Nia tak pernah menduga jika ia akan menikah di usia 20 tahun. Menikah dengan seorang duda yang usianya 2 kali lipat darinya, 40 tahun.
Namun, ia tak bisa menolak saat sang ayah tiri sudah menerima lamaran dari kedua orang tua pria tersebut.
Seperti apa wajahnya? Siapa pria yang akan dinikahi? Nia sama sekali tak tahu, ia hanya pasrah dan menuruti apa yang diinginkan oleh sang ayah tiri.
Mengapa aku yang harus menikah? Mengapa bukan kakak tirinya yang usianya sudah 27 tahun? Pertanyaan itu yang ada di pikiran Nia. Namun, sedikit pun ia tak berani melontarkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon m anha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hati Nia
Faris dan Nia kini melangkah memasuki pesawat yang akan membawa mereka kembali ke tanah air, Nia duduk di samping jendela dan hanya terus diam sambil sesekali melihat ke arah luar.
Pesawat pun mulai lepas landas dan tak satu kata pun keluar dari mulut istri dari Faris itu, membuat Faris merasa jika kata yang ia ucapkan tadi itu bukanlah fakta yang dirasakannya jika ia baik-baik saja saat melihat kesalahpahaman yang terjadi di antara dia dan juga Raya.
"Nia, apa kamu masih marah?" tanya Faris dengan hati-hati.
"Enggak, kok," jawabnya tanpa melihat ke arah Faris dan masih memainkan ponselnya, mengaktifkan mode pesawat karena pesawat akan segera lepas landas .
Mulut berkata 'nggak kok', tapi hati siapa yang tahu. Terkadang wanita mengatakan lain di mulut, lain di hati. Mengatakan 'tidak' tapi nyatanya 'iya,' mengatakan 'tak apa-apa,' tapi 'ada apa-apa sihati mereka', mengatakan hatinya 'baik-baik saja' tapi sebenarnya 'hatinya hancur.' Itulah wanita, sulit dimengerti dan itulah yang dirasakan Faris saat ini. Ia ingin menjelaskan, tapi tak tahu bagaimana cara menjelaskannya mendengar kata dari Nia jika dia tak apa-apa, lebih baik Nia yang mengamuk, marah, memukul dirinya untuk melampiaskan kekesalannya daripada terus diam seperti yang ia lakukan saat ini, itu sangat membuat Faris tak tahu harus berbuat apa untuk mendapatkan maaf dari sang istri.
Waktu berlalu begitu cepat hingga tak terasa sebentar lagi pesawat akan mendarat. Namun, Nia sama sekali tak bersikap hangat lagi pada Faris, ia juga hanya bicara saat Faris menanyainya dan menjawabnya seadanya.
Mungkin Nia butuh waktu, ia akan memberikan waktu pada istrinya itu saat mereka sudah turun dari pesawat dan mengikutinya berjalan di sampingnya, mengikuti tanpa berbicara sedikitpun.
Nia melambaikan tangan pada semua keluarga yang menjemputnya, semua keluarga Faris dan juga keluarga Nia ada di sana. Nia langsung berlari memeluk ibunya dan juga Dita, seluruh keluarganya juga ikut menyambut kedatangan mereka.
"Ya ampun, Ibu sangat merindukanmu, Nak," ucap Intan memeluk erat putrinya. Sekuat tenaga Nia menahan air matanya dan menyembunyikannya di balik senyuman.
"Iya, Bu Nia juga merindukan Ibu," ucap Nia dengan senyuman, tapi matanya berkaca-kaca. Nia mungkin bisa menipu semua orang, menipu keluarga suaminya dan juga ibunya, tapi ia tak bisa menipu kakak perempuannya yang selama ini menjadi tempatnya mencurahkan segala isi hatinya. Dita tahu jika keadaan Nia saat ini tidak baik-baik saja. Namun, ia akan mencoba menahan diri untuk menanyakannya.
"Kalian langsung pulang ke rumah kan?" tanya Agatha pada Faris membuat Faris pun mengangguk.
"Iya, Bu. Maaf kami baru pulang, kami habis merayakan ulang tahun Farah," ucap Faris membuat Agatha dan yang lainnya pun mengerti.
"Ya, sudah. Ayo kita ke rumah. Mari, Bu!" ucap Agatha mengajak keluarga Nia yang menjemputnya juga. Mereka ikut bersama menuju kediaman keluarga Faris mereka pun semua menuju ke kediaman keluarga Pak Septian termasuk Pak Seno juga ikut bersama dengan mereka.
Agatha menyambut menantunya dengan berbagai menu masakan, ia sudah menduga jika pasti seluruh keluarganya juga akan menjemputnya.
Begitu mereka sampai, bibi sudah menyiapkan makan malam istimewa buat mereka. Mereka semua pun makan malam sambil bercanda dan bergembira. Namun, tidak dengan Nia, ia hanya makan dan diam, sesekali hanya melempar senyum pada keluarga yang memberikan senyum padanya. Sementara Faris memilih untuk diam dan terus fokus pada makanannya.
Setelah makan, Dita pun mengajak Nia ke kamarnya yang tak lain juga adalah kamar Faris. Begitu mereka masuk di kamar yang sangat luas, Nia langsung menutup pintunya. Ia langsung memeluk kakaknya dan menangis, Dita hanya membalas pelukan adiknya, ia tahu sejak tadi adiknya itu menahan isak tangisnya.
"Menangislah jika kau ingin menangis, setelah menangis jangan menangis lagi. Ceritakan pada Kakak apa yang terjadi," ucap Dita membuatnya pun menggangguk. Ia mengeluarkan segala rasa sesak di dadanya, sesekali ia pun mulai menceritakan jika Raya istri dari Faris bertemu dengannya di sana, menceritakan apa yang dilihatnya.
"Apa kamu percaya Faris melakukan itu?" tanya Dita membuat Nia pun menggeleng.
"Ya sudah, kan kamu tak percaya, kamu jangan menganggap hal itu benar. Kakak sendiri nggak percaya kalau Faris sampai melakukan hal itu, semua itu pasti terik dari mantan istrinya itu untuk membuatmu cemburu."
"Iya, Kak. Mas Faris sudah mengatakan jika mantan istrinya itu menariknya dan ia tak bisa menguasai dirinya berada di posisi itu. Faris juga terus minta maaf padaku, aku sudah memaafkannya. Namun, tetap saja aku merasa sakit melihat hal itu, aku tak rela."
Mendengar itu, Dita pun tersenyum. "Ya sudah, nggak papa. kamu sudah percaya itu sudah cukup, kamu merasa cemburu itu wajar. Sakit hati itu juga wajar, tapi jangan berlarut dan jangan diamkan suamimu seperti itu, kamu nggak takut jika dia sampai benar-benar kembali pada mantan istrinya," ucap Dita membuat Nia pun menggeleng.
"Aku nggak mau, aku mencintai Mas Faris," lirihnya.
"Jika seperti itu, jangan biarkan siapapun merusak rumah tanggamu, jangan buat jarak diantara kalian. Kakak yakin jika Faris juga sudah mencintaimu, Kakak bisa melihat dari tatapannya. Ya sudah, jangan menangis lagi dan jangan diamkan suamimu, bicarakan dengan baik-baik segala sesuatunya dengan kepala dingin dan cari jalan keluar, bicarakan pada Faris apa yang sebenarnya Raya inginkan, apa yang dibahasnya berdua waktu itu."
Setalah menangis dan bercerita dengan kakaknya membuatnya menjadi sedikit lebih tenang.
"Ya sudah, Kakak pergi dulu ya. ini sudah malam, besok kita ketemu lagi," ucap Dita kemudian ia pun pamit pada adiknya, begitupun dengan kedua orang tuanya.
Rekomemdari dariku, Yuk mampir.
sukses selalu author