Pengawal Kampung Duren
Bagi Boni, pagi itu adalah momen yang telah ia nanti-nantikan selama bertahun-tahun. Setelah lima tahun merantau di kota besar yang penuh gedung pencakar langit, lampu lalu lintas dan hiruk-pikuk tak pernah usai, ia akhirnya kembali ke pelukan kampung halamannya, Desa Duren. Hatinya dipenuhi rasa haru, bercampur getir dan optimisme yang tak terlukiskan.
Lima tahun silam, ketika ia menaiki bus tujuan kota, pikirannya dilempar antara dua kutub: impian tentang masa depan yang lebih baik dan kerinduan tak tertahankan pada kebun durian milik keluarganya. Ia masih ingat tatapan ibunya yaitu ibu Retno yang berkaca-kaca, menahan tangis saat mengantarnya ke terminal. Saat pintu bus tertutup, hawa panas kota menyambutnya, namun bayangan pohon durian berbuah lebat serta desahan angin di sela dedaunan kampung terus mengusik dipikirannya. Kini, ban motornya terhenti di depan gapura kayu yang dihiasi tulisan “Selamat Datang di Desa Duren.” Cat hijaunya telah pudar, retak di sana-sini, seakan memancarkan kerinduan pada masa lalu.
Ia mematikan mesin, duduk sejenak menahan degup jantungnya yang begitu kencang. Di pagar bambu, sarung ikat pinggang ayahnya Pak Jono masih tergantung, penuh ingatan akan ribuan kali sarung itu dipakai di ladang atau saat bekerja di kebun. Sejauh mata memandang, aroma tanah yang baru dibajak dan harum bunga kertas yang tumbuh subur di beranda menguar bersama suara jangkrik dan kicau burung gereja. Boni menutup mata, menarik napas panjang, dan membiarkan semua kenangan itu merasuk ke dalam dada.
Saat membuka mata, ia menatap rumah papan sederhana tempat keluarganya tinggal, atap seng yang berderit di bawah sengat sinar matahari, pintu kayu yang sudah menua dan berderit setiap kali dibuka, serta teras kecil yang dipenuhi pot-pot tanaman bunga kertas berwarna merah, putih, dan ungu. Rumah itu baginya bukan sekadar bangunan, tetapi saksi bisu kebahagiaan dan kepedihan, tawa kecil adik-adiknya, serta bisikan doa orang tuanya di setiap subuh.
“Mungkin Aku sudah lupa rasanya tanah di sini.” gumamnya pelan saat melangkah menuju teras, menyentuh pegangan kayu yang terasa hangat diterpa sinar pagi.
Sesampainya di ambang pintu, suara lantang memecah hening: “Boni! Nak, kamu benar-benar pulang?” Seruan itu datang dari ibu Retno yang berlari keluar, kedua lengannya terbuka luas ingin memeluknya. Pelukan hangat seketika menelanjangi rindunya yang terpendam selama ini. Retno menyandarkan dagunya di bahu Boni, suaranya bergetar menahan haru.
“Iya, Bu… aku di rumah.” jawab Boni, memeluk ibu lebih erat lagi, merasakan tepukan ringan di punggungnya setiap kali napasnya tertahan.
Pak Jono muncul dari dalam rumah, mengenakan kemeja kotak-kotak yang terlipat seadanya dan celana kerja yang ujungnya sudah pudar. Tangan kanannya masih mengeras akibat dari berbagai pekerjaan berat yang ia lakoni demi menghidupi keluarga. Dengan penuh kesederhanaan, ia menepuk punggung Boni, senyum teduh terbentang di mata yang sudah keriput.
“Lima tahun… rasanya baru kemarin kamu pamit.” gumam pak Jono, suaranya dalam, seakan meraba-raba betapa cepat waktu berlalu.
Di ruang makan, tiga saudara Boni yaitu Mira, Riko dan Santi serta si bungsu Beni sudah menanti di meja kayu yang sederhana. Aroma nasi hangat mengepul di atas piring, sambal terasi merah menyala seperti bara api, dan ikan asin goreng garing terhidang di piring lain. Tawa dan cerita ringan bicarakan seperti tentang harga durian di pasar masih melonjak, ayam Joni betelur dua kali sehari, hingga kabar tetangga yang bilang kepala desa baru lebih suka sawit daripada durian.
“Eh, Bon, kamu masih ingat Yuni, kan?” goda Santi sambil mengaduk sambal. “Dulu kalian rebutan jambu klutuk di kebun belakang.”
Muka Boni memerah, ia menoleh ke arah ibunya yang melemparkan tatapan sinis tapi penuh arti. Di dalam benaknya ia berbisik, Jangan ketahuan semua, ya… Namun senyum tipis tak bisa ia sembunyikan.
Selepas makan, Boni kepingin menghirup udara desa. Ia keluar lagi, berjalan menembus lorong sempit di antara rumah-rumah kayu. Terdapat sumur tua yang dulu sering ia pakai menimba air, batu-bata alasnya sudah aus. Sejumlah anak ayam berhamburan, burung gereja hinggap di ranting bambu, dan sepeda tua dengan ban bocor terparkir di depan warung Mbok Sri. Mbok Sri sendiri tampak menyapu teras, matanya penuh ramah meski tubuhnya renta.
Di warung, Yuni menyambut dengan senyum yang sama hangatnya seperti dulu. Wajahnya kini tampak lebih dewasa, lebih tegas, namun tetap menyimpan kelembutan. Ia menyiapkan dua gelas teh manis dingin, uap es yang meleleh di dinding gelas menghasilkan gemericik kecil.
“Selamat datang kembali, Bon.” sapanya lembut, tangan menyorongkan segelas teh.
“Thank you, Yun.” jawab Boni sambil tertawa kecil mendengar campuran bahasa Inggris di sana-sini yang masih terngiang di otaknya. “Kota… ya, ribet. Tapi di sini… rasanya damai.”
Mereka duduk berdampingan di bangku panjang kayu. Sinar sore menembus celah daun, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang menenangkan. Dari kejauhan terdengar riuh anak-anak TK yang berlarian, tawa mereka membaur dengan gemericik angin. Obrolan beralih dari keluhan listrik padam yang sering memutus saat malam, hingga prospek panen durian yang konon berlimpah tahun ini. Namun ketika Yuni menyinggung soal berita dari balai desa, suasana berubah tegang.
“Kamu dengar, kan?” tanya Yuni pelan, pandangannya melesat ke jalan desa.
Boni mengangguk, menatap tatapannya. “Iya. Aku kembali bukan sekadar untuk bernostalgia, Yun. Aku datang untuk menjaga kebun ini… menjaga warisan dari desa kita.”
Mata Yuni berkaca-kaca, tapi tekadnya terpancar. “Kalau begitu, kita harus segera bergerak.”
Keesokan paginya, Boni tiba lebih awal di balai desa. Bangku kayu yang tersedia penuh sesak, banyak pemuda desa bahkan berdiri di belakang. Papan pengumuman terpampang kabar rapat publik pukul sembilan pagi. Di panggung sederhana, kini berdiri Pak Suyono, kepala desa yang baru terpilih dengan menggunakan kemeja putih rapi. Ia memulai pidatonya dengan nada bicara yang formal.
“Saudara-saudara, kampung kita punya peluang besar untuk berkembang.” ujarnya, sambil menunjuk flipchart berisi grafik. “Dengan alih fungsi kebun durian menjadi kebun sawit, potensi pendapatan kita bisa dua hingga tiga kali lipat. Permintaan sawit di pasar global terus naik, sedangkan durian bersifat musiman dan rawan penyakit.”
Suasana hening, warga saling bertukar pandang. Saat itulah Boni berdiri, menyelinap melalui kerumunan hingga di tangga panggung. Ia menarik napas, mengumpulkan keberanian sebelum melangkah maju.
“Pak Suyono.” Ujar Boni dengan suaranya yang tegas, “durian bukan sekadar tanaman komersial. Durian adalah warisan nenek moyang kami. Setiap batang pohon punya cerita, setiap buahnya membawa kenangan. Jika kita menebang pohon-pohon ini, kita kehilangan identitas serta modal jangka panjang. Sawit mungkin memberikan keuntungan cepat, tetapi durian menanam nilai budaya dan keberlanjutan hidup desa kita.”
Pak Suyono mengerutkan alis, menoleh pada catatan di tangannya. “Boni, sentimen saja tidak cukup. Angka-angka menunjukkan sawit lebih menguntungkan, dengan biaya pemeliharaan yang lebih rendah.”
Boni mengangkat tangan, menenangkan. “Saya minta waktu tiga bulan untuk menyusun proposal ekonomi alternatif: agroforestry durian, agro-wisata panen, ekspor durian premium dan diversifikasi tanaman pendamping. Jika dalam tiga bulan rencana kami mampu menandingi atau melampaui proyeksi keuntungan sawit, tolong pertimbangkan kembali alih fungsi ini.”
Kepala desa menatap kerumunan, wajah-wajah warga yang menaruh harap besar pada Boni. Beberapa tepuk tangan halus terdengar, tanda dukungan. Pak Suyono menarik napas panjang, kemudian mengangguk pelan.
“Baik, Tiga bulan! Jika proposal kalian solid, saya akan menangguhkan semua penebangan. Sampai saat itu, tidak ada satu batang pohon pun yang boleh ditebang.”
Sorak sorai kecil pecah di antara warga. Kebahagiaan dan kelegaan terpancar di setiap wajah. Boni turun dari panggung, hatinya berdebar lega. Di antara kerumunan, ia bertemu mata Yuni dengan senyumnya yang penuh arti, memancarkan harapan yang sama kuatnya.
Warga berkumpul membentuk kelompok-kelompok kecil, saling merancang strategi dan membagi tugas. Ada yang bertugas meneliti harga durian premium di pasar ekspor, ada yang menghubungi pakar agroforestry di universitas dan ada pula yang merencanakan kegiatan wisata panen untuk menarik pengunjung. Semangat kebersamaan memenuhi udara pagi itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Kardi Kardi
always spiritsss TEAMMM/Casual/
2025-02-25
1