Pengawal Kampung Duren
Boni duduk di bangku bus sambil memandang ke luar jendela dengan perasaan campur aduk. Lima tahun di luar negeri telah mengubahnya; Ia tumbuh menjadi pemuda yang lebih percaya diri, namun juga kerap merasa rindu dengan desa tempat ia dibesarkan, Kampung Duren. Kini, seiring jarak yang semakin dekat dengan rumah, perasaan nostalgia dan kegelisahan bercampur menjadi satu. Ia bertanya-tanya, apakah semuanya masih sama seperti dulu?
Di dalam bus yang sempit itu, Boni mencoba mengingat kenangan masa kecilnya—berlari di antara pohon durian, mendaki bukit di sore hari, bermain layang-layang di sawah bersama teman-temannya. Namun, yang paling jelas dalam ingatannya adalah wajah gadis yang biasa menemaninya bermain—Yuni. Sudah lama sekali ia tidak bertemu dengan Yuni, gadis yang selalu membuatnya merasa nyaman, meski tak pernah ia ungkapkan perasaannya lebih dari sekedar sahabat.
Begitu bus berhenti di terminal desa kecil, Boni merasa waktu berputar kembali. Terminalnya masih sama, ramai dengan pedagang yang menjual kue tradisional, petani yang baru pulang dari sawah, dan anak-anak kecil berlarian kesana kemari. Segarnya udara desa menyegarkan pikiran Boni. Dia tersenyum, merasa damai.
Saat dia menurunkan barang-barangnya dari bus, sebuah suara yang familiar menyambutnya.
“Boni! Boni, akhirnya kamu pulang!” teriak Bu Sari, tetangganya yang dulu sering mengiriminya makanan semasa kecil.
“Iya, Bu! Akhirnya pulang juga, rindu desa,” Boni menjawab sambil tersenyum lebar, lalu menyalami tangan Bu Sari yang sudah keriput tapi masih hangat.
Obrolan ringan pun mengalir di antara mereka, membuat Boni merasa seolah-olah ia tidak pernah benar-benar pergi dari desa ini. Penduduk desa yang lain mulai menghampiri, menyambut Boni dengan antusias. Banyak yang mengira ia tidak akan kembali karena sudah bertahun-tahun tak ada kabar. Beberapa teman masa kecilnya bahkan memeluknya, menepuk-nepuk punggungnya sambil tertawa.
“Anak kota sekarang, nih!” seru salah satu temannya.
“Eh, enggak lah! Aku masih anak kampung!” Boni tertawa, mencoba merendah.
Di tengah-tengah keramaian itu, tiba-tiba pandangan Boni tertuju pada seseorang yang berdiri di kejauhan. Seorang gadis dengan rambut panjang tergerai, mengenakan baju sederhana berwarna biru, tapi tampak begitu menawan. Itu Yuni, gadis yang dulu selalu menjadi teman setianya. Boni seolah terdiam melihatnya, wajah Yuni yang kini dewasa tampak begitu cantik, namun tetap memiliki senyum hangat yang sama.
Seolah merasakan tatapan Boni, Yuni akhirnya melihat ke arahnya. Seketika senyum mengembang di bibirnya, dan ia melambaikan tangan, berjalan mendekat.
“Boni! Wah, kamu benar-benar balik! Kupikir kamu sudah lupa dengan desa ini,” Yuni menyapa dengan nada penuh kegembiraan.
Boni tersenyum kikuk, merasa sedikit canggung. “Enggak mungkin lah, Yun. Aku selalu ingat kamu... eh maksudku, ingat desa ini.”
Yuni tertawa kecil, suara tawanya masih sama, renyah dan ceria. Mereka berbicara sejenak, mengobrol tentang hal-hal sederhana—perjalanannya di kota, kabar keluarga, dan kehidupan di desa. Dalam hati, Boni tak bisa menyembunyikan rasa kagum melihat betapa dewasa dan anggun Yuni sekarang. Tapi di balik semua itu, Yuni tetaplah Yuni, gadis yang dulu selalu menjadi teman dekatnya.
Yuni akhirnya mengajak Boni berjalan bersama menuju rumahnya, menawarkan untuk membawakan tas besar yang dibawanya. Sepanjang jalan, mereka terus berbicara, mengenang kenangan masa lalu sambil tertawa. Boni merasa seolah-olah mereka masih anak-anak, meski semuanya telah berubah.
Ketika mereka tiba di depan rumah Boni, keluarganya sudah menunggu di depan pintu. Ibu dan Ayahnya segera menyambutnya dengan pelukan hangat, mata mereka berbinar melihat anak lelaki mereka pulang dengan selamat. Ayahnya, Pak Hardi, menepuk punggungnya bangga, dan Ibu tak bisa berhenti mengusap wajah Boni yang terasa asing karena kini berjanggut.
“Boni, nak, akhirnya kamu pulang juga. Ibu kangen sekali!” suara Ibu terdengar bergetar penuh haru.
“Aku juga kangen, Bu, Pak,” Boni menjawab, suaranya serak menahan emosi.
Yuni yang masih berdiri di dekat mereka pun ikut tersenyum, senang melihat reuni keluarga yang begitu hangat. Setelah beberapa saat, Boni pun mengajak Yuni duduk di teras rumah, dan mereka melanjutkan obrolan. Saat itu, Yuni mulai bercerita tentang perubahan yang terjadi di desa sejak ia pergi.
“Boni, kamu tahu nggak? Kepala desa kita sekarang sudah ganti,” Yuni berkata, nada suaranya sedikit berubah serius.
Boni mengangguk, “Iya, aku dengar. Terus bagaimana Kepala Desa yang baru itu?”
Yuni menghela napas panjang. “Dia... berbeda. Sombong, dan sepertinya punya rencana besar yang nggak baik buat desa kita. Dia ingin mengubah semua perkebunan durian di sini jadi perkebunan kelapa sawit.”
Boni terkejut mendengar hal itu. “Kelapa sawit? Tapi... banyak warga yang hidupnya bergantung pada durian. Desa ini kan memang dikenal sebagai Kampung Duren!”
Yuni mengangguk, raut wajahnya cemas. “Betul. Banyak warga yang nggak setuju, tapi Kepala Desa punya pengaruh besar. Banyak orang yang takut untuk melawan.”
Boni terdiam sejenak, merenung. Ia baru saja pulang, tapi sudah dihadapkan dengan masalah besar yang bisa mengubah kehidupan di desa ini selamanya. Apalagi, ia tahu bahwa perkebunan durian adalah identitas desa mereka. Tanpa durian, desa ini tidak akan sama lagi.
Malam itu, setelah makan malam bersama keluarganya, Boni duduk sendiri di beranda, memikirkan kata-kata Yuni. Dalam hati, ia merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu. Meski ia baru saja kembali, ia tidak bisa membiarkan desa yang dicintainya berubah menjadi ladang keuntungan bagi Kepala Desa yang tamak.
Di pagi hari, ia kembali bertemu dengan Yuni. Mereka memutuskan untuk mengunjungi beberapa warga desa, mendengar pendapat mereka tentang rencana Kepala Desa. Di setiap rumah yang mereka kunjungi, banyak warga mengeluh dan merasa cemas, tapi juga merasa tidak berdaya. Beberapa bahkan merasa putus asa karena takut kehilangan lahan yang sudah mereka tanam bertahun-tahun.
“Boni, mungkin kita bisa melakukan sesuatu. Kalau kita diam saja, desa ini bisa hilang identitasnya,” Yuni berkata dengan tatapan penuh harap.
Boni mengangguk mantap. “Kamu benar, Yun. Aku nggak bisa diam saja. Kita harus menjaga desa ini.”
Setelah berbicara dengan beberapa warga lagi, mereka sepakat untuk membentuk tim kecil yang akan berusaha melindungi perkebunan durian dan mencegah rencana Kepala Desa. Mereka memberi nama tim ini “Pengawal Duren.” Meski hanya beranggotakan beberapa orang, mereka memiliki semangat yang kuat.
Di akhir hari, Boni dan Yuni duduk di puncak bukit, menikmati pemandangan matahari terbenam yang indah. Hembusan angin sore membuat dedaunan durian bergoyang pelan, seolah memberi dukungan pada tekad mereka.
“Terima kasih ya, Bon, sudah mau membantu,” Yuni berkata pelan, matanya menatap lembut ke arah Boni.
Boni tersenyum, menatap Yuni dengan perasaan yang sulit diungkapkan. “Aku lakukan ini untuk desa kita... dan juga untuk kamu, Yun.”
Mereka saling tersenyum, tanpa kata-kata, tapi dengan pemahaman bahwa perjuangan mereka baru saja dimulai. Meski tantangan besar menanti, Boni dan Yuni merasa yakin bahwa bersama-sama, mereka bisa melindungi desa mereka. Di balik segala kekhawatiran, malam itu berakhir dengan perasaan harapan yang baru, menanti hari esok dengan penuh tekad.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments