Singgasanaku dibuat dari indung mutiara yang dibentuk menyerupai jalinan akar pohon.
Aku menyebutnya rumah, yang lain mengatakan ini penjara. Walau demikian penjaraku dibuat seindah tempat tinggal para dewa, mungkin karena ibu berharap putranya adalah dewa dan bukannya iblis.
Tidak ada pilar atau ruangan-ruangan lain. Hanya ada pohon tunggal yang tumbuh kokoh di halaman singgasanaku. Pohon yang menjadi sumber kehidupanku, kini semakin kehilangan kecemerlangannya. Saat pohon itu meredup lalu padam, aku juga akan sirna.
Sebelum aku menghilang dan dilupakan, akan kuceritakan masa singkat petualanganku sebagai iblis yang menyamar jadi manusia atau barangkali iblis yang berusaha menjadi dewa hingga aku berakhir didalam penjara ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Author GG, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Amarah Hantu
Jauh disana ada seseorang yang selalu memperingatkan tentang batasanku. Belakangan bahkan dia terlalu cerewet. Sebagai saudara kami tentulah saling terhubung, dia pasti merasakan eksistensiku kian hari semakin nyata.
Memang benar berurusan dengan banyak manusia akan membuat jiwaku semakin bersinar dan kuat. Siapapun yang mengenalku telah berperan menyumbangkan flower spirit. Aku telah banyak mereguk eliksir kehidupan yang mengalir di pohonku. Murni, cemerlang dan semanis madu.
Konon warnanya menunjukan sebagaimana perbuatan kita. Terang atau gelap. Aku memang tidak pernah berpikir menggunakan cara kotor dengan membuat keributan disana sini untuk menjadikanku terkenal. Itu bukan gayaku. Jadi untuk masalah kali ini apa kekhilafanku?
Orang yang sepertinya pemimpin dari mereka mengeluarkan gulungan dari balik bajunya lalu direntangkan di depannya.
"Apa itu daftar tagihan?"
Mereka mengabaikan pertanyaan Niken. Dilihat dari caranya mengamati selebaran itu, sepertinya mereka sedang mencocokkan apa yang terlihat di atas kertas dengan kami.
"Bagaimana kakak?"
"Gambarnya tidak jelas."
Lalu mereka saling mengoper selebaran itu, sebagian menggelengkan kepala lainnya mengerutkan kening.
Salah satu dari mereka berbisik. "Kenapa Tuan itu tidak membayar ahli lukis saja daripada menggambarnya sendiri, menyusahkan saja."
"Huss, jangan bilang begitu, bagaimana pun orang itu membayar kita dengan mahal."
Aku berdehem membuat bisik-bisik mereka berhenti. "Mungkin kami bisa membantu tuan-tuan?"
Mereka menatap kami curiga dan si pemimpin menatap mataku dengan serius. Dengan cepat dia menggulung kembali selebaran itu dan memberi isyarat maju kepada rekannya yang berjumlah empat orang.
"Eh, tunggu jangan marah! Aku hanya ingin membantu. Bukankah tuan-tuan sekalian sedang mencari seseorang?"
Baik si pemimpin maupun keempat orang lainnya tidak menggubrisku.
"Kalian ini memang tidak masuk akal. Kalian mencari anggota Phoenix dan kamilah anggota Phoenix tapi kalian malah menyusahkan diri sendiri."
"Dia terlalu banyak bicara. Mari kita selesaikan dengan cepat dan bawa orang ini sebagai sandra, si hantu Gilda itu pasti akan datang untuk membebaskannya."
"Tunggu, kau bilang hantu Gilda? Kenapa tidak bilang saja dari tadi."
Aku dan Niken bertukar pandang sejenak. Mereka mencariku dan Niken tahu siapa orang yang mereka cari. Anak perempuan itu berkata, "Memangnya apa imbalan yang bisa kami dapatkan kalau bisa membawa hantu itu kesini?"
"Kami akan membiarkan kalian pergi dengan utuh."
Niken mengerutkan kening, "Aih, cuma itu saja? Itu namanya tidak adil, bagaimana kalau kita bagi hasil, tuan-tuan pasti dapat uang banyak dari orang yang mempekerjakan tuan-tuan penjahat ini, kan? Oke, deal, ayo gege."
Niken meraih lenganku dan baru satu langkah, pedang-pedang sudah terhunus kearah kami.
"Mau kemana kalian?"
"Me... memanggil hantu," ucap Niken terbata. Aku meremas lengannya, mencoba mengatakan bahwa aku ada bersamanya.
"Kau sedang membodohi kami, ya?"
"Ma... mana berani," Niken mencicit, walau begitu aku ingin memuji keberaniannya. Dengan pedang terhunus di lehernya dia masih bisa menimpali perkataan mereka. "Tuan-tuan adalah kelompok penjahat bayaran terkeren yang berusaha mengejar hantu. Itu unik sekali!”
"Salah satu dari kalian harus tinggal disini, dan siapapun yang pergi dan tidak kembali dengan hantu itu, maka terpaksa kami akan menjadikannya tamu kehormatan dimarkas kami. Silahkan putuskan siapa yang akan pergi memanggilnya."
"Sebaiknya anak perempuan ini yang memanggilnya, tuan hantu tidak suka di ganggu sesama pria. Biar aku disini bersama kalian. Nah, bisa singkirkan itu darinya?"
Orang yang menghunuskan pedang pada Niken, menurunkan lengannya. Niken terlihat sedikit lebih rileks.
"Mengenai hantu, itu persoalan mudah." Aku mengangkat kedua tangan, menandakan tidak akan adanya perlawanan. Mereka terus mengawasiku, mewaspadai setiap gerakan yang tiba-tiba. Perlahan dan hati-hati kujauhkan mata pedang yang mengarah ke leherku dengan telunjuk.
"Apa sebaiknya kita duduk-duduk dulu di kedai teh, barangkali?"
Mereka menatap satu sama lain dengan bingung, salah satu mereka berkata, "Teh? Apa kami terlihat seperti orang yang mau menikmati teh?!"
"Bukankah lebih baik daripada terus berdiri dipanggang matahari? Yah, bagaimana juga kami tidak bisa menjamu kalian di dalam Gilda Phoenix."
Tiba-tiba si pemimpin tertawa terbahak-bahak.
"Akhirnya aku melihat wujud hantu itu," dia berhenti sejenak dan menatapku. "Aku nyaris melupakan satu petunjuk penting mengenai si hantu. Kau memang orangnya, bocah pembual dan banyak bicara."
"Eh!"
Dalam waktu singkat disekitar kami telah terjadi kekacauan. Para pengunjung pasar menyelamatkan diri begitu pertarungan pecah. Sebagian para pedagang berusaha menyelamatkan harta bendanya dengan meraup dan mengumpulkannya di pelukan, namun tidak begitu banyak yang tersisa. Sebagian yang paling dekat telah berserakan dan hancur akibat serangan yang membabi buta.
"Aku tidak pernah suka berurusan dengan para pria, mereka tidak akan mempan hanya dengan beberapa gebrakan puisiku."
Aku berlagak menyentil kotoran yang tidak nampak di pakaianku dan akibat tindakanku itu penyerang pertama kembali datang, mengayunkan pedang.
"Bocah tengil!"
Aku tidak punya pedang, tapi aku sudah mempersenjatai diri dengan kemoceng bulu ayam untuk menyambut serangan itu. Satu persatu mereka melompat kearahku, ketika yang satu mundur, yang berikutnya maju. Awalnya kukira situasi ini mirip seperti para pemabuk yang memasuki Gilda malam itu, tapi rupanya orang-orang ini bukan orang biasa. Mereka bertarung dengan gerakan terlatih.
Niken sudah sembunyi dan mengintip dibalik keranjang anyaman buah. Tapi dia malah keluar begitu si pepimpin tidak sengaja menjatuhkan gulungannya dan anak itu malah memungutnya.
"Ah, aku mendapatkannya, gege!"
Aku tidak akan mengucapkan selamat atas tindakannya yang gegabah. Lagi pula benda itu tidak penting.
"Wah gambarnya benar-benar jelek sekali. Gege...!"
Jeritan itu memecah konsentrasiku. Salah satu dari mereka telah menangkapnya.
"Niken!"
Tangan kasar pria itu mencengkram kedua lengannya dan menguncinya ke belakang, ketika Niken berontak pria itu tidak segan menarik dan menyeretnya dengan kasar.
"Singkirkan tangan kotormu itu darinya, sialan!"
Aku mencoba mengejarnya, tetapi aku terlambat menyadari bahaya yang juga mengintai dari sisi yang lain. Sebuah hantaman telak mengenai belakang kepalaku membuatku terhuyung.
Aku berbalik dan melihat orang itu mencoba kembali menghajarku, aku merunduk dan menendang ke arah kakinya untuk membuatnya hilang keseimbangan. Namun dia melompat dan berhasil menghindar dan mendaratkan pukulan di pelipisku.
Aku kembali terhuyung, kali ini aku kalah telak. Rasa sakit meledak di kepalaku, penglihatanku berkunang-kunang. Dia memanfaatkan kesempatan ini untuk melumpuhkanku sepenuhnya. Dia menendang lututku hingga aku ambruk dan terjatuh menghantam tanah, menimbulkan sengatan rasa sakit yang baru di bagian sisi tubuhku. Kudengar Niken memanggilku sambil menangis.
"Ayo tunjukan kemampuanmu, Tuan Hantu!"
"Cukup, kita hanya perlu membawanya hidup-hidup."
Ada tangan-tangan yang meraihku sebelum menjatuhkanku kembali. Seseorang telah mendarat tidak jauh dariku, orang ini yang telah mengambil perhatian mereka.
"Semoga aku kagak begitu terlambat."
Yang datang berbicara adalah Erlang, anggota yang cukup baru di Gilda Phoenix. Orang ini yang selalu di buntuti Faradisa, aku langsung mengenalinya.
"Sudah beberapa hari mereka berkeliaran disekitar Gilda Phoenix seperti semut hitam yang mengincar remahan roti. Oleh karena itu aku telah memberitahu ketua untuk melarang siapapun pergi ke luar."
Dia berdiri dengan memanggul dao nya di pundak. Pedang mata satu miliknya tidak besar, namun kepercayaan dirinya membuat para penjahat bayaran itu menguatkan genggaman di pedangnya masing-masing. Dalam waktu berdekatan desing pedang telah memenuhi udara, logam beradu logam. Pedang berkilat silih berganti. Erlang menangkis serangan mereka dengan gerakan cepat dan terampil.
Disisi lain aku melihat Niken mengambil kesempatan atas kelengahan si penyandranya. Anak perempuan itu mengentakkan tumit ke jari kaki si penjahat, menghantamkan sikut ke rusuknya, hingga akhirnya genggaman si penyandra melonggar.
Niken berlari ke arahku, dibelakangnya pria itu mengejar dengan kaki terpincang-pincang. Kuraih kemoceng bulu ayam yang terjatuh di dekatku, bidikanku jitu, menghantam wajahnya. Aku berdiri sambil memegangi kepalaku yang masih berdenyut.
Aku menyambut Niken yang terisak, dia tiba-tiba melingkarkan lengannya ke pinggangku.
"Aku minta maap telah membawamu pada situasi ini." Aku berbisik dirambutnya. Niken melepaskan pelukannya, gulungan itu masih dia genggam. Aku memintanya tanpa suara dan dia mengerti.
Erlang mengintip kertas yang sedang kupegangi, napasnya terengah tapi dia tetap waspada dengan dao diarahkan ke depan.
"Sepertinya itu mirip kau."
"Aku tidak sejelek ini, menurutku ini sama sekali tidak mirip denganku." Aku menutup selebaran itu menjadi satu lipatan. "Ayo kita selesaikan ini! Maaf membuatmu menunggu."
"Kau yakin?"
"Apa aku kelihatan sepayah itu?"
Aku meminta Niken mundur dan dia langsung mematuhiku. "Siap?" aku bertanya pada Erlang, dan dia menjawab. "Gas!"
Pertarungan kembali pecah, tidak masalah bagiku bertarung dengan tangan kosong tapi beberapa saat berikutnya rekanku berhasil melucuti salah satu dari mereka. Pedangnya terlempar dan Erlang sigap menangkapnya.
"Bro!"
Aku menoleh dan dia melempar pedang itu kepadaku yang langsung kutangkap. "Biar kutunjukan bagaimana caranya menggunakan pedang sesungguhnya."
Meski kami belum pernah berlatih bersama, kami bisa bergerak dalam satu kesatuan. Dua pedang jelas membuat posisi kami unggul dibanding sebelumnya. Kepercayaan diri rekanku terlihat berlipat dan dengan pedang di tanganku jangan harap mereka bisa lolos begitu saja.
Dua dari mereka berhasil kujatuhkan, dua lainnya berusaha menjatuhkan rekanku Erlang. Si pemimpin tampak murka, dengan wajah menahan amarah dia langsung menyasarku.
"Sepertinya kau tidak pernah dengar nasihat ini. Amarah yang terlampau besar seperti lumpur yang mencemari air bersih. Kau menyerang secara membabi buta, tekhnik yang bagus sekalipun bisa kalah karena salah perhitungan."
Aku berhasil membekuknya, kulempar tubuhnya ke depan hingga menghantam tanah. Pedangnya telah terlepas dan dia berusaha meraihnya tapi lebih dulu kutendang. Kuhunus pedang di bawah dagunya.
"Ini bayaran karena satu dari kalian telah berani menyentuhnya!"
Aku mengangkat pedangku dan si pemimpin memandangku ngeri, melihat getaran amarah di mataku. Dia tahu apa yang bisa kulakukan pada saat itu juga. Dia melolong membuat dua rekan lainnya lengah dan berhasil di robohkan Erlang.
Aku memutar pedangku hingga menebas udara kosong. Si pemimpin terperanjat.
"Sial! Cepat enyahlah dari hadapanku sebelum aku berubah pikiran."
Dia terburu-buru mundur, bangkit dan pergi, yang lainnya mengikuti jejaknya setelah memunguti senjatanya dengan gusar.
"Jangan coba-coba mendekati Gilda Phoenix lagi."
"Nah," kulempar pedang yang tadi kugunakan. "Jangan sampai ketinggalan."
Berdiri disampingku Erlang telah menyampirkan dao dipundaknya, sepertinya itu gaya andalannya.
"Aku Erlang," katanya, mulai pembicaraan begitu punggung para penjahat itu sudah tidak terlihat lagi. "Kita dalam satu Gilda hanya ada beberapa pria disana dan kau yang mana?"
Dia melirik kartu pengenal Niken yang menggantung di angkinku. "Niken?"
"Aku yang Niken, nah gege." Niken melesakkan pengenal milikku ketanganku.
"Dewandaru," kataku.
"Rupanya aku sedang menghadapi dua petinggi Gilda Phoenix."
masih nyimak