Jika tak percaya adanya cinta pada pandangan pertama, Rayyan justru berbeda, karena semenjak melihat Mbak Tyas, dia sudah langsung menjatuhkan hati pada perempuan cantik itu.
Dan dia Rayyan Asgar Miller, yang jika sudah menginginkan sesuatu dia harus mendapatkannya dengan cepat.
"Ngapain masih ngikutin? Kan tadi udah aku bayarin minumannya tah!?"
"Bayarannya kurang Mbak!" Rayyan menyengir lalu menunjukkan sebelah pipinya. "Kiss sepuluh kali dulu, baru aku anggap impas."
"Astaghfirullah!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pasha Ayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DB TIGA BELAS
"Urusan kita belum selesai, bangsat!"
Karena umpatan itu, Rayyan lantas mendorong dada bidang Ervan yang tersulut emosi karena kelakuan santainya.
Ervan rupanya masih kesal kenapa harus Rayyan yang menikahi Tyas. Malam tadi, entah apa yang Tyas lakukan bersama pemuda ini.
Ervan tak sanggup membayangkan bagaimana Tyas mendesah di bawah Kungkungan pemuda tengil ini sementara dia yang selama ini memimpikan posisi itu.
Ervan masih nyalang menatap Rayyan, bahkan mencengkeram erat kerah jaket jeans Rayyan yang dirasa cukup janggal. Ervan sempat melirik merek jaket tersebut, dan sepertinya jaket itu bukan barang KW.
Juga, mata hijau pemuda itu, bukan kornea buatan ataupun softlens. Namun, memang warna manik asli dari lahirnya.
Sebenarnya ada banyak sekali pertanyaan di benak Ervan. Salah satunya; kenapa pemuda ini bisa tiba- tiba saja menikahi kekasihnya.
Sungguh, Ervan tak tahu menahu bagaimana proses itu terjadi. Yang pasti, Ervan takkan tinggal diam setelah kekasihnya direbut bocah tengil ini.
Cepat atau lambat, Tyas akan kembali ke dalam pelukannya. Dan bocah ini, akan dia kirim ke tempat asalnya seperti semula.
"Sudah, Mas!" Dimas melerai Rayyan dan Ervan yang masih berseteru sengit. "Mas Ervan ini kenapa sih?" tanya Dimas kemudian.
Ervan beralih pada Dimas. "Mbak Tyas kamu itu loh pacar Mas Ervan, Dimas! Gimana Mas nggak marah sama bocah ingusan ini?"
Ervan menunjuk lurus wajah Rayyan yang menyunggingkan senyum miring. Rayyan sudah banyak mencari tahu tentang pemuda itu, dan Ervan bekerja di perusahaan Millers corpora group.
Di mana ayahnya lah yang berkuasa di atas kursi Ervan yang menjabat sebagai manager fungsional di cabang Jogjakarta. Selama ini Ervan menjadi karyawan teladan dan Rayyan tahu riwayat itu dari orangnya.
"Pacar?"
Dimas terkejut mendengar pengakuan Ervan kali ini. Bagaimana tidak, selama ini Dimas tak pernah mendengar jika Ervan kekasih Mbak Tyas.
Lagi pula, selama ini keluarga Ervan terlalu julid, sering kali mem-bully Mbak Tyas secara terang- terangan. Maka mana mungkin jika Ervan kekasih Mbak Tyas, Dimas tak percaya.
"Pacar dari mana?" sanggah Dimas.
"Mas Ervan sama Mbak kamu sudah lima tahun pacaran, kami backstreet selama ini asal kamu tahu, Dimas!" ngaku Ervan.
Selama ini hubungannya dengan Tyas memang hanya diam- diam. Itu Ervan lakukan karena Ervan tak mau keluarganya tahu.
"Terus yang dibilang Mbak Gendhis itu gimana, Mas?" Dimas tak lupa gosip yang beredar di masjid subuh tadi.
"Bilang apa?" sergah Ervan. Dia lumayan penasaran dengan informasi Dimas.
"Mbak Laras katanya mau dinikahi sama Mas Ervan, tadi subuh Dimas denger gosip itu dari Mbak Gendhis langsung," ujarnya.
"Apa?" Ervan ternganga.
Gosip macam apa ini? Dia tak pernah merasa melamar atau pun sesumbar ingin menikahi Laras, kemarin Ervan menolak Laras ketika Laras meminta dinikahi secepatnya.
Karena Ervan jujur ketika Ervan bilang hanya bermain- main saja dengan Laras. Kucing mana yang tak menerkam saat Laras sendiri yang menggoda imannya.
Lagi pula siapa yang bercita- cita menikahi gadis murahan seperti Laras? Ervan tak pernah membayangkan saat anak- anaknya di didik oleh ibu seperti Laras.
"Sudah lah Mas, lebih baik sekarang Mas Ervan urusin urusan Mas sendiri. Kasihan Mbak Tyas, selalu dibully sama keluarga Mbak Gendhis sama keluarga Mas Ervan juga, mungkin itu semua karena Mas Ervan!"
"Dimas!" Ervan ingin membujuk rayu adik Tyas lagi, tapi suara Rayyan memancing emosinya kembali.
"Xixixix." Rayyan cekikikan. Dan saat Ervan ingin menjajal pemuda itu, Dimas meraih lengan Rayyan untuk digandengnya pulang.
...°^\=~•∆•∆•~\=^°...
Seharian ini Tyas bahagia, bersyukur karena Dimas benar- benar mendapat beasiswa dari pesantren dan sekolah secara bersamaan.
Mulai minggu depan Dimas sudah boleh masuk ke pesantren. Biaya semua ditanggung pihak yayasan, dan tugas Dimas hanya tinggal belajar dengan baik.
Dua Gus dan satu kiyai yang datang langsung untuk menghadap Tyas. Tyas juga mendapat surat resmi jika Dimas sudah diterima untuk mondok di pesantren Darul Muttaqien.
Tyas kini sedang membuat kotak nasi untuk acara tahlilan yasinan nanti malam. Rayyan yang baru datang entah dari mana, Tyas tak tahu, ia duduk di sisi Tyas.
Rayyan juga memukul kepala Dimas dengan kotak nasi kosong. "Anak kecil, jauh jauh!"
"Hehe," nyengir Dimas. Dia sudah mau SMA, tentu tahu maksud Rayyan barusan, pasti Mas Rayyan dan Mbak Tyas ingin berpacaran.
Dimas mengalah untuk menjauhi keduanya, lalu duduk di depan TV sambil melanjutkan melipat kotak nasi yang masih mentah.
Rayyan berdehem kecil, tadi Rayyan pergi ke hotel untuk menemui Guntur dan Aulkafa, sore begini Rayyan baru pulang. "Kalo perlu bantuan bilang, Sayang...," ucapnya.
Rayyan kemudian mencuci tangan, lalu duduk kembali untuk membantu melipat kertas nasi yang masih beberapa lagi. Terlihat Tyas juga sudah memasak beberapa menu sederhana untuk dimasukkan ke dalam kotak tersebut.
"Sayang, perlu bantuan?" Rayyan kembali menawarkan, tapi Tyas justru terkekeh remeh.
"Kamu orang berada kan? Biasanya kamu di kost cuma nunggu dikirimin duit sama orang tua kamu. Emang bisa bantuin apa?"
Rayyan lelaki, ditantang begitu membuat jiwa jantannya bergejolak. "Ngapain memangnya hmm? Pasang gas? Bersihin ikan? Benerin mesin air? Semuanya nggak ada yang nggak aku bisa! Bahkan kalau kamu tega nyuruh aku benerin genteng, aku sanggup!" katanya.
Tyas menatap pemuda itu, masih asing karena mereka belum cukup saling mengenal satu sama lain. Tadi, Rayyan pergi ke mana pun, Tyas tak diberitahukan.
Shalat kah di jalan, atau tidak kah, Tyas tak tahu keseharian suaminya. "Shalat, ngaji, kamu bisa?" tanyanya menantang.
Tyas lantas terkekeh karena Rayyan diam melongo tak menjawabnya. "Nggak bisa kan?"
Lagi- lagi Tyas terkekeh remeh. "Kamu jadi imam buat diri sendiri ajah belum bisa Rayyan. Gimana mau jadi imam ku?"
"Mbok yo shalat dulu kamu pelajari, ngaji dulu kamu pelajari, baru setelah itu..."
"Malam pertama?" sela Rayyan.
Bibirnya menyengir lebar setelah itu. "Kamu bisa janji nggak kalo aku bisa ngaji, bisa shalat seperti yang kamu mau tadi, kita boleh mulai malam pertama kita?" tanyanya lagi.
Tyas mendadak diam dan Rayyan langsung menawarkan kelingkingnya. "Ayok janji, aku boleh nyium kamu, aku boleh peluk kamu kalo aku bisa melakukan apa yang kamu minta barusan!" ujarnya.
Tyas menjadi ciut, entahlah, mungkin karena Rayyan cukup terlihat meyakinkan saat dia bilang 'kalau aku bisa!' Bagaimana kalau ternyata pemuda itu memang bisa? Itu berarti dia harus rela disentuh bocah tengil ini.
"Hafalan surah, bisa?" Tyas menantang yang sedikit lebih sulit, karena dia yakin kalau hanya shalat mengaji Rayyan bisa.
"Surah apa?"
"Juz 19," kata Tyas.
"Surah asy-syu’ara?" tanya balik Rayyan.
Tyas mendelik, ternyata Rayyan tahu surah yang ada di juz 19. "Juz 23?"
"Surah ash-shoffat?" sela Rayyan kembali.
Tyas lantas dibuat tercengang ketika Rayyan membacanya dengan baik. Bahkan bisa dikatakan cukup fasih.
Tyas melongo hingga dia tak sadar ketika Rayyan mengecup bibirnya. "Jangan meremehkan orang cuma dari tampilan casingnya, Sayang," bisiknya.
Tyas membulatkan matanya penuh, lalu seketika menutup bibirnya yang barusan dikecup pertama kalinya oleh lelaki. Ini kiss pertama bagi Tyas, dan Rayyan lah orangnya.
Rayyan tak peduli dengan keterkejutan Tyas, pemuda itu menagih janji Tyas, yaitu boleh peluk boleh cium setelah dia bisa membaca surah dengan hafalan.
Rayyan menyingkirkan tangan Tyas dari bibir tipis Tyas, memagut bibir tersebut, di mana Tyas tak berani berontak. Tyas begitu hanyut, antara shock dan lain hal yang mencampuri perasaannya.
Dirinya sampai tak sadar jika mereka sedang bergumul di lantai dapur hanya beralaskan tikar. Rayyan di atas dan Tyas di bawah.
"Astaghfirullah, mata perawan ku!"
Fakhri tiba tiba masuk ke dapur dan kembali berlari menjauhi. Tyas mendadak mendorong dada Rayyan agar bangkit dari tubuhnya.
"Sudah dibilang jangan ke dapur!"
Dimas tertawa- tawa karena tahu apa yang tak sengaja Fakhri lihat barusan. Jelas kemesraan Mbak Tyas dan Mas Rayyan.
itu kata om opik
itu juga yg ak alami
skrg tertawa
bebrapayjam lagi cemberut
lalu g Lma pasti nangis