Dina yang baru beberapa hari melahirkan seorang bayi laki-laki dan menikmati masa-masa menjadi seorang ibu, harus menghadapi kenyataan saat suaminya tiba-tiba saja menyerahkan sebuah surat permohonan cerai kepadanya lengkap dengan keterangan bahwa hak asuh anaknya telah jatuh ke tangan suaminya yang berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. "Cepat tanda tangan" titahnya.
Selama ini, dirinya begitu buta dengan sikap kedua orang yang sangat dia percayai. Penyesalan atas apa yang terjadi, tidak merubah kenyataan bahwa dirinya kini telah ditelantarkan sesaat setelah dia melahirkan tanpa sepeser pun uang.
Putus asa, Dina berusaha mengakhiri hidupnya, namun dirinya diselamatkan oleh seorang wanita tua bernama Rita yang juga baru saja kehilangan putrinya akibat kecelakaan.
Seolah takdir, masih berbelas kasih padanya, Dina menyusun rencana untuk merebut kembali anaknya dari tangan Ronny suami beserta selingkuhannya Tari, serta bertekad untuk menghancurkan mereka berdua
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Teddy terlihat sedikit canggung saat memasuki hotel. Kursi rodanya bergerak pelan, didorong oleh staf hotel yang ramah. Meskipun kondisi fisiknya terbatas, Teddy tidak terlihat malu atau rendah diri.
Sesampainya di depan kamar Mitha, staf hotel segera meninggalkan mereka berdua, setelah Mitha membuka pintu kamarnya.
Mitha yang mengenakan pakaian santai, tersenyum lebar begitu melihat Teddy. Tapi senyumannya terlihat sedikit terpaksa, ada sesuatu yang belum bisa dia ungkapkan.
Teddy mengangguk dan berusaha tersenyum saat melihat Mitha, "Apakah kamu sudah lama menunggu?" tanya Teddy dengan suara yang lebih lembut dari biasanya, mencoba memecah ketegangan.
Mitha menjawab sambil beranjak dari kursinya, "Tidak lama, Kak. Aku baru saja selesai makan siang. Aku senang kamu datang."
Teddy mengangguk dan tersenyum, "Sudah lama aku tidak mendengarmu memanggilku kakak"
Teddy lalu mengamati sekitar. "Kamu kelihatan baik-baik saja di sini. Tapi aku harus mengaku, aku sedikit khawatir denganmu, Mitha," kata Teddy, tidak bisa menyembunyikan perasaan prihatin yang datang dengan mengingat kembali kejadian-kejadian masa lalu.
Mitha membalas dengan tatapan serius, seolah mengukur kata-kata yang akan keluar selanjutnya. "Aku baik-baik saja, kak. Jangan khawatir. Aku hanya... aku hanya butuh waktu untuk memikirkan banyak hal," jawab Mitha pelan.
Teddy menatapnya, seolah merasakan ada lebih banyak yang disembunyikan. Tetapi ia tak ingin memaksa. "Aku di sini untukmu, Mitha. Kalau ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, aku akan mendengarkan."
Mitha hanya tersenyum tipis, namun tidak menjawab langsung. Dia masih tampak terbenam dalam pikirannya, meskipun dia menghargai kedatangan Teddy.
Teddy tahu, pertemuan ini bukan hanya tentang berbicara atau membicarakan masa lalu, tetapi lebih kepada memberi ruang bagi Mitha untuk kembali membuka diri. Namun, hal itu tidak semudah yang dia kira.
****
Teddy menarik napas dalam-dalam sebelum membuka mulutnya lagi. Matanya berkilat serius, seolah sedang menimbang kata-kata yang akan keluar.
"Mitha, ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan padamu," kata Teddy pelan, suara yang biasanya tegas kini terdengar lebih berat. "Tapi, aku ingin kamu merahasiakannya, ya? Tidak ada yang boleh tahu, selain kau dan papa."
Mitha yang tadinya sedang memandangnya dengan tatapan lembut, kini mulai tampak bingung dan penasaran. "Kenapa harus rahasia, Kak?" tanyanya, suara sedikit bergetar karena heran.
Teddy menatap Mitha dengan tatapan yang penuh arti, seolah-olah ada hal besar yang dia ingin ungkapkan. "Karena ini sangat penting, Mitha," jawabnya, nada suaranya berubah menjadi lebih serius. "Aku ingin kau tahu, selain papa, hanya dirimu yang bisa kupercaya saat ini."
Mitha merasa sedikit terkejut dengan pengakuan itu. Meskipun mereka berdua dibesarkan bersama sebagai saudara, Teddy jarang sekali mengungkapkan perasaannya dengan begitu terbuka. Mitha mengangguk perlahan, merasa semakin bingung dan penasaran.
Teddy akhirnya berdiri dari kursi roda yang biasa membantunya bergerak. Langkah pertamanya pelan, tapi penuh keyakinan. Mitha tidak bisa menahan matanya yang terbuka lebar saat Teddy dengan mudah berjalan menuju arahnya, seolah tidak ada yang salah pada kakinya.
"Ini... ini tidak mungkin," gumam Mitha, hampir tidak percaya.
Teddy menoleh ke arahnya, wajahnya terlihat tegang namun penuh harapan. "Aku tahu ini akan mengejutkanmu, Mitha. Aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang, tapi aku memang bisa berjalan. Ini semua berkat usaha keras yang aku lakukan setelah kecelakaan itu."
Mitha hanya terdiam, tak bisa berkata-kata. Ia melihat dengan jelas bagaimana Teddy bergerak dengan bebas, tanpa hambatan, seolah kecelakaan yang membuatnya lumpuh hanya sebuah kenangan yang kini hilang. Kakinya, yang dulunya harus menggunakan kursi roda, kini berjalan dengan lincah.
"Bagaimana ini bisa terjadi?" tanya Mitha, suaranya bergetar. "Aku pikir... aku pikir kamu akan lumpuh seumur hidup."
Teddy menghela napas panjang. "Itulah yang orang lain pikirkan, Mitha. Itu yang aku inginkan untuk orang-orang percayai. Tapi, aku punya alasan kenapa aku harus tetap menyembunyikannya. Aku... aku tidak bisa memberitahumu semuanya sekarang. Tapi aku butuh bantuanmu."
Mitha merasa jantungnya berdebar, kebingungannya semakin mendalam. "Kak, aku tidak tahu harus berkata apa... ini semua... ini semua begitu mengejutkan."
Teddy menatapnya dengan serius. "Aku tahu. Aku tidak ingin kamu merasa terkejut seperti ini, Mitha. Tapi aku benar-benar butuh bantuanmu. Ada banyak hal yang harus aku urus, dan aku ingin kamu tahu... aku percaya padamu."
...****************...
Mitha masih berdiri terpaku, matanya tidak bisa lepas dari Teddy yang kini berdiri tegak, dengan wajah yang penuh keseriusan. Setiap kata yang keluar dari mulut Teddy membuatnya semakin kebingungan.
“Kak, ini tidak masuk akal,” ujar Mitha, suaranya nyaris berbisik, seolah takut jika apa yang ia katakan bisa mengubah segalanya. "Kamu... selama ini berpura-pura? Kenapa? Kenapa kamu harus melakukan itu?"
Teddy menundukkan kepala sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk menjelaskan segala sesuatu yang telah terjadi. "Aku tahu ini sulit untuk dipahami," katanya pelan, "Tapi ada banyak hal yang lebih besar dari sekadar kecelakaan itu, Mitha. Banyak yang harus aku sembunyikan demi keselamatanku... dan demi alasan yang lebih penting."
Mitha tidak bisa menahan diri. "Tapi, Kak! Selama ini kamu berpura-pura. Kenapa? Kenapa harus seperti ini?"
Teddy mengangkat wajahnya, tatapannya serius dan penuh penyesalan. "Aku tidak punya pilihan, Mitha. Ada banyak orang yang ingin melihat aku jatuh, yang ingin memanfaatkan kelemahanku. Aku harus membuat mereka percaya bahwa aku tidak berdaya. Itu satu-satunya cara aku bisa menyelamatkan diri."
Mitha merasakan dadanya sesak. "Jadi, selama ini kamu menjalani hidup seperti itu? Menjadi orang yang bukan dirimu? Untuk apa?" Mitha merasa kecewa, sekaligus cemas, karena Teddy tampak seperti orang yang sangat terperangkap dalam kebohongan besar.
Teddy memejamkan matanya sesaat, merasakan beban yang sangat berat. "Aku melakukan ini untuk melindungi orang-orang yang aku cintai, Mitha. Termasuk papa dan mama. Dan... sejujurnya aku tidak ingin melibatkanmu dalam semua ini, tapi aku butuh bantuanmu."
Mitha masih berdiri dengan wajah tercengang, mencoba mencerna semua yang baru saja diungkapkan Teddy. "Kak... aku tidak tahu harus berkata apa," ujarnya, merasa bingung dan terkejut, "Kamu tidak bisa terus hidup seperti ini, berpura-pura jadi orang lain. Itu... itu terlalu berat."
Mitha menghela napas panjang. "Sejujurnya," kata Mitha dengan suara pelan, "Aku merasa lega melihat kamu bisa berjalan lagi. Aku... aku sangat senang, kak. Kamu tidak tahu betapa beratnya melihatmu terkurung di kursi roda selama ini."
Teddy menatap Mitha dengan ekspresi yang lebih lembut, seolah bisa merasakan betapa besar perasaan Mitha terhadapnya. "Aku tahu, Mitha. Aku tahu seberapa khawatir dirimu. Tapi, percayalah, ini lebih rumit daripada yang terlihat. Semua ini bukan hanya soal aku, ini soal menjaga keselamatan orang-orang yang aku sayangi"
"Aku tahu," jawab Mitha, "Aku tahu kamu hanya ingin melindungi mereka yang kamu sayangi. Tapi, kak, jangan pernah merasa kamu harus menanggung semuanya sendiri. Aku di sini, dan aku ingin membantu. Aku bahagia kamu bisa kembali seperti ini. Kamu berhak merasakan kebahagiaan dan hidup dengan bahagia seperti dulu."
...****************...
Aku harta pak Johan tidak jatuh ke Ronny tapi beliau telah buat surat wasiat untuk Gio , Teddy, Mitha, dan Dina