Pengawal Kampung Duren

Pengawal Kampung Duren

Pulang ke Kampung Durian

Aku menghela napas dalam-dalam, memejamkan mata saat angin sore hari berhembus lembut di wajahku. Lima tahun sudah aku merantau, meninggalkan Desa Duren dengan setumpuk harapan dan janji–janji pada diriku sendiri. Sekarang, di atas bak truk tua yang berguncang pelan, aku kembali. Aroma tanah basah dan dedaunan durian menguar memenuhi rongga hidung, membangkitkan kenangan manis yang lama terpendam.

“Boni!” Suara riang memecah lamunanku. Kusibakkan kelopak mata, dan di bawah pohon rambutan yang rindang, kulihat sosok kecil yang kukenal betul. Yuni dengan senyumnya yang selalu mampu meruntuhkan dinding beku dalam hatiku. Wajahnya berseri, baju pink muda yang dikenakannya menambah kilau pipinya yang merekah.

Perlahan melangkah turun dari truk dan Yuni segera merentangkan tangannya.

“Selamat datang, pulang kampung!” serunya riang, seolah tak mengenal lelah.

Aku menahan senyum. “Terima kasih, Yuni. Lama menunggu ya?”

Ia mengepakkan tangan di depan pipinya, seakan meredam gelombang kebahagiaan yang meluap. “Sejak pagi, Boni! Kami semua sudah siap menyambutmu.”

Langkahku terhenti sebentar. Di kejauhan, barisan rumah panggung berjejer rapi di samping kebun durian warisan kakek. Atap genting merah berkilauan, dinding kayu bersih dan di depan terdapat balai desa berdiri sederhana tetapi tegar. Hampir tak ada perubahan selain papan baru bertuliskan “Selamat Datang Kembali, Putra Desa”. Hatiku tersentuh. Rindu yang kubendung selama ini pun mencuat.

Aku meraih tas ransel lusuh yang tergeletak di pangkuanku. “Terima kasih semua,” ucapku, suaraku serak oleh haru. Di antara kerumunan, kuperhatikan kakek menegakkan tubuh ringkihnya. Matanya berkaca-kaca, tangan yang dulu kuat mencabut durian kini gemetar sedikit saat melambaikan sapaan.

Kakek melangkah menghampiriku. “Boni…” suaranya parau. Kulangkah cepat dan memeluknya erat. Tubuhnya kecil, namun hangatnya bagai matahari sore menembus dingin.

“Ah, kakek!” Ratapku teredam. “Aku… aku pulang.”

Ia mengelus rambutku, matanya memerah. “Selamat pulang, cucuku. Desa Duren merindukanmu.”

Dari belakang, sorak tawa keluarga dan tetangga menyusul. Aku tersipu, merasakan kehangatan yang tak pernah kurasakan di kota besar. Lima tahun mengejar mimpi dan bekerja keras, kini semua berpijar dalam satu kata yaitu pulang.

Saat kerumunan mereda, aku berjalan ke kebun durian. Di bawah pohon yang rindang, daun-daun basah meneteskan embun. “Durian duluan, Boni?” tawar Yuni sambil mengulurkan keranjang anyaman.

Aku mengangguk, menarik parang kecil yang terikat di pinggang ransel. Gerakanku luwes, mengiris tali pengikat buah matang. Sekilas, aku teringat masa kecil saat kakek melatihku memanen durian, ajakan pertama untuk mencintai desa ini. Kulakukan dengan hati-hati, sepenggal kulit berduri terbuka seketika aroma manis dan pahit menyeruak.

Yuni menahan napas segar. “Aromanya… seperti rumah.”

Aku mengangguk pelan. “Seperti rumah.”

Kami memetik beberapa buah dan duduk di tikar bambu, memakan durian sambil tertawa. Setiap suapan bagai musik gemulai, mengenyangkan dan meleburkan penat. Yuni menatapku dengan lekat. “Jadi, apa kabar di kota, Boni?” katanya, suaranya lembut tapi tegas.

Aku menarik nafas panjang. “Aku… belajar banyak. Bekerja di percetakan. Hari-hariku sibuk, tapi selalu ada rindu.”

Ia menunduk, menunggu kelanjutan. Aku menatap pandangan beningnya, merasakan keberanian merangkak naik. “Rindu Desa Duren.” kataku pelan, “dan kehilangan… kehilangan banyak momen di sini.”

Yuni mengangguk, lalu tersenyum lembut. “Tapi sekarang kau di sini.”

Hatiku bergetar. Ada kelu dan bahagia yang bersarang. Kupandangi langit jingga yang mulai memerah, merasakan janji baru tumbuh. Namun tiba-tiba, gemuruh kendaraan menggema dari arah balai desa. Suara mesin truk dan cekikikan orang asing memecah suasana.

Aku dan Yuni saling berpandangan, kegelisahan mengintip di mataku. Bersama beberapa tetua, seorang pria berpakaian resmi turun dari mobil patrol dengan jas rapi, wajah sangar, serta tas kulit di tangan kanan. Ia berjalan tegap menuju balai desa, diiringi dua ajudan berseragam maskulin.

“Kepala Desa baru.” desis seseorang di sampingku.

Kepala Desa kami yang dulu sudah menjabat puluhan tahun meninggal dan kini pejabat baru ditugaskan oleh pemerintah kabupaten. Aku menelan ludah dan naluriku bergidik. Selama lima tahun merantau, aku mendengar banyak kisah soal pejabat baru yang suka memaksakan kehendaknya sendiri.

Pria itu berdiri di panggung balai desa, membuka kotak suaranya. Suaranya keras, penuh percaya diri.

“Selamat sore, Warga Desa Duren. Saya Arman Satria, Kepala Desa yang baru. Saya diutus untuk membangun kemajuan desa, termasuk konversi kebun durian menjadi kebun kelapa sawit yang lebih produktif. Kita butuh kemajuan ekonomi!” katanya, menatap warga dengan tatapan dingin.

Seketika, suara bisik cemas menyebar. Kelapa sawit? Di kebun durian kami? Aku merasakan adrenalin melonjak. Kupandangi Yuni, ia meneguk ludah, alisnya berkerut.

Seorang tetua maju, menegur dengan nada tegas. “Pak, petani durian sudah menghidupi kami puluhan tahun. Sawit bukan tradisi kami.”

Arman tersenyum sinis. “Itu pemikiran lama. Saya dibayar perusahaan besar. Mereka ingin sawit dan saya akan penuhi.”

Aku merasakan darah memuncak. Lima tahun aku bercerita tentang kebun ini, tentang cita rasa durian desa Duren yang melangit. Sekarang, semua terancam.

Hatiku tersentak, tetapi ada bara semangat yang menyala. Yuni menatapku dengan mata kami bertemu dan seketika kami tahu apa yang harus dilakukan.

Ketika Arman menutup pidatonya dan turun panggung, aku melangkah maju bersama Yuni. Detak jantungku selaras dengan langkah kakiku.

“Pak Arman.” panggilku dengan lantang. Ia berhenti, menoleh dengan angkuh. Warga menahan napas, menanti apa yang terjadi.

Aku menarik napas, berusaha setenang mungkin. “Saya Boni, putra Desa Duren. Saya pulang setelah lima tahun merantau. Jika sawit menggantikan durian, apa yang akan kami wariskan pada anak cucu kami?”

Arman menatapku sambil terbahak-bahak pelan. “Idealisme anak kampung. Saya harus mengisi dana desa dan menunjukkan hasilnya.”

Sebelum ia mematikan pembicaraan, Yuni menyela dengan suara gemetar namun tegas. “Kami bersedia bekerja sama, Pak. Tapi tolong pertimbangkan tradisi dan kenangan nenek moyang kami.”

Suasana seketika menjadi hening. Aku merasakan detak jantung Arman perlahan melunak. Namun, angin desa seakan bersuara, menggenggam tanganku dan tangan Yuni. Bara keberanian menautkan langkah kami.

Arman melirik sejenak pada warga yang mulai bersorak mendukung kami. Beberapa anak muda mengangkat poster “Pertahankan Durian desa Duren”. Gelombang dukungan mulai menggema.

Akhirnya, dengan nada kompromi yang samar-samar, Arman mengangguk: “Baiklah! Kita bicarakan lebih lanjut di rapat desa besok. Tapi ingat, saya tetap punya keputusan akhir sendiri.”

Aku menahan napas. “Terima kasih, Pak! Kami akan hadir dan menyampaikan aspirasi warga.”

Saat Arman berlalu, aku menoleh ke Yuni. “Kita baru memulai.” bisikku. Ia mengangguk mantap, lalu menyentuh pundakku.

Terpopuler

Comments

Kardi Kardi

Kardi Kardi

always spiritsss TEAMMM/Casual/

2025-02-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!