Hidup Nicho Javariel benar-benar berubah dalam sekejap. Ketenaran dan kekayaan yang dia dapatkan selama berkarir lenyap seketika akibat kecanduan obat-obatan terlarang. Satu per satu orang terdekatnya langsung berpaling darinya. Bukannya bertobat selepas dari rehabilitas, dia malah kecanduan berjudi hingga uangnya habis tak tersisa. Dia yang dulunya tinggal Apartemen mewah, kini terpaksa tinggal di rumah susun lengkap dengan segala problematika bertetangga. Di rumah susun itu juga, ia mencoba menarik perhatian dari seorang perempuan tanpa garis senyum yang pernah menjadi butler-nya. Dapatkah ia menemukan tempat pulang yang tepat?
"Naklukin kamu itu bangganya kek abis jinakin bom."
Novel dengan alur santai, penuh komedi sehari-hari yang bakal bikin ketawa-ketawa gak jelas
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yu aotian, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Nicho segera mengambil kotak P3K, lalu mulai mengobati kaki Sera yang terluka. Jari jemari perempuan itu menekuk kuat saat ia mulai mengoleskan obat.
Untuk sesaat, arah tatapan Sera tertuju pada Nicho yang fokus membalut kakinya. Ternyata pria itu bisa terlihat serius seperti saat ini. Ya, wajar saja, dia adalah aktor yang bisa menampilkan banyak ekspresi, kan?
Namun, satu hal yang tidak diketahui Sera, untuk ukuran aktor besar seperti diri Nicho, berjongkok di hadapan seorang pekerja seperti ini adalah yang pertama kali dia lakukan. Dengan citra yang melekat sebagai aktor songong, bukankah ini sebuah hal yang akan dianggap mustahil di mata publik?
"Ntar malam gua bakal ke acara. Bantu gua persiapkan diri!" pinta Nicho sambil kembali memasangkan sepatu Sera di kakinya yang sudah terlilit perban.
"Baik."
Waktu pun beranjak ke malam hari. Seperti yang sudah diperintahkan, Sera datang ke kamar Nicho untuk membantunya ke sebuah acara pesta pernikahan. Mengetuk pintu, Sera melangkah masuk ketika pria itu mempersilahkannya.
Di dalam kamar yang berdesain ala Eropa itu, Nicho berdiri dengan gagah dalam balutan celana panjang maroon dan kemeja putih yang dipadu bersama rompi berwarna senada dengan bawahannya. Gaya rambutnya yang ditata berbeda dari biasanya, tampak sangat serasi dengan garis-garis muka yang tegas dan kulit putihnya yang terawat. Aroma maskulin yang menguar kuat dari tubuh Nicho, langsung menerobos masuk ke indra penciumannya.
"Bantuin pasangin ikat pinggang!" perintah pria itu sambil mengedikkan dagu ke arah meja rias.
"Baik."
Sera mengambil ikat pinggang bermerek dari bahan kulit klasik yang masih tersimpan dalam kotak persegi. Tangannya melingkar di pinggang Nicho, membuatnya terlihat seperti tengah memeluk pria itu.
"Bantu pasangin dasi juga!"
Sera mengambil dasi kupu-kupu yang juga terletak di atas meja rias kemudian mulai memakaikannya ke leher Nicho. Karena badan pria itu yang tinggi tegap, Sera harus berjinjit untuk memasang dasi itu.
"Kaki lo dah baikan?" tanya Nicho seraya memandang ke bawah.
Pertanyaan itu hanya dibalas dengan sebuah anggukan karena perempuan itu terlalu fokus merapikan kerah kemejanya. Tangan Sera yang melingkar di leher Nicho, membuat tubuh mereka hampir menempel. Keheningan pun mengisi ruangan besar itu.
Pada jarak yang sangat dekat ini, napas mereka saling bertabrakan satu sama lain. Bahkan Nicho bisa melihat barisan bulu mata lentik milik Sera yang berhiaskan polesan tipis eyeliner hitam. Keduanya sempat saling bersitatap, sebelum mata mereka serempak memandang ke sembarang arah.
Selesai memasang dasi, Sera langsung mengambil tuksedo dan membantu memakaikan di badan pria itu.
"Thank you," ucap Nicho setelah Sera selesai membantunya.
Sebaliknya, Sera merapatkan bibirnya erat-erat, tak berkata apa pun. Ia mundur menjauh dari Nicho yang telah bersiap-siap pergi.
"Lo boleh istirahat!" ucap pria itu sambil memasang arloji di pergelangan tangan kirinya.
Sedetik setelah Nicho berkata, Sera segera melangkahkan kaki meninggalkan kamarnya. Anehnya, Nicho masih terus mengawal punggung Sera yang berangsur-angsur menghilang dari tatapannya.
Nicho lantas bercermin sambil memandang wajahnya secara utuh, "Apa dia sama sekali gak terpesona lihat kegantengan gua?"
***
Sepulangnya dari acara itu, Nicho meminta Sera segera ke ruangannya. Tak perlu menunggu lama, perempuan itu langsung datang ke sana siap untuk melayaninya.
"Mau ini gak? Kebetulan ada fans yang ngasih pas ketemu di acara! Gue ... gak suka koleksi bunga. Jadi itu untuk lo aja," ucap Nicho sembari menunjuk ke arah buket bunga mawar merah berukuran besar yang terpampang indah di atas meja.
"Maaf, tapi semua itu bukan hak saya untuk mengambilnya," tolak Sera.
"Gak usah sungkan. Ambil aja." Nicho mengambil buket bunga itu dan menyerahkannya langsung pada Sera.
"Seharusnya Anda menghargai pemberian fans Anda dan tidak memberikannya pada orang lain." Sera meletakkan kembali buket bunga itu ke tempat semula.
"Justru ini cara gua menghargai pemberian fans. Daripada gua buang tuh bunga, mending gua kasih elo. Biar Lo aja yang jaga dan rawat tuh bunga," cetusnya sedikit kesal sembari meletakkan gagang buket tersebut di telapak tangan Sera. Ketika perempuan itu hendak berucap sesuatu dari mulutnya, Nicho langsung kembali berkata, "Eits, ini bagian dari perintah!"
"Baik. Saya akan simpan bunga ini di tempat yang tidak mudah rusak," ucap Sera sambil memeluk buket bunga seharga satu jutaan.
"Ya, udah, lo boleh pergi!" ketusnya.
Baru saja Sera memutar badannya, Nicho kembali berkata, "Tunggu, gua request morning call buat besok!"
Sera lantas kembali menoleh ke arahnya. "Baik. Jam berapa Anda ingin dibangunkan?"
"Hmm ...." Nicho tampak berpikir sesaat sebelum menjawab, "jam tujuh."
"Baik. Akan saya beritahu operator layanan morning call."
"Gue mau elo yang bangunin. Bukan orang lain!"
Pria itu cepat-cepat memalingkan badannya. Saat berbalik, senyum Nicho terurai secara spontan disertai helaan napas lega, seolah-olah dia baru saja melepaskan kegugupannya. Sebenarnya, rangkaian bunga yang terdiri dari 99 tangkai mawar itu, dia beli khusus untuk Sera saat dalam perjalanan pulang ke hotel. Entah mengapa, ia mendadak ingin memberikannya sebagai tanda permintaan maaf atas kejadian siang tadi. Hanya saja, ia terlalu gengsi untuk mengatakannya secara langsung.
***
Tak terasa, matahari mulai bertengger di langit Jakarta. Di kamar hotel dengan fasilitas lengkap ini, Nicho masih terbelenggu dalam selimutnya. Tepat saat jarum pendek jam menunjuk di angka tujuh pagi, telepon pun berdering. Masih menutup mata, Nicho merambatkan tangannya untuk meraih gagang telepon. Saking mengantuknya, ia menempelkan benda pipih itu ke telinganya dalam posisi terbalik.
"Selamat pagi. Ini adalah layanan morning call. Bangunlah, setiap pagi adalah waktu yang tepat untuk membuat daftar tujuan dalam hidup." Suara lembut Sera mengalun di pendengarannya.
"Hum ...." Lelaki itu hanya berdeham malas dengan mata yang masih tertutup.
"Agar sel otak Anda tetap bangun, izinkan saya memberi teka-teki. Kapan air mengantuk?"
Lelaki itu mencoba membuka matanya seraya berpikir. "Gak tahu!"
"Jawabannya adalah saat air direbus."
"Hah? Gimana? Gimana?" Nicho langsung memiringkan badannya dengan sebelah tangan yang menopang kepalanya.
"Iya, karena pas direbus air akan menguap," jelas Sera.
Kekehan kecil lantas menyembul keluar dari mulut pria itu. "Kalo gitu sekarang giliranku yang ngasih teka-teki. Gajah ... gajah apa yang baik?" tanyanya dengan penuh semangat.
"Hhmmm apa, ya?" Pikir Sera.
"Jawabannya adalah ... Gajahat," ucap Nicho dengan tawa gelitik.
"Anda kurang memberi waktu saya berpikir," protes Sera lewat saluran telepon.
"Ah, gue masih punya teka-teki. Kuda ... kuda apa yang bikin senang?"
"Apa, ya?" pikir Sera lagi.
"Jawabannya adalah ... kudapatkan hatimu!"
Setelah memberikan jawaban itu, Nicho malah terdiam seolah dia baru saja mengucapkan kata-kata yang seharusnya tak diungkapkan.
"Karena suara Anda sudah terdengar segar dan bersemangat, maka saya akan menutup teleponnya."
"Tu ...." Ucapan Nicho tak berlanjut karena telepon lebih dulu terputus.
Nicho menatap gagang telepon dengan bibir yang merajut seutas senyum. Ia pun langsung bangun sembari merenggangkan otot-otot leher dan tangannya. Tampaknya, suasana hatinya hari ini sangat baik.
"Kata orang kita mesti bangun pagi-pagi biar rejeki gak dipatuk ayam," gumamnya dengan senyum semringah sambil membuka aplikasi trading yang baru diunduhnya kemarin.
Senyumnya semakin merekah, begitu melihat total profit yang telah dia dapatkan dalam waktu sehari. Hal itu membuatnya tergerak untuk kembali menebak harga jenis aset. Sesaat setelah ia memilih, matanya mendadak melebar.
.
.
.
Like dan komeng
itu mah gagap kali
setidaknya kali ini Sera nanya keadaan Nicho, berarti Nicho terlihat dimatanya🤭