Karin, terpaksa menikah dengan Raka, bosnya, demi membalas budi karena telah membantu keluarganya melunasi hutang. Namun, setelah baru menikah, Karin mendapati kenyataan pahit, bahwa Raka ternyata sudah memiliki istri dan seorang anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cecee Sarah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Dua
Karin duduk di bangku taman kecil yang terletak di pinggir aula gedung, menikmati keheningan malam di sela-sela gemerlap lampu kota. Di atasnya, langit malam membentang, dihiasi bintang-bintang yang berkelip-kelip seolah ikut menyaksikan pesta yang masih meriah di dalam aula. Suara musik dan tawa sesekali terdengar dari kejauhan, tapi tidak cukup untuk mengusik kedamaian yang dirasakannya saat ini.
Ia menarik nafas dalam-dalam, membiarkan udara malam yang dingin mengisi paru-parunya. Angin sepoi-sepoi berhembus, menyentuh lembut kulitnya, tapi perlahan-lahan rasa dingin mulai menusuk, membuatnya memeluk diri sendiri.
Karin sebenarnya tidak keberatan duduk sendirian di sini. Baginya, menyendiri jauh lebih menyenangkan daripada harus berpura-pura ramah dengan orang-orang yang nyaris tak dikenalnya. Sesekali, ia mengeluarkan ponselnya, melirik layar untuk melihat waktu. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, tapi acara di dalam aula tampaknya masih jauh dari kata selesai.
Beberapa kali, Karin mencoba menghubungi Jean, sahabat yang mengundangnya ke pesta ini. Namun, panggilannya selalu tak terjawab. Ia mulai merasa menyesal karena menuruti ajakan Jino yang bersikeras ingin ia ikut, padahal Jean malah sulit dihubungi.
Rasa kecewa lain juga menyelinap di hatinya saat mengingat Raka, yang sepertinya tidak berniat menemuinya malam ini. “Seharusnya aku tinggal di rumah saja,” pikirnya sambil menghela napas panjang.
Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat dari arah belakang. Karin menoleh dan mendapati seorang pria berdiri dengan senyum ramah di bibirnya. Pria itu adalah Wisnu , salah satu rekan bisnis Raka yang pernah dikenalnya secara singkat di sebuah acara perusahaan.
“Bolehkah aku duduk di sini?” tanyanya sambil memegang dua gelas minuman di tangannya.
Karin mengangguk, tersenyum tipis. “Silakan, Tuan Wisnu,” jawabnya, menggeser tubuhnya sedikit untuk memberinya ruang di bangku. Meskipun agak canggung, ia merasa tidak sopan jika menyuruh pria itu pergi.
“Panggil saja aku Wisnu, jangan terlalu formal,” katanya sambil duduk di samping Karin, menjaga jarak sopan. Ia lalu menyodorkan segelas minuman padanya. “Ini, aku bawakan untukmu.”
“Terima kasih, Tuan Wisnu,” Karin menerimanya dengan ragu, menatap gelas di tangannya sejenak sebelum akhirnya menyesap minuman itu.
Mereka terdiam beberapa saat, hanya ditemani suara angin dan gemuruh samar dari pesta di aula. Wisnu tiba-tiba melepas jasnya dan, tanpa bertanya lebih dulu, menyampirkannya di bahu Karin.
“Kau pasti kedinginan. Udara malam ini cukup dingin,” ujarnya dengan nada perhatian.
“Oh, ini... sebenarnya tidak perlu.” Karin mengangkat bahunya, hendak mengembalikan jas itu.
“Tidak apa-apa, pakai saja. Aku tidak ingin melihatmu kedinginan,” katanya sambil tersenyum hangat. Ada ketulusan dalam suaranya, dan Karin akhirnya mengalah, membiarkan jas itu tetap melindungi tubuhnya dari dingin.
“Terima kasih, Tuan Wisnu.” Karin mencoba tersenyum, sedikit merasa canggung. Tanpa disadari, ia kembali menyesap minuman yang ada di tangannya.
Wisnu menatapnya dengan senyum yang seolah mengandung banyak arti. “Jadi, kapan kau mulai bekerja sebagai sekretaris Raka?” tanyanya.
“Mungkin besok,” jawab Karin, berusaha singkat.
Wisnu mendekatkan tubuhnya sedikit, namun tetap menjaga jarak. “Kalau aku jadi Raka, aku pasti lebih bersemangat bekerja karena bisa melihat wanita secantik dirimu setiap hari,” katanya, tatapannya menyorotkan ketertarikan yang jelas.
Karin tersenyum kecil, memilih tidak menanggapi. Ia mengalihkan pandangannya ke arah bintang-bintang di langit malam, berusaha mengabaikan tatapan intens Wisnu.
Perlahan, ia kembali menyesap minumannya, menghabiskan hingga tetes terakhir. Namun, sejurus kemudian, perasaan aneh mulai merambat ke tubuhnya. Penglihatannya menjadi kabur, dan kepalanya terasa berputar. Karin memejamkan mata sejenak, merasakan rasa pusing yang kian kuat.
“Kamu baik-baik saja?” Wisnu bertanya, raut khawatir terlihat di wajahnya.
Karin menggeleng lemah, mencoba bangkit dari bangku. “Entahlah... tiba-tiba aku merasa pusing…” Ia berusaha berdiri, tapi tubuhnya goyah, membuatnya terpaksa duduk kembali.
Wisnu bergerak cepat, mendekat untuk menahan tubuhnya yang tampak kehilangan keseimbangan. “Kau pasti tidak sehat. Biar aku antar pulang,” tawarnya.
“Terima kasih, tapi… tidak perlu,” ucap Karin, sekali lagi mencoba bangkit, namun kali ini tubuhnya benar-benar ambruk. Refleks, Wisnu menangkap tubuhnya dengan kedua tangan, memeluknya erat agar tidak jatuh.
“Sepertinya kau memang butuh bantuan. Aku akan mengantarmu pulang,” katanya dengan suara lembut, sambil memegang erat tubuh Karin yang lemah.
Karin tidak menjawab, hanya mengangguk pelan. Kepalanya terasa semakin berat, dan kesadarannya mulai menghilang. Ia tidak tahu bahwa sejak awal, Wisnu memiliki niat tersembunyi. Wisnu tersenyum puas melihat Karin tak berdaya di dalam pelukannya. Dengan hati-hati, ia menuntunnya ke mobil yang terparkir tidak jauh dari sana.
Di tengah perjalanan menuju mobil, Wisnu berhenti sejenak, menatap wajah Karin yang kini terpejam dengan nafas teratur, pertanda ia mulai tak sadarkan diri. Rasa puas membuncah di dalam dadanya saat ia membelai lembut pipi Karin yang tampak pucat di bawah sinar bulan.
“Malam ini, kau milikku, Sayang,” bisiknya dengan nada penuh obsesi, sebuah senyum miring terlukis di wajahnya. Tanpa menunggu lebih lama, Wisnu membuka pintu mobil dan dengan hati-hati mendudukkan Karin di kursi penumpang, memastikan sabuk pengamannya terpasang.
Setelah menutup pintu, Wisnu duduk di balik kemudi dan melirik Karin yang kini tak sadarkan diri di sampingnya. Ia melajukan mobilnya keluar dari area gedung dengan kecepatan konstan, melintasi jalanan malam yang sepi menuju apartemennya, dengan rencana yang sudah terpatri dalam benaknya.