harus cukup tahu diri dan menerima karena soal rasa suka apalagi cinta adalah sesuatu yang tidak bisa dipkasakan. Kalau pun dia menyukai seseorang, Dizza harus siap dengan kemungkinan bahwa perasaannya tidak terbalas. Sama seperti yang pernah di alami oleh Levin padanya waktu itu. Karena hal-hal seperti itu memang sudah merupakan hal yang wajar. Karena belum tentu orang yang disukai memiliki perasaan yang sama dengan yang kita miliki.
Dizza menggapai bingkai foto di meja belajarnya. Di dalam bingkai tersebut terhadap fotonya bersama Edzhar, Levin dan juga Kimber. Foto yang diambil saat mereka melalui masa orientasi kampus dulu sekali. Menatap foto itu jadi sedikit mengingatkan Dizza kembali pada semua hal yang sudah dia alami dan lewati bersama semua sahabatnya terutama dengan kebaikan-kebaikan kecil yang pernah Edzhar berikan kepadanya. Mulai dari memberinya payung saat hujan, memberinya pengertian saat dia tidak mengerti soal pelajaran, dan dia orang yang lembut berbeda dengan cara Levin memperlakukannya walau tetap ada juga sih sisi dimana Edzhar juga tengil. Tetapi ada pula moment-moment tertentu yang membuat Dizza berpikir bahwa mereka berdua memiliki rasa yang sama. Sehingga dia berada pada titik dimana perasaannya mungkin berbalas saat pertama kali dia menyadari bahwa dia telah jatuh hati.
“Kalau saja aku menyatakan perasaanku lebih dulu, apa kau akan menerimaku?”
Dia bertanya sambil memendang foto Edzhar. Dan saat itulah bayangan sosok Bu Rowenna tiba-tiba muncul dibenak gadis itu. Mau tidak mau dia membandingkan dirinya sendiri dengan wanita dewasa yang berpengetahuan luas tersebut. Tubuh Bu Rowenna semampai dan dia juga berwajah cantik. Berbanding terbalik dengan dirinya dan dengan mudah jawaban dari pada pertanyaan yang sebelumnya dia utarakan langsung terjawab sudah. “Kurasa tidak,” jawabnya pula.
“Kau pasti akan memilih Bu Rowenna, dia jelas lebih memiliki banyak kelebihan dibandingkan aku. Kalian serasi, Bu Rowenna perempuan dewasa yang kharismatik, dan kau pemuda yang energik tetapi lembut. Pasangan yang ideal untuk satu sama lain,” tutur Dizza lagi. “Arrggghhhhhh!” Tiba-tiba gadis itu menutup wajahnya dengan bantal untuk meluapkan rasa frustasi yang memasuki alam bawah sadarnya dan membuat dirinya merasa jadi sangat terbebani.
Getaran dari ponsel pintarnya membuat Dizza melepaskan bantal yang dia peluk dan mencoba mencari-cari keberadaan benda elektronik tersebut. Dia membongkar tasnya dan menemukan ponsel berwarna violet miliknya. Di layar ponselnya tersebut menampilkan gambar malaikat kecil dengan gagang telepon menempel di telinga. Menandakan baru saja ada panggilan masuk.
Dizza tidak segera menjawab panggilan tersebut lantaran nomor yang masuk bukanlah nomor yang dia kenal. Dia membiarka panggilan masuk tersebut berhenti dengan sendirinya. Lalu selang beberapa detik kemudian ada sebuah pesan singkat yang dikirimkan dari nomor ponsel yang sama. Isi pesan tersebut hanya terdiri dari satu buah kata.
Hai.
Dizza mengernyit setelah membaca pesan yang masuk ke dalam ponselnya tersebut. “Dih, dasar orang iseng,” katanya. Jadi dibandingkan buang waktu untuk membalas pesan tersebut, Dizza lebih memilih untuk mengabaikannya saja. Tetapi anehnya si pengirim cukup gigih dan kembali mengirimkan sebuah pesan tambahan kepada Dizza selang lima menit kemudian.
Ini nomor nya Dizza, kan?
“Iya, ini nomorku memangnya kenapa? Mau apa kau? Iseng? Sorry ya, aku tidak punya waktu meladeni orang iseng sepertimu!” jawab Dizza secara langsung tanpa mengetikan apa yang dia katakan. Sehingga dia jadi terlihat seperti orang yang bicara sendiri. Tapi bodo amat, soalnya tidak ada yang melihatnya juga.
Setelah itu tak lama kemudian lagi-lagi ada notifikasi masuk dan pesan dari nomor yang sama lagi. Benar-benar orang yang super gigih.
Kenapa tidak dibalas?
“Memangnya harus ya? sudah tidak punya sopan santun masih pula berharap dapat balasan, cih!” kata Dizza yang makin tambah sebal pada si pengirim pesan. Suasana hatinya sedang tidak mendukung untuk bermain tebak-tebakan.
Maaf jika aku mengganggu, aku hanya ingin memastikan bahwa aku tidak menghubungi nomor yang salah.
Itu adalah pesan yang Dizza terima, dan dititik itu Dizza agak merasa bersalah juga lantaran membiarkan orang tersebut tanpa jawaban. Dia merasa sangat tidak sopan dan rasanya tidak adil juga memperlakukan orang lain dengan buruk hanya karena suasana hatinya sekarang. Karena itulah dia pun akhirnya memutuskan untuk mengetikan balasan pada layar ponselnya. Tetapi belum sempat dia mengirimkan pesan tersebut, layar ponselnya tiba-tiba saja menunjukan ada panggilan masuk. Panggilan yang berasal dari si pengirim pesan yang beberapa saat lalu Dizza panggil sebagai orang iseng.
“Halo?” Dizza menjawab panggilan tersebut.
“Dizza?”
Jantung Dizza melewatkan satu degupan saat mendengar suara lawan bicaranya. “E—Edzhar?”
“Syukurlah aku tidak salah nomor. Tadi aku minta ulang nomormu pada Levin, aku takut kalau dia iseng padaku jadi aku ingin memastikan dulu. Kau tahu sendiri kalau dia kadang suka seperti itu kepadaku,” jelas Edzhar.
Perasaan Dizza langsung melambung tinggi karena Edzhar menghubunginya sekarang. Tetapi perasaan tersebut tidak bertahan lama saat dia mulai tersadarkan beberapa hal janggal. Dia juga jadi teringat dengan apa yang dia dengar di perpustakaan tentang Edzhar yang sudah punya tambatan hati. “Ada perlu apa denganku? Dan kenapa tiba-tiba saja kau mengganti nomor ponselmu?” Dizza benar-benar sudah tidak bisa menahan lidahnya untuk mengeluarkan kalimat bernada sinis kepada pemuda itu.
Selang beberapa detik tidak ada jawaban dari Edzhar. “Aku mengganggumu ya?” suara Edzhar akhirnya terdengar lagi.
Dizza menggigit bibir. Oh, dia memang selalu mudah luluh kalau berhadapan dengan Edzhar. Tidak seharusnya dia bersikap buruk. Bukan salah Edzhar jika pemuda itu tidak punya rasa kepadanya. Toh, Dizza saja tidak pernah mengakui perasaan yang dia punya wajar saja dia tidak tahu.
“Dizza?”
“Maaf ya,” sahut Dizza lirih. “Suasana hatiku sedang buruk hari ini.”
“Ada masalah apa?”
Kau. Itulah yang sangat ingin Dizza katakan, tetapi mana berani dia bicara seterus terang itu kan?
“Sudahlah, tidak perlu dibahas. Jadi ada apa?”
“Apanya?”
“Kenapa kau menelepon aku?”
“Oh … itu … anu, tidak apa-apa kok. Aku cuma ingin mendengar suaramu. Kita jarang bersama akhir-akhir ini jadi aku merasa paling tidak aku harus meneleponmu. Singkatnya aku jadi kangen padamu.”
“Kau seharusnya tidak mengatakan hal seperti itu padaku, Edzhar!” Dizza tiba-tiba saja naik pitam.
“Kenapa? Aku kan memang ingin mendengar suaramu dan aku memang kangen padamu.”
“Justru itu, kalau kau sudah punya pacar harusnya kau bisa jaga hati pacarmu!”
“Hah?”
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱