dayn seorang anak SMA intorvert yang memiliki pandangan hidup sendiri itu lebih baik daripada berinteraksi dengan orang lain, tapi suatu hari pandangan hidupnya berubah semenjak bertemu dengan seorang gadis yang juga bersekolah di sekolah yang sama, dan disinilah awal mula ceritanya dayn merubah pandangan hidupnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hamdi Kun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa lelah yang tak tertahankan
Langit sore terlihat meredup ketika aku duduk di bangku belakang sekolah. Hening, namun tidak pernah benar-benar tenang. Sekolah sudah sepi, hanya tersisa suara angin yang berhembus pelan, menggerakkan dedaunan. Aku memijat pelipis, mencoba meredakan rasa lelah yang tak kunjung hilang.
Gosip-gosip yang terus bergulir di sekolah semakin membuatku tertekan. Semua mata seolah memandangku sebagai bahan olokan. Tidak ada satu hari pun berlalu tanpa komentar sinis atau tawa mengejek. Aku tahu Rika dan Meira hanya mencoba membantuku, tapi perhatian mereka malah menjadi bahan bakar untuk para perundung. Setiap langkah yang kuambil semakin memperburuk situasi.
Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Aku mengangkat wajah dan melihat Rika serta Meira berdiri tidak jauh dariku. Tatapan mereka penuh kekhawatiran.
“Dayn, kamu di sini lagi?” Rika membuka suara, mendekat perlahan.
“Aku tadi mencarimu ke kelas,” tambah Meira. “Kamu nggak apa-apa? Akhir-akhir ini kamu kelihatan... berbeda.”
Aku menghela napas panjang, menunduk tanpa menjawab. Tapi saat Rika dan Meira semakin mendekat, sesuatu di dalam diriku pecah.
“Kenapa kalian terus mencariku?” suaraku meninggi, membuat mereka terkejut. “Apa kalian nggak sadar kalau semua ini malah memperburuk keadaan?”
Rika memandangku dengan ekspresi bingung. “Dayn, maksudmu apa? Kami hanya ingin membantu—”
“Membantu?” potongku, suaraku mulai bergetar. “Bantuan kalian malah membuat hidupku semakin sulit! Semakin kalian dekat denganku, semakin aku jadi bahan gosip dan ejekan!”
Meira terdiam, mulutnya sedikit terbuka seolah ingin membantah, tapi tidak ada kata yang keluar. Rika, di sisi lain, terlihat terguncang.
“Dayn, aku... aku nggak tahu kalau kamu merasa seperti ini,” ucap Rika pelan. “Tapi aku hanya ingin kamu tahu, aku peduli sama kamu. Aku nggak bisa diam saja melihatmu terus disakiti.”
Aku menggeleng, berdiri dengan tiba-tiba. “Kalau kalian benar-benar peduli, jauhi aku. Biarkan aku sendiri. Aku ingin hidupku kembali tenang!”
Rika mencoba mendekat, ingin menahanku. “Dayn, tunggu—”
“Jangan sentuh aku!” teriakku, membuat Rika terdiam di tempat. “Aku nggak mau bertemu kalian lagi. Minggirlah. Aku cuma ingin hidupku kembali seperti dulu.”
Aku tahu kata-kata itu terlalu keras, tapi pikiranku terlalu kacau untuk berpikir jernih. Tanpa menunggu jawaban, aku berbalik dan berjalan pergi meninggalkan mereka.
Saat langkahku menjauh, aku mendengar suara Rika yang lemah di belakangku. “Dayn... kenapa?”
Aku tidak menoleh. Aku tidak berani.
Rika dan Meira
Rika menatap punggung Dayn yang semakin jauh dengan tatapan penuh rasa sakit. Air mata mulai menggenang di matanya, tapi dia menahan agar tidak jatuh. Meira, yang biasanya terlihat tegar, juga tidak mampu menyembunyikan perasaannya.
“Aku nggak mengerti,” gumam Meira pelan. “Kami hanya ingin membantunya, tapi kenapa dia malah marah seperti itu?”
Rika menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Dayn pasti sangat lelah,” jawabnya dengan suara gemetar. “Semua ini pasti terlalu berat untuknya.”
“Tapi, Rika,” Meira memandang temannya dengan mata berkaca-kaca. “Apa kita salah? Apa kita benar-benar memperburuk hidupnya?”
Rika terdiam sesaat, menatap tanah dengan pandangan kosong. “Aku nggak tahu,” bisiknya. “Tapi aku tahu satu hal... aku nggak akan menyerah. Aku akan terus mencoba membantunya, apapun yang terjadi.”
Meira mengangguk, meski raut wajahnya masih penuh keraguan. Dalam hati, mereka tahu Dayn tidak sepenuhnya menyalahkan mereka, tapi mendengar kalimat seperti itu dari orang yang mereka pedulikan membuat hati mereka hancur.
Dayn
Aku berjalan tanpa tujuan, hanya mengikuti langkah kakiku yang berat. Saat aku sudah cukup jauh dari sekolah, aku berhenti di sebuah taman kecil dan duduk di bangku kosong. Angin sore terasa dingin, menusuk kulitku.
Di dalam hati, aku merasa bersalah. Aku tahu ini bukan salah Rika dan Meira. Mereka hanya ingin membantuku, dan aku tahu itu. Tapi rasa lelah yang menumpuk selama ini akhirnya membuatku tidak bisa menahan diri.
“Kenapa harus seperti ini?” gumamku pelan, menatap langit yang mulai gelap.
Aku ingin hidup tenang. Tapi setiap kali aku mencoba, sesuatu selalu terjadi untuk menarikku kembali ke dalam kekacauan ini.
Sambil memejamkan mata, aku mencoba menenangkan pikiranku. Aku tahu aku harus meminta maaf pada mereka. Tapi tidak sekarang. Tidak sebelum aku menemukan cara untuk menyelesaikan masalah ini tanpa melibatkan mereka.
Dengan pikiran itu, aku bangkit dari bangku dan mulai berjalan pulang, berharap hari esok akan memberiku kekuatan untuk menghadapi semua ini.
Episode 22 Bersambung....