Karina kembali membina rumah tangga setelah empat tahun bercerai. Ia mendapatkan seorang suami yang benar-benar mencintai dan menyayanginya.
Namun, enam bulan setelah menikah dengan Nino, Karina belum juga disentuh oleh sang suami. Karina mulai bertanya-tanya, apa yang terjadi pada suaminya dan mulai mencari tahu.
Hingga suatu hari, ia mendapati penyebab yang sebenarnya tentang perceraiannya dengan sang mantan suami. Apakah Karina akan bertahan dengan Nino? Atau ia akan mengalami pahitnya perceraian untuk kedua kalinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fahyana Dea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa takut Nino
Suara merdu dari seorang penyanyi wanita memenuhi ruangan kafe bernuansa vintage sore itu. Suara dari penyanyi lawas itu membuat Nino bernostalgia ke masa saat dirinya masih kecil. Suasana klasik dengan dinding yang dihiasi panel kayu dan barang-barang antik yang terpajang di sana membuat atmosfer timeless-nya semakin terasa.
Nino duduk di dekat jendela yang menghadap langsung ke jalanan. Ia bisa melihat orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar dan laju mobil yang tersendat di depan sana.
Nino sudah mengatakan pada Karina jika tidak bisa menjemputnya pulang karena ada urusan. Ia tidak mengatakan akan bertemu dengan Amira pada wanita itu.
Tak lama kemudian, seseorang berjalan dari arah barat. Nino bisa melihatnya menuju ke kafe itu. Rambut panjang bergelombangnya ikut bergerak saat melangkah. Dia mengingatkan Nino pada seseorang yang sudah lama pergi dari hidupnya.
Wanita itu tersenyum begitu masuk ke kafe dan menemukan tempat duduk Nino yang tidak jauh dari pintu masuk.
"Udah lama?" tanya Amira sambil menarik kursi dan duduk di depan Nino.
"Belum, aku juga baru datang. Mbak mau pesen apa?"
"Ice coffee aja."
Nino memanggil waiter dan menyebutkan pesanannya.
"Kenapa gak datang sama istri kamu? Mbak kan pengen ketemu," ujar Amira setelah Nino memesan minuman mereka.
"Dia kerja, Mbak. Sekarang belum pulang. Mungkin lain kali aku ajak dia buat ketemu sama Mbak."
Hening sejenak.
"Jadi … gimana keadaan kamu sekarang?" Saat Nino akan berbicara, Amira menyela, "Jangan bicarakan detailnya, ini bukan tempat yang tepat."
Nino memaksakan seulas senyum. "Semakin sulit, Mbak. Aku gak tahu kalau dampaknya akan terasa saat aku menikah sekarang."
Amira mengangguk pelan. "Kadang ada hal-hal yang kita pikir akan hilang seiring waktu, tapi ternyata malah terpendam dan muncul di saat-saat tertentu. Kamu merasa ini memengaruhi hubunganmu dengan Karina?"
Nino mengangguk ragu. "Aku gak tahu harus bagaimana. Aku takut dia gak akan bisa menerima aku kalau dia tahu semuanya."
Amira mencondongkan tubuh sedikit ke depan, menjaga suaranya tetap tenang. "Nino, Mbak tahu kamu merasa ini berat. Tapi, kamu gak bisa terus menyimpan semuanya sendiri. Dalam hubungan pernikahan, pasanganmu adalah orang terdekat yang bisa jadi pendukung terbesar kamu."
Nino menunduk, suaranya hampir berbisik. "Aku takut dia ninggalin aku, Mbak."
Amira menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Takut itu wajar, Nino. Tapi, semakin kamu menyembunyikannya, semakin besar risiko masalah ini memengaruhi hubungan kalian. Kalau Karina tahu, dia punya kesempatan untuk memahami kamu dan mendukung proses pemulihan kamu. Tapi kalau kamu terus menyimpan ini, dia gak akan punya kesempatan itu."
Nino tetap diam, memandangi meja. "Apa gak ada cara lain selain terapi, Mbak? Atau mungkin pakai obat-obatan aja?"
Amira menggeleng pelan. "Nino, obat-obatan hanya membantu meredakan gejala sementara, dan itu pun harus di bawah pengawasan dokter. Kalau kita bicara soal penyembuhan jangka panjang, terapi adalah jalan terbaik. Kamu butuh menghadapi sumber masalahnya, bukan sekadar meredamnya."
Nino mendongak, menatap Amira dengan ragu. "Tapi Mbak tahu sendiri, aku gak siap untuk terapi. Dan aku juga gak siap cerita ke Karina."
Amira menatapnya dengan lembut, tetapi tegas. "Nino, Mbak bukan cuma bilang ini sebagai psikiater. Mbak kenal kamu, dan Mbak tahu kamu kuat. Kamu mungkin belum siap sekarang, tapi kamu bisa memulai langkah kecil. Misalnya, bicara pada Karina tentang apa yang kamu rasakan, bahkan kalau itu belum semuanya. Biarkan dia tahu bahwa kamu butuh dukungannya. Itu langkah pertama yang penting."
Nino menggigit bibir, tampak ragu. "Aku cuma gak mau dia kecewa, Mbak. Dia orang baik. Aku takut dia akan merasa aku udah bohongin dia selama ini."
Amira mengulurkan tangan, menyentuh punggung tangan Nino dengan lembut. "Kamu bukan menipu, Nino. Kamu sedang berjuang. Dan orang yang mencintai kamu pasti akan menghargai kejujuran kamu. Lagipula, bukankah Karina selalu bilang dia akan ada buat kamu?"
Nino termenung. Kata-kata Amira menyeruak ke dalam pikirannya. Di tengah ketakutannya, ia tahu bahwa apa yang dikatakan Amira benar.
***
Nino sampai ke rumah ketika sudah pukul sembilan malam. Ia masih merasakan cemas karena efek menceritakan kejadian yang sering ia alami akhir-akhir ini. Setelah dari kafe tadi, Nino pergi ke tempat praktek Amira dan mengatakan sebagian apa yang dialaminya.
Nino duduk di sofa, lalu menengadah seraya memejamkan mata.
"Kenapa jam segini baru pulang, Mas?" tanya Karina. Suaranya terdengar ketus dan tidak seperti biasanya.
Nino membuka mata dan menoleh ke arah wanita yang bersandar di dinding sambil melipat tangan di dada.
"Aku kan udah bilang ada urusan dulu tadi."
"Urusan ketemu cewek?" tanyanya tajam.
Nino menegakkan tubuhnya. "Maksud kamu?"
Karina berjalan menghampiri Nino. "Kamu pikir aku gak tahu kamu ketemu siapa?"
Nino diam dengan tetap menatap Karina.
"Kamu ketemu siapa, Mas?"
"Karin, aku lagi gak mau berdebat sekarang." Nino beranjak dari duduknya.
"Aku cuma tanya itu siapa, Mas. Itu bukan perkara yang sulit untuk kamu jawab, kan?"
"Itu bukan siapa-siapa."
"Bukan siapa-siapa tapi kenapa harus sambil pegangan tangan segala?"
Nino membuang napas berat. Ia tidak tahu jika Karina melihatnya bertemu dengan Amira tadi.
"Kamu tahu kan kenapa aku sampai bercerai sama Mas Hardi?"
"Karin—-"
"Kamu harusnya tahu dan gak mengulangi kesalahan yang sama kayak dia!" Karina tidak memberikan kesempatan pada Nino untuk bicara.
"Karin—-"
"Apa kamu—-"
"Karina!!" Nino terpaksa harus membentak Karina agar dia diam. Wanita itu sampai terkejut dan memejamkan mata mendengar suara suaminya. "Kasih kesempatan aku untuk bicara!" Napasnya sedikit tersengal karena emosi yang sudah memuncak. "Kamu jangan bikin aku marah, Karin!"
Mata Karina berkaca-kaca. Sepulang dari bekerja tadi, ia melihat Nino di sebuah kafe bersama seorang wanita. Mereka terlihat sudah akrab dan Karina melihat wanita itu menggenggam tangan Nino.
Ia bukan hanya teringatkan masa lalu, tetapi ia juga berpikir apa semuanya akan berakhir sama seperti dulu? Ia kembali merasakan sakit hati yang sudah lama hilang. Terasa luka itu kembali menganga. Perih. Rasanya sangat perih.
"Asal kamu tahu, aku gak pernah sedikit pun berniat selingkuh. Kamu jangan asal nuduh, Karin. Kamu jangan samakan aku dengan mantan suami kamu!" Suara Nino tertahan. Ia berusaha untuk menahan amarahnya.
"Kamu masih mau menyangkal setelah buktinya senyata itu, Mas? Aku lihat ka—-"
"Dia psikiater, Karina! Dia yang menangani masalah kejiwaan aku selama ini." Nino kembali meninggikan suaranya.
Karina yang mendengar kenyataan itu tertegun seakan tidak percaya. Seluruh tubuhnya melemas, tenaganya hilang seketika.
"Psi-psikiater?" gumam Karina.
Nino merasa frustrasi. Sekarang, ia tidak bisa lagi menyembunyikan semuanya.
"Aku punya trauma dan selama ini aku sembunyikan dari kamu," ungkap Nino dengan susah payah.
Karina menatap Nino dengan perasaan campur aduk. Air matanya jatuh tidak terasa. Berarti semua dugaannya selama ini benar? Tentang buku yang ia temukan di ruang baca, tentang obat yang dikonsumsinya kemarin, apa itu saling berkaitan?
"Kenapa, Mas?" Suara Karina bergetar. Dari sekian banyak pertanyaan, hanya 'kenapa' yang mampu ia katakan. "Kenapa kamu sembunyikan semuanya dari aku?"
Nino tidak menjawab. Ia menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan emosinya.
"Apa kamu gak percaya sama aku, Mas? Selama ini kamu anggap aku apa?" Karina merasa jadi orang bodoh selama ini. Tidak tahu apa-apa tentang suaminya sendiri.
"Karena aku takut, Karin." Nino menimpal dengan perasaan pahit di hatinya. "Aku takut kamu gak menerima semua kekurangan yang aku miliki. Sejak malam pertama kita saat itu, aku merasa bersalah dan membuat ketakutan itu semakin besar."
"Aku udah bilang sama kamu kalau aku akan terima apa pun keadaan kamu, Mas." Air mata Karina tidak berhenti mengalir. "Aku udah menduga kalau ada sesuatu yang gak beres sama kamu."
Nino duduk seraya memegangi kepalanya yang mulai terasa pusing.
"Aku gak akan ninggalin kamu apalagi dalam keadaan seperti ini, Mas. Karena aku sayang sama kamu."
Karina menghampiri Nino yang duduk dengan perasaan tidak nyaman dan napas tidak teratur. Karina berlutut, ia menangkup wajah suaminya, mengarahkan tatapan pria itu padanya.
"Aku akan selalu ada buat kamu." Suara Karina hampir berbisik. Karina merasa bersalah karena sudah menuduh yang tidak-tidak. “Maafin aku, Mas.”
Nino tidak bisa lagi menahan rasa harunya. Ia memeluk Karina dengan erat. Menangis dalam pelukannya, melepaskan beban yang selama ini sempat tertahan.