Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20: Menentukan Hari Bahagia
Hari itu, suasana rumah Zahra terasa lebih hidup. Setelah melewati berbagai ujian yang hampir mengguncang hubungan mereka, kini Zahra dan Zidan tinggal menentukan waktu pernikahan. Masalah dengan Siska telah benar-benar selesai. Permintaan maaf tulus dari Siska beberapa hari lalu menjadi penutup drama yang sempat memecah kebahagiaan mereka.
Maya juga sudah tak terdengar kabarnya. Ia bersama keluarga pindah ke kota yang lumayan jauh dari tempat tinggal Zidan. Umminya memang tak ingin putrinya terus larut dalam kesedihan akibat gagal menikah. Sedangkan kiai Mahfud lebih legowo dan telah merestui Zidan bersama Zahra. Ia tak bisa memaksa Zidan tetap menikahi putrinya. Karena sejatinya jodoh dan takdir ada di tangan Allah SWT.
Zidan datang berkunjung ke rumah Zahra untuk membicarakan rencana besar yang sebelumnya telah di sepakati. Di ruang tamu yang sederhana namun hangat, Zidan duduk bersama ayah dan ibu Zahra. Meskipun keluarga Zahra bukan berasal dari kalangan pesantren, mereka mendukung penuh keinginan putri mereka yang ingin memperdalam ilmu agama dan kini menjalani hari-harinya sebagai santri.
“Gus Zidan,” kata ayah Zahra, membuka pembicaraan dengan nada lembut, “Bapak dan ibu sudah sepenuhnya merestui hubungan kalian. Sekarang tinggal kalian yang menentukan kapan hari bahagianya.”
Zidan mengangguk dengan mantap. “Terima kasih, pak. Insya Allah saya ingin semuanya berjalan sesuai keinginan Zahra. Saya tidak mau terburu-buru, asalkan dia sudah siap, saya akan menyesuaikan.”
Ibu Zahra tersenyum hangat. “Kami percaya kamu bisa menjadi imam yang baik untuk Zahra. Yang penting, jangan lupa untuk terus saling mendukung dan bersabar, ya.”
“Insya Allah, Bu,” jawab Zidan yakin.
Sementara itu, Zahra duduk di teras belakang rumahnya. Udara sore yang sejuk dan langit yang mulai berwarna jingga membuat pikirannya sedikit lebih damai. Ia tahu keputusan besar menantinya, tetapi ada rasa ragu yang tak bisa ia abaikan.
Zidan menghampirinya, wajahnya tampak tenang meskipun ada sedikit kegelisahan di matanya.
“Kamu sibuk?” tanya Zidan sambil tersenyum kecil.
Zahra menggeleng. “Nggak. Ada apa Gus?”
“Aku cuma mau ngobrol sebentar. Ada hal penting yang harus kita bicarakan,” jawab Zidan.
Zahra mempersilakan Zidan duduk di bangku sebelahnya. Mereka duduk agak berjarak.
“Gus mau ngomong apa?” tanya Zahra dengan nada lembut.
Zidan menatapnya serius. “Aku mau tahu, kapan kamu siap menikah?”
Pertanyaan itu membuat Zahra sedikit terkejut. “Gus yakin kita harus menikah secepat ini?”
Zidan tersenyum tipis. “Aku yakin. Aku nggak mau menunda lagi, asalkan kamu sudah siap.”
Zahra menghela napas panjang. “Saya nggak keberatan, tapi saya cuma mau kita mempersiapkan semuanya dengan matang. Saya nggak mau ada hal yang terlewatkan, apalagi terburu-buru.”
Zidan mengangguk. “Aku setuju. Aku cuma nggak mau kamu merasa terbebani. Kalau ada sesuatu yang kamu khawatirkan, tolong bilang, ya.”
Zahra menatap Zidan dengan penuh keyakinan. “Saya nggak khawatir soal kita. Saya cuma ingin memastikan semuanya berjalan baik. Gus janji, kan? Apa pun yang terjadi, Gud nggak akan ninggalin saya?”
“In Syaa Allah Zahra,” jawab Zidan tegas. “Aku akan selalu ada buat kamu.”
Percakapan itu membuat Zahra merasa lebih tenang. Ia tahu Zidan selalu berusaha menjadi menunjukkan ketulusannya, dan itu membuatnya semakin yakin untuk melangkah ke depan.
Malam harinya, keluarga Zahra dan Zidan berkumpul untuk membahas waktu pernikahan. Ruang tamu sederhana itu dipenuhi canda tawa. Setelah berdiskusi, mereka sepakat untuk melangsungkan akad nikah tiga bulan mendatang. Waktu itu dirasa cukup untuk mempersiapkan segalanya tanpa terburu-buru.
“Alhamdulillah,” ucap ibu Zahra sambil tersenyum. “Semoga semuanya dimudahkan, ya.”
“Aamiin,” jawab Zidan dan Zahra hampir bersamaan, membuat semua orang tertawa kecil.
Setelah pertemuan itu selesai, Zahra kembali ke kamarnya. Ia duduk di depan meja belajarnya, menatap kalender di dinding. Tiga bulan terasa cepat, tapi ia percaya ini adalah keputusan terbaik.
“Ya Allah,” gumam Zahra pelan, “bimbing kami dalam langkah ini. Berikan kami kekuatan untuk menjalani amanah ini dengan ikhlas dan sabar.”
Di tempat lain, Zidan juga memanjatkan doa. Hatinya dipenuhi rasa syukur. Setelah semua rintangan yang mereka lalui, ia merasa diberi kesempatan untuk membangun hidup baru bersama Zahra.
Hari-hari berikutnya diisi dengan berbagai persiapan. Karena Zahra dan Zidan tinggal di kota yang sama, mereka lebih mudah berdiskusi dan bertemu untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Meski begitu, mereka tetap menjaga batas dan menjadikan setiap langkah sebagai ibadah.
Zahra semakin yakin bahwa Zidan adalah orang yang tepat untuk mendampinginya. Sementara Zidan, ia bertekad menjaga Zahra dengan sepenuh hati. Mereka tahu jalan ke depan masih panjang, tapi dengan cinta, doa, dan kepercayaan, mereka yakin mampu melewatinya bersama.
Kini, hanya tinggal menunggu waktu sampai hari itu tiba, hari di mana mereka akan memulai perjalanan baru sebagai pasangan yang sah.
To Be Continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??