Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penculikan
Saat Kirana berjalan menuju kafe tempat wawancara, perasaan tidak nyaman tiba-tiba menyeruak, seperti awan kelabu yang merayap di pikirannya. Ada sensasi yang sulit dijelaskan, seolah-olah ada sepasang mata yang terus mengawasinya dari kejauhan. Sesekali, ia menoleh ke belakang, berharap menemukan jawabannya. Namun, yang terlihat hanya keramaian jalan pagi, orang-orang yang sibuk dengan aktivitas masing-masing.
Kirana dalam hati “Apa aku cuma paranoid? Kenapa rasanya seperti ada yang mengikuti aku?”
Ia mencoba mengabaikan perasaan itu, mempercepat langkah menuju kafe. Namun, firasat buruk itu seperti duri kecil yang terus menusuk, tidak bisa diabaikan begitu saja.
Di kejauhan, seorang pria bertubuh kekar dengan wajah dingin terus memantau gerak-gerik Kirana. Mengenakan jaket kulit hitam, pria itu berdiri di sudut jalan, matanya tajam seperti elang. Dialah salah satu orang suruhan Haryo, yang diperintahkan untuk mengawasi Kirana. Dengan gerakan tenang, pria itu mengangkat ponselnya dan menekan nomor Haryo.
Bodyguard: "Bos, saya sudah menemukan gadis itu. Dia sedang berjalan menuju kafe di pusat kota."
Haryo melalui telepon : "Bagus. Pastikan kau tidak kehilangan jejaknya. Aku ingin tahu setiap langkahnya."
Bodyguard: "Mengerti, Bos."
Pria itu menutup telepon dan mulai berjalan perlahan, menjaga jarak agar Kirana tidak menyadari keberadaannya.
Sementara itu, Kirana tiba di sebuah perempatan dan berhenti untuk menyeberang. Saat itu, ia kembali menoleh ke belakang. Matanya menangkap pria bertubuh kekar itu berdiri tak jauh darinya. Meski berusaha tampak biasa saja, sorot matanya tetap tertuju ke arah Kirana.
Kirana berbisik pelan “Siapa dia? Kenapa dia terus ada di belakangku?”
Degup jantungnya semakin cepat. Nalurinya berteriak ada bahaya, tetapi ia mencoba menenangkan diri.
Ia memutuskan untuk menguji pria tersebut. Dengan langkah cepat, ia berbelok ke sebuah gang kecil yang jarang dilalui orang. Di sana, ia memperlambat langkahnya, mendengarkan suara langkah kaki di belakangnya. Suara itu ada dan semakin mendekat.
Ketika ia memberanikan diri menoleh, pria bertubuh besar itu sudah berada beberapa meter di belakangnya, tetap mengawasi dengan sorot mata dingin.
Kirana dalam hati, panik “Ini bukan kebetulan! Dia benar-benar mengikutiku!”
Dengan napas memburu, ia mempercepat langkahnya, hampir berlari keluar dari gang. Ketika sampai di jalan utama, ia melihat kafe tempat wawancara hanya beberapa meter lagi.
Kirana berbisik, mencoba menenangkan diri “Ayo, Kirana. Fokus. Masuk ke kafe, semuanya akan baik-baik saja.”
Pria itu berhenti di ujung gang, memastikan Kirana sudah masuk ke kafe. Dia kembali mengeluarkan ponselnya dan melapor kepada Haryo.
Bodyguard: "Bos, gadis itu sudah masuk ke kafe. Dia kelihatan curiga, tapi saya tetap memantau."
Haryo: "Bagus. Pastikan dia tetap di bawah kendalimu. Aku ingin semua berjalan sesuai rencana."
Bodyguard: "Siap, Bos."
Sementara itu, Kirana duduk di dalam kafe, berusaha mengontrol napasnya yang masih tersengal-sengal. Ia melirik ke luar jendela, memastikan pria itu tidak mengikutinya ke dalam. Tapi bayangannya tetap melekat di pikirannya, seperti bayangan gelap yang sulit hilang.
“Apa aku cuma berlebihan? Atau dia benar-benar mengikutiku?” pikir Kirana.
Wawancara berlangsung cukup lancar, dan pewawancara tampak memberikan tanggapan yang positif. Setelah selesai, Kirana keluar dari kafe dengan perasaan lega. Namun, suasana hati yang membaik itu tidak bertahan lama. Jalanan yang sepi mengingatkannya kembali pada perasaan tadi.
Ketika seorang pria dengan jaket hijau menghampirinya, ia mengira semuanya akan baik-baik saja.
Pengemudi: "Mbak Kirana, ya? Ojek yang tadi dipesan?"
Kirana tersenyum kecil : "Iya, betul."
Ia memasang helm dan duduk di belakang pria itu. Motor mulai melaju di jalanan kota yang mulai sepi menjelang sore. Namun, beberapa menit kemudian, rute yang diambil pengemudi terasa tidak familiar.
Kirana dengan nada ragu : "Mas, kok lewat sini? Biasanya kalau ke arah rumah saya itu lurus di jalan tadi."
Pengemudi tersenyum kaku : "Oh, iya, Mbak. Ini lewat jalan pintas, biar lebih cepat sampai. Jalanan utama sering macet, kan?"
Kirana semakin curiga : "Tapi sekarang nggak macet, kan? Masih sore juga. Saya lebih nyaman lewat jalan yang biasa aja."
Pengemudi: "Tenang aja, Mbak. Saya sering lewat sini kok. Aman, santai aja."
Namun, jalanan semakin sepi, dan bangunan-bangunan di sekitar tergantikan oleh rimbunan pohon dan lahan kosong.
Kirana nada tegas, mulai panik : "Mas, saya minta balik ke jalan utama sekarang juga!"
Pria itu tetap melaju, mengabaikan permintaannya. Kirana merasakan ada yang sangat salah. Ia mencoba merogoh tasnya, tetapi pria itu sepertinya menyadari gerakannya.
Pengemudi: "Mbak, nggak usah macem-macem. Duduk yang tenang."
Kirana berteriak : "Apa maksud Mas? Saya mau turun sekarang!"
Pria itu menghentikan motor mendadak, menoleh dengan tatapan tajam.
Pengemudi : "Dengar, Mbak. Saya cuma disuruh nganter kamu ke tempat yang aman. Jangan bikin ribut."
Kirana marah, takut "Tempat aman apa? Saya nggak kenal kamu! Turunin saya sekarang!"
Pria itu kembali melaju, lebih cepat dari sebelumnya. Panik, Kirana berteriak sekencang mungkin, berharap ada seseorang yang mendengar.
Kirana berteriak "Tolong! Ada orang yang mencoba menculik saya!"
Namun, jalanan benar-benar sunyi. Tak ada siapa pun. Dengan air mata yang mulai menggenang, Kirana hanya bisa berharap ada keajaiban yang menyelamatkannya.
Kirana memberanikan diri melawan rasa takutnya. Ketika motor yang ditumpanginya melambat di tikungan tajam, dia melihat ini sebagai kesempatan. Adrenalin menguasai tubuhnya, dan tanpa berpikir panjang, dia berusaha melompat dari motor. Namun, pria yang mengemudikan motor itu sigap. Tangannya yang kuat langsung meraih lengan Kirana dan menariknya kembali dengan kasar.
"Kamu pikir bisa kabur semudah itu? Jangan bikin masalah!" bentaknya dengan nada marah.
Kirana tidak menyerah begitu saja. Dia menendang, meronta, dan mencoba melawan. Namun, kekuatannya kalah jauh dari pria itu. Dalam satu hentakan keras, pria itu memaksanya turun dari motor. Sebelum Kirana bisa mengambil langkah lebih jauh, dia sudah menyeretnya ke sebuah gudang tua di pinggir jalan.
Gudang itu tampak sunyi dan menyeramkan. Cat yang mengelupas dan pintu besi berkarat menambah aura mencekam tempat itu. Saat pintu terbuka, suara gesekan besi memekakkan telinga Kirana, membuat bulu kuduknya meremang.
"Lepaskan aku! Apa yang kalian mau?!" Kirana berteriak panik, suaranya menggema di dalam gudang kosong.
Pria itu tidak menjawab. Dia mendorong Kirana ke dalam, menutup pintu di belakang mereka dengan bunyi keras, lalu menguncinya rapat-rapat. Meski Kirana terus melawan, pria itu dengan mudah mengikat tangannya di belakang punggung menggunakan tali kasar. Tak puas, dia juga mengikat kaki Kirana, memastikan gadis itu tidak bisa bergerak.
"Kamu tenang aja di sini. Bos kami mau bicara sama kamu nanti," ujar pria itu sambil melangkah mundur, memandangi Kirana yang tergolek tak berdaya di lantai dingin.
"Siapa bos kalian? Apa yang kalian inginkan dariku?!" teriak Kirana, suaranya dipenuhi kemarahan bercampur rasa takut.
Pria itu hanya tertawa kecil, seperti menganggap pertanyaan Kirana tak layak dijawab. Dia merogoh tas Kirana, mengambil ponselnya, lalu melangkah ke sudut ruangan. Dengan santai, dia mengeluarkan ponselnya sendiri dan mulai menekan nomor. Tak lama, percakapannya terdengar jelas di tengah keheningan.
"Halo, Pak Haryo. Anak itu sudah kami amankan. Iya, dia di gudang sekarang. Tunggu perintah Bapak selanjutnya," lapornya dengan nada datar.
Mendengar nama itu, tubuh Kirana seketika gemetar. Haryo... ini semua ulah dia, pikirnya. Ia menggigit bibir, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.
Di ujung telepon, suara Haryo terdengar tenang namun penuh intimidasi. "Pastikan dia tidak kabur. Saya akan datang nanti malam. Jangan sampai dia celaka, saya mau dia dalam kondisi sempurna."
"Siap, Pak. Kami pastikan semuanya aman," balas pria itu sebelum menutup telepon.
Dia kembali mendekati Kirana dengan senyuman puas yang membuat gadis itu semakin takut. "Kamu memang spesial, ya. Bos sampai repot-repot urus kamu sendiri. Jadi, lebih baik kamu diam dan tunggu sampai dia datang."
Kirana terus meronta, mencoba membebaskan diri meski tali di tangannya terasa menyakitkan. Usahanya sia-sia. Dia merasa putus asa, hatinya hancur. Dalam hati, ia bertanya-tanya mengapa hidupnya bisa seburuk ini. Wajah ibunya terlintas di benaknya, bersama rasa kecewa yang mendalam.
"Tuhan, tolong aku... siapapun, tolong aku keluar dari sini," bisiknya penuh air mata.
Pria itu mengabaikan Kirana sepenuhnya, memilih duduk di sudut gudang, berjaga dengan tatapan waspada sambil memeriksa ponselnya. Sementara itu, Kirana memandang ke sekeliling gudang yang gelap, mencari cara untuk melarikan diri. Namun dengan tubuh terikat dan penjagaan ketat, harapannya tampak semakin menipis.