#mafia + komedi
Rachel adalah seorang perempuan berusia 21 tahun yang merupakan anak satu-satunya dari gangster penguasa jakarta yang bernama serigala hitam.
Gangster serigala hitam telah menguasai jakarta dan sekitarnya semenjak ayahnya rachel yang bernama Rehan bersama teman setianya bernama Budi merantau kejakarta pada tahun 1980.
Rehan menikah dengan Kurenai yang merupakan warga negara jepang, akan tetapi Kurenai yang merupakan seorang putri yakuza yang mencoba menghindari kekerasan dan lari ke indonesia merasa kecewa dengan pilihan Rehan untuk menjadi mafia.
Akhirnya Kurenai meninggalkan Rehan dan Rachel yang baru berumur 5 tahun, Kurenai kembali ke jepang tanpa mengucapkan salam perpisahan untuk Rachel dan Rehan.
Rehan muda berhasil membangun dan mendirikan kerajaannya dari darah dan mayat lawan-lawannya.
sampai pada suatu hari rehan dibunuh oleh saingannya.
sanggupkah Rachel membalas dendam atas kematian ayahnya?
akankah Kurenai mengakuinya?
selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indra gunawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Godfather
Malam yang dingin menyelimuti sebuah Apartemen di wilayah Jakarta Pusat. Asap rokok mengepul di udara, bercampur dengan aroma pengharum ruangan. Di tengah ruangan, Budi Budiman berdiri di depan meja besar dengan peta wilayah The Beast yang terbentang di atasnya. Sorot matanya tajam, wajahnya dingin, memancarkan ketegasan tanpa kompromi. Di sekelilingnya, 3 anak buahnya yang paling loyal mendengarkan dengan seksama.
“Sony....” Budi membuka pertemuan ini, suaranya rendah namun menggema. “Dia menguasai salah satu klub malam yang di Bekasi yang diberikan oleh Rehan atas dasar kemurahan hati Rehan. Sony adalah tangan kanan Rudi. Orang ini licik dan kejam, tapi kelemahannya terlalu sombong. Kita akan manfaatkan itu.” Budi Berkata sambil menatap ke tiga orang kepercayaannya.
Sugeng, lelaki bertubuh besar dengan bekas luka di dagunya, mengusap dagu sambil menyeringai.
“Bos, gimana kalau kita serang langsung? Markas mereka itu sebuah klub malam yang dulunya milik Seriga Hitam dan aku cukup familiar. Aku bisa masuk dari pintu belakang seperti biasanya dan membunuh Sony.” Sugeng memberikan ide kepada Budi Budiman.
Budi menatap Sugeng, menggeleng perlahan. “Sony mungkin ceroboh, tapi dia bukan idiot. Dia pasti sudah mempersiapkan jebakan. Kita tidak bisa sembarangan. Satu langkah salah, semua rencana hancur.” Budi mengingatkan para pengikut setianya.
“Jadi apa rencananya, Bos?” tanya Giman, pria kurus dengan suara serak yang duduk di ujung meja. Dia memutar-mutar pisau kecil di tangannya, matanya menyiratkan hasrat untuk bertarung. “Sony punya anak buah lebih dari tiga puluh orang di sana. Kalau kita maju tanpa taktik, kita cuma jadi daging empuk.” Ucap Giman dengan nada santai tanpa rasa takut walaupun dia tau ini adalah misi bunuh diri.
Budi mengambil rokok dari sakunya, menyalakannya dengan gerakan santai. Setelah menghembuskan asapnya, ia menunjuk ke peta.
“Kita buat dua tim. Sugeng dan Giman, kalian akan masuk dari sisi timur. Buat ledakan kecil, cukup untuk menarik perhatian mereka. Biarkan mereka berpikir serangan utama datang dari sana.” Budi Budiman berkata sambil menunjuk suatu area di peta.
Sugeng menyeringai. “Bom molotov sudah siap, Bos. Tinggal dilempar.”
“Jangan berlebihan,” kata Budi tajam. “Kita tidak ingin menghancurkan tempat itu! tujuan kita memberikan pesan lewat penyerangan di klub itu dan membunuh Sony serta antek-anteknya. Fokus kalian adalah membuat kekacauan. Sementara itu, aku, Yanto, dan tiga lainnya akan masuk lewat pintu belakang ketika semuanya teralihkan oleh ledakan bom molotov. Sugeng kau akan memimpin saudara kita sebanyak 20 orang.”
“Pintu belakang? Bos, kenapa kita bergerak seperti seorang pencuri dimalam hari?” Giman mengangkat alis dari ekspresinya dia keberatan dengan ide Budi Budiman.
Budi tersenyum samar. “tujuan kita menyampaikan pesan kepada The Beast, bahwa Serigala Hitam masih yang terkuat di jakarta dan sekitarnya. Kita harus menunjukan taring dan cakar kita dengan cara membunuh anggota The Beast sebanyak-banyaknya dan target utama kita adalah Sony.” Budi Budiman menatap ke tiga anak buahnya yang ada di ruang apartemen miliknya satu persatu.
Sugeng tertawa kecil. “Berarti kita seperti ular yang masuk ke sarang ayam. Begitu mereka sadar, semuanya sudah terlambat.”
“Tepat,” jawab Budi. “Begitu mereka terpancing ke sisi timur, timku akan langsung ke ruang kontrol. Sony pasti ada di sana bersama pengawal elitnya. Kita hancurkan mereka dengan cepat dan bersih. Setelah itu, kita kirim pesan ke Rudi bahwa Serigala Hitam bukan untuk dipermainkan.” Budi berkata sambil mengepalkan tangan kirinya, terlihat jelas kekesalan yang selama ini dia pendam terhadap The Beast.
Yanto, yang biasanya diam tapi terkenal karena ketangkasannya, akhirnya angkat bicara. “Dan kalau mereka sudah mempersiapkan jebakan di ruang kontrol?”
Budi menatap Yanto tajam, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kalau itu terjadi, aku percaya kau tahu apa yang harus kau lakukan.” Budi tersenyum penuh arti ke arah Yanto
Yanto hanya mengangguk singkat. “Tentu saja, Bos.”
Suasana menjadi sunyi. Ketegangan menyelimuti ruangan. Budi mematikan rokoknya di asbak besi lalu menatap anak buahnya satu per satu. “Malam ini kita tidak hanya menyerang untuk menunjukkan kekuatan. Kita menyerang untuk melindungi kehormatan Serigala Hitam, untuk melindungi keluarga kita. Jika ada yang ragu, ini saatnya bicara.” Budi berkata dengan sorot mata yang fokus dan dengan nada biacara yang berapi-api..
Setelah budi berkata terjadi keheningan yang cukup lama, tidak ada satupun yang bersuara, semua tatapan penuh keyakinan.
“Bagus,” kata Budi akhirnya. “Kita bergerak dua jam lagi. Siapkan diri kalian. Malam ini, taring kita akan merobek daging The Beast.” Budi Budiman berkata sambil tersenyum dingin menatap orang-orang kepercayaannya.
Semua orang berdiri dari kursi mereka. Sugeng tersenyum kepada Budi dengan penuh arti. “Seperti biasa, Bos. Mereka tidak akan tahu apa yang menyerang mereka.”
Budi hanya tersenyum kecil. Dalam hatinya, dia tahu malam ini adalah pertaruhan besar. Bukan sekadar soal wilayah, tapi tentang melindungi harga diri dan nama besar Serigala Hitam serta memastikan Rehan tetap ditakuti dan dihormati sebagai seorang Godfather pemimpin Serigala Hitam.
Malam itu, di bawah langit yang mendung, Budi Budiman orang berpengaruh nomor dua di Serigala Hitam mengerahkan taring para Serigala untuk mencabik-cabik musuh yang berani mengusik dan menyinggung harga diri Rehan.
*
*
Langit malam di Bekasi dipenuhi awan gelap, menambah suasana mencekam di sekitar klub malam megah yang menjadi markas Sony. Lampu neon berkedip-kedip, sementara dentuman musik dari dalam klub merobek keheningan malam. Para penjaga berdiri di depan pintu, menggenggam golok dan parang, percaya bahwa malam ini akan berjalan seperti biasa.
Di seberang jalan, Budi Budiman berdiri bersama Sugeng, Giman, Yanto, dan dua puluh anggota Serigala Hitam. Mereka mengenakan pakaian hitam pekat, wajah mereka menunjukkan tekad.
“Ini bukan sekadar pertarungan, ini pesan,” ujar Budi dengan nada dingin. “Sugeng, Giman, buat keributan di depan. Yanto, kau ikut aku ke belakang. Kita masuk tanpa mereka sadari. Ingat, malam ini tidak ada ampun.”
Sugeng mencabut klewang panjang dari sarungnya dan menyeringai. “Siap, Bos. Aku sudah rindu mencicipi darah musuh.”
Giman menepuk bahu Sugeng. “Jangan terlalu menikmatinya, kawan. Kita punya tugas berat.” Giman mengingatkan sambil tersenyum kepada sugeng
Budi memandang mereka. “Jangan mati sia-sia. Kita datang sebagai serigala, dan kita akan kembali sebagai pemenang.” Budi berkata sambil menjabat tangan Sugeng dan Giman.
Setelah itu Budi pergi meninggalkan mereka berdua untuk melakukan tugasnya.
Sugeng melangkah maju dengan santai, membawa molotov yang disiapkan sebelumnya. Ia menyalakan sumbu dengan tenang, lalu melemparkan botol itu ke salah satu kendaraan di depan klub. Ledakan kecil mengguncang malam, api menjilat udara dan menarik perhatian para penjaga.
“Siapa di sana?!” teriak salah satu penjaga sambil mencabut goloknya.
Sugeng tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia berlari ke arah penjaga itu dengan klewang terangkat tinggi. Dengan satu tebasan cepat, leher penjaga itu terluka parah, membuatnya terjatuh sambil memegangi lukanya.
“Serigala Hitam! Hajar mereka!” teriak Sugeng dengan suara lantang.
Penjaga lainnya langsung mengayunkan senjata mereka, tetapi Giman sudah berada di belakang mereka. Dengan celurit berkilauan, ia melompat ke arah dua penjaga sekaligus, menghantam mereka dengan kekuatan brutal.
Pertempuran di depan klub berubah menjadi kekacauan berdarah. Sugeng dan Giman, bersama dua puluh anggota Serigala Hitam, bertarung dengan ganas, menarik perhatian sebagian besar musuh dari pihak The Beast.
“Datang lagi kalau berani! Aku belum selesai!” teriak Sugeng yang mengamuk seperti orang kesurupan dengan darah menetes dari klewang yang dipegangnya.