Hanzel Faihan Awal tak menyangka jika pesona janda cantik penjual kue keliling membuat dia jatuh hati, dia bahkan rela berpura-pura menjadi pria miskin agar bisa menikahi wanita itu.
"Menikahlah denganku, Mbak. Aku jamin akan berusaha untuk membahagiakan kamu," ujar Han.
"Memangnya kamu mampu membiayai aku dan juga anakku? Kamu hanya seorang pengantar kue loh!" ujar Sahira.
"Insya Allah mampu, kan' ada Allah yang ngasih rezeky."
Akankah Han diterima oleh Sahira?
Yuk pantengin kisahnya, jangan lupa kasih bintang lima sama koment yang membangun kalau suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BTMJ2 Bab 22
Hanzel yang mendengar istrinya mengatakan hal seperti itu tentunya takut dia takut, takut kalau istrinya itu akan marah dan juga tidak mau lagi berumah tangga dengan dirinya.
Dengan cepat Hanzel melangkahkan kakinya menuju ruang kerjanya, dia bermaksud untuk membujuk istrinya tersebut. Namun, Hanzel begitu kaget karena saat dia masuk ke dalam ruangan kerjanya, Sahira terlihat sedang tersenyum sambil merentangkan kedua tangannya.
"Peluk," ujar Sahira.
Hanzel dengan senang hati memeluk istrinya tersebut, lalu dia mengecup kening istrinya dengan penuh kasih sayang.
"Kamu nggak marah kan, sama aku?"
"Mana ada aku marah sama kamu, yang terpenting kamu selalu jaga jarak sama dia. Kalau perlu kamu pindahkan saja dia kerjanya, jangan di sini."
Wanita seperti Anggun itu hanya namanya saja yang anggun, tetapi pada kenyataannya wanita itu begitu merusak suasana. Sahira benar-benar tidak menyukai wanita seperti itu, dia merasa kalau yang namanya wanita itu perlu punya harga diri.
Jangan terlalu merendahkan diri seperti yang Anggun lakukan, jangan melakukan kesalahan yang sama seperti yang pernah dia lakukan. Gampang menyerahkan diri kepada lelaki dengan dalil cinta.
Semuanya tidak dibenarkan jika untuk melakukan hal yang salah, walaupun didasari rasa yang suci. Bukan cintanya yang salah, tetapi terkadang kita sebagai manusia yang tak bisa berpikir dengan baik.
"Kalau mindahin dia kerja dari sini kayaknya nggak bisa deh, bagaimana kalau kita saja yang pindah?"
Menurut Hanzel resto miliknya itu ada banyak, tak hanya satu. Dia bisa mengelola resto yang lainnya. Agar dia tak perlu lagi bertemu dengan Anggun di sana, menghindari wanita itu rasanya lebih baik.
"Loh, kok jadi kita yang pindah? Kan' kamu yang punya resto? Masa kita yang harus ngalah sih!" keluh Sahira sambil mengurai pelukannya.
"Terus, mau kamu gimana? Aku nurut aja, karena bagi aku semua yang kamu katakan adalah perintah yang pastinya akan aku lakukan."
"Kalau kita pecat aja bagaimana, Yang?"
Wanita penggoda seperti Anggun itu tidak boleh diberi kesempatan, takutnya nantinya malah akan ngelunjak. Bisa bahaya, bisa-bisanya dia mengambil jalan licik untuk mendapatkan Hanzel.
"Aku sih sebenarnya bisa aja pecat dia, cuma kasihan juga. Keluarganya itu bangkrut, jadi sekarang Anggun benar-benar menjadi tulang punggung keluarga."
"Aih! Serba salah juga, dikasihani malah nyebelin. Tapi, kalau dipecat kasihan juga nanti kedua orangtuanya, tidak akan ada yang mencarikan uang."
Sahira mengerucutkan bibirnya, walaupun dia merasa kesal terhadap wanita yang menjabat sebagai bibit pelakor itu, tetapi tetap saja dia merasa kasihan juga.
Sahira lama hidup dalam kesusahan, dia tentunya tahu bagaimana sulitnya mencari uang. Dia tidak mau memutuskan rezeki orang lain, kecuali orang itu memang sudah bertindak sangat jauh dan membuat kerugian bagi dirinya.
"Jadi, maunya gimana?"
"Biarin aja dulu deh, biarkan dia kerja dengan tenang. Tapi, kalau dia berani macam-macam, tak ada lagi kesempatan untuk orang seperti itu."
"Oke! Aku setuju," ujar Hanzel yang tangannya mulai bergerilya di tubuh Sahira.
"Yang, kita di sini mau kerja. Jangan macam-macam," ingat Sahira.
"Aih! Gak boleh emang?"
"Boleh, tapi nanti aja di rumah. Kalau di resto, harus bekerja dengan propesional."
"Iya," jawab Hanzel sedikit kecewa karena istrinya sulit diajak anu-anu di tempat kerja.
*
Waktu istirahat sekolah telah tiba, seperti biasanya Dion datang dengan membawa kotak bekal berisikan makanan kesukaan Cia.
Pria itu bertekad ingin memiliki hubungan yang baik dengan putrinya, karena anak itu adalah anak kandungnya. Dion merasa tidak boleh menyia-nyiakan anak itu lagi, cukup satu kesalahannya. Menyia-nyiakan Sahira di masa lalu.
"Daddy sudah datang?"
"Ya, Nak. Mau makan bareng Daddy?"
"Mau," jawab Cia dengan wajah riangnya.
"Makasih, Nak. Oiya, apa ibu tidak marah kalau Cia setiap hari bertemu dengan Daddy?"
Mulut pria itu memang mengajukan pertanyaan, tetapi tangannya dengan telaten menyuapi putrinya.
"Nggak," jawab Cia.
Dion merasa bersyukur sekali karena Sahira tidak melarang Cia untuk bertemu dengan dirinya, padahal dulu dia dengan teganya menyakiti dan menghianati wanita itu.
"Syukurlah, apa ibu benci sama Daddy?" tanya Dion penasaran.
"Nggak, kata Ibu nggak ada manfaatnya membenci orang lain. Oiya, Dad. Kumis sama jenggotnya tolong dicukur, biar Daddy tidak terlihat seperti kakek-kakek."
Dion tertawa mendengar apa yang dikatakan oleh putrinya, karena setelah berpisah dengan Risma, dia memang tidak pernah merawat diri. Dia hanya fokus mengembangkan usaha kedai kopinya, dia ingin merintis usahanya dari bawah dengan benar.
Dia tak mau lagi panjat sosial, karena ternyata hal itu sangatlah tidak menyenangkan. Tetap saja nantinya dia dibangkit, Dion tidak mau lagi dihina-hina seperti dulu oleh Risma.
"Iya, Sayang. Nanti Daddy cukuran," ujar Dion sambil mengusap puncak kepala putrinya.
Bahagia sekali rasanya bisa bercengkrama dengan putri kecilnya, tetapi di satu sisi dia merasa menyesal sekali karena dulu sudah menyia-nyiakan Sahira dan anak itu masih dalam kandungan.
"Kalau Daddy males cukuran sendiri, Daddy punya istri aja lagi. Biar ada yang ngurusin," ujar Cia.
Bukan tanpa alasan Cia berkata seperti itu, tetapi itulah yang dia lihat dari ibunya. Setelah menikah Sahira begitu memperhatikan Hanzel, Sahira begitu memperhatikan dirinya. Hal sekecil apa pun begitu diurusi oleh Sahira.
"Ya ampun, Sayang. Kamu tuh ada-ada aja, Daddy lagi fokus ngurusin usaha kedai kopi Daddy. Biar hasilnya banyak, biar bisa sekolahin Cia ke sekolah yang bagus."
Walaupun dia tahu kalau Hanzel bukanlah pria yang kekurangan, tetapi Dion juga ingin menafkahi Cia. Mulai saat ini dia bertekad untuk mengurusi biaya Cia, walaupun jumlahnya tak sebanding dengan uang Hanzel.
"Cia doakan semoga kedai kopinya rame, biar hasilnya juga banyak. Biar Daddy punya penghasilan yang bagus," doa Cia dengan tulus.
"Aamiin," ujar Dion mengamini apa yang dikatakan oleh putrinya.
"Oiya, Dad. Apa Cia boleh kasih saran?"
"Boleh, apa itu?"
"Jangan cuma jualan kopi aja, tapi harus ada pendampingnya. Misalkan pisang keju lumer, atau mungkin roti manis."
Dion tertegun sesaat mendengar apa yang dikatakan oleh putrinya, karena ternyata walaupun masih kecil Cia sangatlah pandai seperti ibunya.
"Ide yang bagus, nanti Daddy akan menambah menu di kedai. Makasih sarannya," ujar Dion.
"Sama-sama, Dad. Sekarang Cia mau masuk sekolah, Daddy pulang aja. Kasian nenek sama kakek, pasti mereka capek jagain kedai kopi."
"Ya, Sayang."
Setelah berbicara dengan Cia, Dion memutuskan untuk pulang. Sepanjang perjalanan dia berpikir dengan keras tentang apa yang dikatakan oleh putrinya.
Dion jadi sangat menyesal karena sudah meninggalkan Sahira demi Risma, jika saja dulu dia tak egois dan tak terlalu tamak dengan harta, dia pasti sudah sangat bahagia dengan kehidupannya.
"Harus semangat, Dion. Jadilah manusia yang lebih baik, agar kebaikan menghampiri hidup kamu."
Dion menyemangati dirinya, hingga sampai di kedai kopi dia begitu terkejut karena di sana sudah ada Risma dan juga pria tampan tapi terlihat lebih tua dari dirinya.
"Risma, mau apa kamu ke sini?"
"Hanya melihat keadaan mantan, ternyata sesuai dugaan. Busuk!" jawab Risma dengan tawa mengejek di bibirnya.
Dion sebenarnya merasa kesal sekali dengan apa yang dikatakan oleh wanita itu, tetapi setelah berbicara dengan Cia dalam setiap harinya, Dion kini bisa lebih mengontrol emosinya.
"Terima kasih atas pujiannya, anda mau pesan apa, Nona Risma?"
"Tidak pesan, hanya ingin melihat keadaan kamu yang semakin mengkhawatirkan saja."
Risma tertawa terbahak-bahak, setelah itu dia pergi dari kedai kopi milik Dion.Pria itu sampai merasa aneh, karena ada wanita yang datang hanya untuk menghina dirinya.
"Jangan marah, Dion. Wajar jika dia menghina kamu, karena keadaannya memang lebih baik dari kamu. Dari pada marah, mending kamu berusaha untuk melakukan yang terbaik. Agar dapat hasil yang terbaik, kamu harus buktikan kalau kamu bisa sukses tanpa bantuan orang lain."
Dion tersenyum mendengar apa yang dikatakan oleh ayahnya, karena itu adalah hal yang benar adanya.
"Ya, Ayah. Dion akan berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik, terima kasih atas dukungannya."