Anggista Anggraini, yang lebih akrab di sapa dengan nama Gista, mencoba menghubungi sahabatnya Renata Setiawan untuk meminjam uang ketika rentenir datang ke rumahnya. Menagih hutang sang ayah sebesar 150 juta rupiah. Namun, ketika ia mengetahui sahabatnya sedang ada masalah rumah tangga, Gista mengurungkan niatnya. Ia terpaksa menemui sang atasan, Dirgantara Wijaya sebagai pilihan terakhirnya. Tidak ada pilihan lain. Gadis berusia 22 tahun itu pun terjebak dengan pria berstatus duda yang merupakan adik ipar dari sahabatnya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
29. Bertemu Di Rumah Sakit.
Gista sedang menunggu Bobby yang akan mengantarnya pulang kerja. Gadis itu sudah memesan ojek online sekitar lima belas menit yang lalu. Namun pemuda itu belum juga datang.
Gadis itu hendak membatalkan, namun ia urungkan ketika mengingat Bobby sangat membutuhkan pekerjaan ini.
“Ta, maaf aku datang terlambat.” Ucap Bobby sembari menyerahkan helm pada gadis itu.
Tangannya yang terulur sedikit gemetar. Wajahnya pun terlihat panik. Membuat Gista yang hendak melempar gurauan, mengurungkan niatnya.
“Kamu baik - baik saja, Bob?” Tanya Gista sembari naik di belakang pemuda itu.
“Aku baru dapat telepon dari rumah sakit, Ta. Ibu kritis lagi.” Ucapnya dengan suara yang sedikit serak.
“Aduh. Kenapa harus macet sih?” Imbuh Bobby lagi.
Gista mendengar nada umpatan dari suara pria itu.
Ponsel Bobby kembali berdering. Pria muda itu pun menepikan motornya.
“Ta. Sebentar, ya.” Ia ijin untuk mengangkat panggilan.
Gista pun mengangguk pelan.
“Baik, sus. Saya akan segera kesana.” Ucap Bobby yang kemudian menyimpan ponselnya.
“Ta, kalau aku —
“Kita langsung ke rumah sakit saja, Bob.” Potong Gista kemudian. Ia tidak tega melihat raut wajah panik Bobby.
“Kamu tidak apa - apa? Maksud aku. Aku mau ngebut, cari jalan pintas biar kamu cepat sampai —
“Aku tidak apa - apa, Bob. Aku mau ikut ke rumah sakit, jenguk ibu kamu.” Ucap Gista kemudian.
“Apa perlu aku yang mengendarai motornya?” Tanya Gista lagi.
Bobby menggunakan motor matic, walau body motor itu lebih besar dari milik sang bapak. Gista yakin ia juga bisa mengendarainya.
“Tidak perlu, Ta. Kamu cukup pegangan yang kuat. Aku mau mencari jalan pintas, biar cepat sampai di rumah sakit.” Ucap pemuda itu dan kembali menyalakan mesin motornya.
Gista meremat bagian samping jaket yang Bobby pakai. Jalanan sore ini cukup padat. Namun pemuda itu berusaha untuk menyalip dari segala celah yang ada.
Ia harus segera tiba di rumah sakit. Sudah dua kali suster menghubungi. Mengatakan jika keadaan ibunya semakin menurun.
Lima belas menit kemudian mereka tiba di rumah sakit.
Bobby berlari terlebih dulu, saat Gista sedang menyimpan helm di atas sepion motor. Gadis itu kemudian mengikuti langkah Bobby.
Pemuda itu menggunakan jaket ojek online berwarna hijau, sehingga sangat mudah untuk Gista menemukannya.
“Bagaimana Bob?” Tanya Gista saat berada di dekat Bobby, tepatnya di depan ruang ICU. Tempat ibu pemuda itu di rawat.
“Dokter masih di dalam, Ta.” Ucap Bobby pelan.
Nada suara pemuda itu penuh dengan kekhawatiran. Dengan manik mata mulai memerah.
Gista hanya mampu menenangkan melalui usapan pelan pada lengan pria itu.
“Ta, apa akan terjadi sesuatu pada ibu?” Tanya pemuda itu.
Gista tentu tidak tau jawabannya. Namun, ia hanya berusaha untuk membuat hati Bobby lebih tenang.
“Kita berdoa saja, Bob. Semoga Tuhan memberikan jalan yang terbaik untuk ibu kamu.” Ucap gadis itu.
Ia kemudian menuntun Bobby untuk duduk di atas kursi tunggu.
Tak berselang lama, dokter pun keluar. Dengan cepat Bobby berdiri, menghampiri dokter yang telah merawat ibunya beberapa bulan terakhir ini.
“Dok, bagaimana keadaan ibu saya?” Tanya Bobby. Ia berusaha tegar, meski jantungnya kini berdetak dengan cepat.
Dokter wanita berusia lima puluh tahun itu tidak langsung menjawab. Ia mengusap lengan Bobby dengan lembut.
“Ibu kamu sudah beristirahat dengan tenang.”
Jedar!!
Dunia Bobby seakan runtuh. Tubuh pemuda itu seketika luruh di atas lantai.
Gista dengan cepat mendekat. Mengusap bahu Bobby untuk menenangkan, meski itu tidak akan bisa.
“Bob.”
“Ibu pergi, Ta.” Ucap pemuda itu dengan lirih.
Gista berjongkok di samping Bobby. Kemudian menuntun pemuda itu untuk kembali duduk di atas kursi tunggu.
“Kamu yang kuat, Bob. Mungkin ini jalan yang terbaik untuk ibu kamu.” Gista tidak tau harus mengeluarkan kata penghibur seperti apa?
Ia memang pernah kehilangan sosok seorang ibu, tetapi dalam kasus yang berbeda. Wanita yang melahirkan Gista masih hidup sampai saat ini. Sementara, Bobby kehilangan untuk selamanya.
Bobby tidak dapat membendung lagi tangisannya. Ia duduk menunduk sembari menutup wajahnya.
“Iklhaskan, Bob. Agar ibu kamu bisa pergi dengan tenang.”
\~\~\~
Sementara itu di waktu dan rumah sakit yang sama. Dirga sedang menemani Dianna mengecek keadaan pergelangan tangan kiri wanita itu, di ruangan dokter spesialis ortopedi.
Dokter ahli tulang itu mengatakan jika pergelangan tangan Dianna sudah sembuh, namun belum boleh di gunakan untuk bekerja yang terlalu berat.
“Pak Dirga harus memastikan jika ibu Dianna tidak melakukan hal - hal berat dengan tangan kirinya.” Ucap Dokter yang seorang pria paruh baya itu.
Dirga menganggukkan kepalanya.
Dokter kemudian meresepkan obat untuk di gunakan selama seminggu kedepan.
“Kamu sudah mendengar ucapan dokter ‘kan? Jadi jangan ceroboh lagi kedepannya.” Ucap Dirga saat mereka telah keluar dari ruangan dokter.
“Kamu sangat cerewet, Dirga. Sangat mirip dengan mama ku.” Dianna mendengus pelan.
“Kalau aku tidak cerewet—
Dirga tidak melanjutkan kalimatnya, ia pun terpaku di tempat. Ketika melihat seseorang yang tidak asing untuknya, sedang memeluk seorang pria di atas kursi tunggu.
“Kenapa diam?” Dianna menatap Dirga, kemudian melihat ke arah pandangan pria itu.
“Dirga, dia bukannya —
Kalimat Dianna terpotong saat Dirga berjalan ke arah dua orang itu.
“Anggista?”
Gista yang sedang memeluk bahu Bobby pun menoleh.
“Pak Dirga?” Gumamnya pelan. Ia seketika melepaskan tangannya dari bahu Bobby.
Pemuda itu pun ikut mendongak. Melihat Dirga berdiri tak jauh dari mereka, Bobby kemudian mengusap wajahnya.
Dahi Dirga berkerut halus ketika melihat wajah sembab Bobby. Pria itu pun mengurungkan niat mengamuknya.
Gista pun bangkit untuk menyapa pria itu. Hampir sebulan hidup bersama, ia tau jika saat ini Dirga sedang marah. Mungkin karena melihat dirinya memeluk Bobby.
“Pak Dirga, Bu Dianna.” Ucap Gista dengan ramah.
Ia teringat, pagi tadi Dianna mengirim pesan pada Dirga untuk mengantar wanita itu ke rumah sakit. Dan ternyata mereka di tempat yang sama.
Dianna mengangguk pelan. Namun Dirga tidak menanggapi. Ia hanya menatap Gista dengan pandangan yang sulit di artikan.
“Siapa yang sakit?” Tanya Dianna untuk memecah kebungkaman.
Ia juga penasaran setelah melihat seorang pemuda menangis di pelukan Gista.
“Ibu Bobby, baru saja meninggal dunia.” Ucap Gista kemudian.
Seketika kepalan tangan Dirga di sisi tubuhnya terbuka. Ia tidak seharusnya marah. Gista disini untuk menemani Bobby yang baru saja kehilangan ibunya.
“Saya turut berduka cita, Bobby.” Ucap Dirga kemudian. Bagaimana pun, ia mengenal Bobby lebih dulu dari Richard dan juga Gista.
“Terima kasih, pak Dirga.” Balas Bobby dengan tulus.
Dirga kembali menatap Gista. Gadis itu menggeleng dengan samar. Berusaha mengatakan jika dirinya tidak melakukan kecurangan dengan Bobby.
Semoga Dirga mengerti. Gista akan menjelaskan nanti saat mereka berada di apartemen.
“Dirga, aku akan menebus obat dulu.” Bisik Dianna kemudian.
“Biar aku antar.” Ucap Dirga pada Dianna.
“Anggista, Bobby. Kami permisi dulu.” Pria itu beralih pada Gista dan Bobby.
“Silahkan, pak.” Ucap Gista, sementara Bobby hanya mengangguk pelan.
“Dirga, kamu baik - baik saja ‘kan?” Bisik Dianna saat mereka sudah semakin jauh dari Gista dan Bobby.
“Memangnya aku kenapa?” Tanya pria itu, yang kemudian mendahului langkah Dianna.
Wanita itu mendengus pelan. “Dasar pria menyebalkan.”
...****************...
Posesif ato protektif.. 🤔🤔🤔🤔🤔
♥️♥️♥️♥️♥️