NovelToon NovelToon
TARGET OPERASI

TARGET OPERASI

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Mata-mata/Agen / Keluarga / Persahabatan / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Seraphine E

Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?

Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16 : Pahlawan Informasi

Rosa berdiri dengan napas tersengal, matanya memerah dan berlinangan air mata. Suaranya meninggi, mencampur amarah dengan kepedihan yang mendalam. "Berapa uang yang kalian perlukan?! Berapa banyak?! Katakan!" Rosa memekik, menatap Gunawan dengan pandangan liar. "Kalau uang bisa menyelesaikan semuanya, kalau uang bisa membuat Jessica hidup kembali, saya akan bayar! Berapa pun jumlahnya! Katakan, Komandan! Katakan!"

Gunawan tidak bereaksi. Wajahnya tetap tenang, tetapi ada bayangan rasa bersalah di matanya. Dia membiarkan Rosa meluapkan emosinya, meskipun setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti pisau yang menusuk hatinya.

"Apa artinya uangmu sekarang, hah?!" Rosa melanjutkan, suaranya histeris dan patah-patah. "Kalian semua menjual nyawa untuk uang! Tapi sekarang Jessica sudah mati! MATI!"

Air mata terus mengalir di pipinya, sementara tubuhnya gemetar hebat. Rini, yang berdiri tak jauh, mencoba mendekat untuk menenangkannya, tapi Rosa mengibaskan tangan, menolak semua upaya itu.

"Jangan sentuh saya!" serunya, memelototi Rini. "Saya tidak mau berurusan dengan polisi hina seperti kalian! Kalian semua sama saja! Tidak ada yang peduli dengan keadilan, tidak ada yang peduli dengan nyawa Jessica! Pergi! Jangan mendekat!"

Gunawan mengangkat tangannya, memberi isyarat pada Rini dan Arga untuk menjauh. "Sudah," katanya pelan. "Biarkan dia. Jangan memaksa."

Namun, Rini tidak menyerah begitu saja. "Rosa, dengarkan kami—"

"TIDAK!" Rosa berteriak. "Saya tidak ingin mendengar apa pun dari kalian. Jessica mati karena sistem kalian yang busuk! Karena kalian semua diam saja saat kebenaran diinjak-injak!"

Arga, yang biasanya penuh semangat, hanya berdiri diam. Ucapan Rosa membakar dirinya, membangkitkan perasaan bersalah yang tidak bisa ia bantah. Dalam hati, dia tahu Rosa benar. Tapi sekarang, dia tidak tahu bagaimana cara memperbaikinya.

Gunawan menghela napas panjang. "Sudah cukup," katanya tegas, tetapi dengan nada yang lebih lembut. "Rini, Arga, kembali ke kendaraan. Kita beri Rosa waktu. Ini bukan tempat untuk memaksakan apa pun."

Arga ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. Rini, dengan berat hati, melangkah mundur. Rosa tetap berdiri di tempatnya, menatap mereka dengan kebencian yang membara.

Saat para polisi mulai pergi, Rosa berbisik dengan suara rendah tetapi penuh kemarahan, "Jangan pernah berpikir saya akan berhenti. Saya akan memastikan kalian semua mendapat balasan atas apa yang terjadi."

Gunawan hanya berhenti sejenak, lalu kembali berjalan. Rasa bersalah yang menghantui mereka semua menjadi beban yang harus mereka pikul, entah mereka siap atau tidak.

...****************...

Suasana di dalam mobil mencekam. Tak ada satu pun yang bersuara. Kata-kata Rosa masih terngiang di kepala mereka seperti gema di lorong gelap, meninggalkan rasa bersalah dan kemarahan yang bercampur aduk. Arga menggenggam erat lututnya, sementara Rini hanya menatap lurus ke depan, matanya kosong. Bahkan Rahmat, yang biasanya penuh canda, kali ini memilih diam.

Dari tempatnya di kursi depan, Gunawan menghela napas panjang. Suara napasnya terdengar berat, seperti menanggung beban seluruh dunia di pundaknya. “Kalian dengar, kan, apa yang dia bilang?” tanyanya pelan, tetapi tegas.

Tak ada yang menjawab.

“Rosa punya alasan untuk marah,” lanjutnya. “Tapi ini juga pengingat buat kita. Kalau kita biarkan kasus ini lepas kendali, kita sama saja menyerahkan keadilan ke tangan orang-orang yang salah.”

Arga mendongak, menatap Gunawan melalui kaca spion dengan mata penuh tekad. “Pak, apa yang harus kita lakukan?”

Gunawan menoleh sedikit, menatap anak buahnya satu per satu. “Kumpulkan semua bukti. Dari yang terkecil sampai yang paling signifikan. Barang-barang Jessica, hasil visum, bahkan video rekaman CCTV di apartemen. Kita harus pastikan semuanya diamankan sebelum ada yang coba menghilangkan atau memanipulasinya.”

Rahmat akhirnya membuka mulut. “Pak, apa ini berarti kita bergerak di bawah radar?”

Gunawan tersenyum tipis, tetapi tidak ada keriangan di wajahnya. “Kalian tahu siapa kita. Tim kecil ini mungkin bukan yang paling berkuasa, tapi kita punya satu hal yang mereka tidak punya: hati nurani.”

Semua orang mengangguk serempak, perasaan lelah mereka kini tergantikan oleh semangat baru.

Gunawan melanjutkan, suaranya lebih rendah tetapi tegas. "Cepat atau lambat, pihak atas akan melimpahkan kasus ini ke tim lain. Tim yang bisa mereka kontrol. Tapi selama kita masih punya akses ke barang bukti, kita bisa melawan. Tidak peduli seberapa kecil peluangnya.”

“Siap, Pak,” jawab Rini, Rahmat, Dedi, dan Arga hampir bersamaan.

Gunawan tersenyum kecil, tetapi matanya masih memancarkan rasa khawatir. “Kalian harus siap. Ini bukan cuma soal menangkap pelaku. Ini soal melawan sistem yang sudah membusuk. Dan itu lebih sulit dari apa pun yang pernah kalian bayangkan.”

Mobil kembali sunyi. Namun kali ini, keheningan mereka bukan karena ketakutan atau rasa bersalah, melainkan karena tekad yang membara. Di balik wajah-wajah letih mereka, masing-masing berjanji dalam hati untuk tidak menyerah, apa pun yang terjadi.

...****************...

Manda berdiri di tengah kerumunan reporter yang berebut tempat strategis di depan pintu masuk Mabes Polri. Mikrofon saling adu benturan, dan suara pertanyaan bertubi-tubi menyerbu para polisi yang mencoba menenangkan massa. Tapi Manda? Dia hanya mengamati dengan senyum tipis penuh arti, seperti seorang detektif yang tahu persis di mana targetnya.

Mata elangnya langsung menangkap sosok Gunawan yang baru saja turun dari mobil bersama timnya. Langkah mereka cepat, wajah mereka serius—mungkin terlalu serius untuk tidak dicurigai. Itu cukup membuat insting jurnalis Manda menyala. Dia menyikut kameramennya, Reza, yang sedang sibuk mengatur fokus.

"Reza, buruan siapin kameranya! Kita ikuti mereka."

“Loh, tapi yang diwawancarain bukan mereka, Mand? Itu tuh Kombes Andika lagi diwawancarain di depan,” jawab Reza sambil menunjuk polisi berpangkat tinggi yang dikerubungi wartawan lain.

Manda memutar bola matanya. “Reza, kalau kamu percaya setiap kata orang berpangkat tinggi, nanti kita malah bikin berita fiksi. Yang itu pasti lagi ngejual jawaban template, biar aman. Fokus ke yang lebih menarik, oke?”

Reza menghela napas, tapi dia sudah tahu lebih baik daripada mendebat. Dengan langkah mengendap-endap yang entah kenapa lebih mirip pencuri sandal daripada jurnalis, mereka mengikuti Gunawan dari jarak aman.

Gunawan dan timnya bergerak menuju lift khusus di belakang gedung. Manda menyeringai puas. "Lihat kan? Mereka pasti lagi bawa sesuatu yang besar," bisiknya sambil menarik Reza lebih dekat.

Begitu Gunawan dan tim masuk lift, Manda menoleh ke Reza dengan tatapan penuh arti. “Ayo, kita ambil lift lain. Buru-buru, nanti keburu hilang jejak!”

Reza, yang sedang mengatur tali kamera, terbirit-birit mengejar langkah Manda. Tapi saat mereka sampai di lift lain, mereka terlambat—angka di panel lift sudah menunjukkan lantai yang terus naik.

“Ya, Manda, telat! Udah, yuk balik ke kerumunan,” kata Reza dengan nada putus asa.

Manda menggeleng cepat, matanya menyala seperti orang yang baru menemukan tiket konser gratis. “Enggak ada yang telat, Reza. Wartawan itu harus nekat.” Dia memindai ruangan dengan cepat. “Tuh, ada tangga darurat! Ayo, Reza, kita kejar!”

“MAND! Itu lantai empat belas! Kita bukan atlet, tahu!” Reza hampir menangis.

“Kalau kamu ngeluh lagi, aku wawancara sendiri pakai kamera HP!” ancam Manda sambil sudah duluan membuka pintu tangga darurat.

Reza tak punya pilihan selain menyeret dirinya dengan terpaksa menaiki tangga sambil mengomel pelan tentang betapa tidak manusiawinya bosnya ini.

Setibanya di lantai empat belas, Manda membuka pintu dengan pelan, memastikan tidak ada orang yang melihat. “Oke, kita harus pelan-pelan. Kalau ketahuan, bisa diusir!”

“Pelan-pelan apanya? Napas aku aja udah kayak setengah nyawa,” keluh Reza yang hampir tergeletak di lantai.

Manda menajamkan pendengarannya, mendengar suara langkah kaki Gunawan yang semakin menjauh. Dia memberi isyarat kepada Reza untuk mengikutinya.

Namun saat mereka menyelinap lebih jauh, tiba-tiba pintu di depan terbuka lebar. Gunawan berdiri di sana, menatap mereka dengan ekspresi datar bercampur heran. “Kalian berdua, lagi ngapain di sini?”

Manda kaku sejenak, tapi insting cepatnya menyelamatkan situasi. “Eh, kami cuma… eh… tes akustik lantai empat belas buat liputan!”

Gunawan menaikkan alis. “Tes akustik sambil bawa kamera full set?”

Reza mencoba menyelamatkan diri. “I-itu biar realistis, Pak. Harus setting suasana autentik.”

Gunawan hanya menghela napas panjang, matanya beralih pada Manda. “Kalau kalian mau tahu soal Jessica dan Ivan, jangan lewat jalan tikus seperti ini. Wartawan harus punya martabat.”

Manda tersenyum canggung, tapi tatapan matanya penuh tekad. "Pak, kami bukan cuma mau martabat. Kami mau kebenaran."

Gunawan menatapnya lama, lalu akhirnya mengangguk kecil sebelum melangkah pergi. “Kalau mau kebenaran, siap-siap bayar harganya,” ucapnya sebelum menghilang di balik lorong.

Manda tersenyum kecil. “Reza, aku rasa kita dapat bahan berita bagus.”

Reza, yang masih ngos-ngosan, hanya bisa menatapnya penuh lelah. “Kalau aku pingsan nanti, bilangin mamaku aku meninggal sebagai pahlawan informasi.”

...****************...

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!