Emily seorang model yang sukses dan terkenal. Namun, kesuksesan itu tidak dia dapatkan dengan gampang dan berjalan mulus. Mimpi buruk terjadi disaat dia menjadi boneka *** pribadi milik presedir di agensi tempat dia bekerja. Mulut terbungkam saat dia ingin berteriak, namun ancaman demi ancaman terlihat jelas di depan matanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yeppeudalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pancingan, Jebakan
“Tapi… kalau dipikir-pikir, aku pernah bertemu dengannya. Benar, kan? Ah! Kenapa ingatanku semakin lama semakin buram.” Emily menghela napas panjang, memandang kosong ke depan sambil mengusap dahinya yang mulai terasa hangat. “Apa karena terlalu banyak yang aku pikirkan?” gumamnya, suaranya nyaris tenggelam di tengah hiruk pikuk lantai bawah perusahaan.
Di kejauhan, Reymond memperhatikan Emily yang terlihat kebingungan. Ia mengerutkan kening, lalu melangkah mendekat dengan langkah tegap namun santai.
“Emily?” sapanya pelan, membuat perempuan itu sedikit tersentak dari lamunannya.
“Oh, Pak Reymond,” balas Emily sambil tersenyum kecil.
“Kamu baru selesai bekerja?” Reymond bertanya sambil menatapnya dengan lembut.
“Hm, saya baru saja menyelesaikan beberapa wawancara, Pak Reymond,” jawab Emily sembari merapikan rambutnya yang terselip di belakang telinga.
“Ah, begitu,” gumam Reymond, mengangguk pelan. “Kalau begitu, kerja keras hari ini, ya.”
Emily tersenyum hangat. “Pak Reymond sendiri? Apa yang membawa Anda ke sini?”
“Saya ada keperluan. Mau membagikan beberapa informasi tentang perlindungan artis.”
“Oh, benar! Informasi itu penting sekali, apalagi untuk kami yang sering berhadapan langsung dengan banyak orang. Terima kasih sudah peduli, Pak Reymond,” ujar Emily, wajahnya tampak cerah, jelas senang bisa bertemu Reymond di kantor.
Namun, di tengah percakapan hangat mereka, suara lembut namun tegas terdengar dari belakang.
“Sayang?”
Emily spontan menoleh, wajahnya berubah tegang. Begitu pula Reymond, yang juga berbalik ke arah suara tersebut.
Seorang wanita muda berdiri di sana, senyum tipis menghiasi wajah cantiknya. Rambutnya tersisir rapi, dengan postur yang penuh percaya diri.
“Sayang, kamu di sini ternyata,” ucap wanita itu—Serein—dengan nada yang seolah hanya untuk Reymond.
Reymond mengerutkan kening. “Serein? Kenapa kamu di sini?”
Serein melangkah mendekat, tatapannya tetap tertuju pada Reymond. “Ah, aku kebetulan lewat. Tadinya, aku mau menyapa Papa sebentar. Eh, malah bertemu kamu.” Ia tersenyum manis, lalu memegang lembut lengan Reymond. “Sayang, tiba-tiba aku ngidam makanan. Temani aku, ya? Kamu mau, kan?” pintanya, suaranya terdengar manja.
Emily hanya bisa berdiri diam, memperhatikan adegan itu dengan perasaan campur aduk. Serein sama sekali tidak mengalihkan pandangan ke Emily, bahkan seolah mengabaikan keberadaannya. Sikapnya yang angkuh terasa mencolok, meski mungkin itu hanya pembawaan alami sebagai putri seorang presdir perusahaan agensi terkenal.
Reymond tampak ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk. “Baiklah. Kita pergi sekarang?” tanyanya.
Serein tersenyum puas. “Tentu.”
Dengan ringan, ia menarik Reymond pergi, meninggalkan Emily yang hanya bisa memandang kepergian mereka. Suasana hangat tadi berubah dingin, menyisakan Emily berdiri seorang diri di koridor. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, namun ia tak mampu berkata apa-apa.
“Aku sudah bilang denganmu.” Ucapan itu membuat Emily menatap Yubin. “Jangan menaruh harapan lebih. Jangan berpikiran terlalu jauh untuk bisa bersama dengan dia, Emily.”
“Eonnie…” ucapnya sedih.
“Ada banyak mata disini, kamu harus hati-hati. Mungkin saja, Rein curiga denganmu yang sering sekali mengajak pak Reymond bicara.”
Wajah sedih itu tergambar jelas diraut wajah Emily.
Tapi saat itu pula, “Emily?”
“I-iya?” jawabnya ragu.
“Pak Mattheo memanggilmu.”
DEG! jantungnya berdegup dengan cepat. Sorotan matanya ingin menjerit ketika dia menatap Yubin.
Bahkan, Yubin menarik napasnya dengan kesulitan hingga menghela dengan berat.
“E-eonnie…” raut wajah itu mulai cemas.
“Dia akan segera ke ruangan.”
“Hm, tunggu apa lagi? jangan buat pak presedir menunggu terlalu lama.”
Pada akhirnya, Mattheo memiliki cela untuk kembali menarik Emily kepadanya.
Pria yang bahkan dikatakan sudah tidak muda itu, kembali melecehkan model yang ada dibawah kekuasaannya.
Dia bahkan bukan melecehkan lagi, tetapi menggauli tubuh perempuan itu dengan senyum puas kemenangannya.
Dan mimpi buruk kembali terulang untuk Emily. Dia hanya bisa menangis di dalam hati menahan apa yang dilakukan Mattheo terhadapnya.
Tubuhnya terus dijamah dan kali ini Mattheo benar-benar melampiaskan segalanya dengan penuh emosional dan napsu yang menggebu-gebu.
“Sudah lama tidak mencicipi tubuhmu yang indah ini sayang.” Ucapnya saat menjilat kulit leher Emily. Tangan itu terkepal disaat Emily menahan diri untuk tidak menangis dengan tubuh yang gemetaran disaat dia merasakan payudaranya dilumat dengan penuh napsu.
Ini sangat menjijikkan; begitulah yang ada di dalam pikirannya. Hanya, dia tidak dapat melontarkan kalimat itu disaat bibirnya dipaksa untuk mendesah sekencang-kencangnya.
Mulutnya pun ikut dipaksa untuk bermain dengan daging yang tak bertulang itu. Melahapnya hingga masuk ke dalam kerongkongan. Matanya terlihat nanar dengan berkaca-kaca menahan semuanya agar tidak dia muntahkan di depan pria brengsek yang tertawa atas penderitaannya.
Belum puas sampai disitu, Mattheo melakukan hal gila lainnya, dia memasukan alat kelaminnya tepat dilubang anus Emily. Dimana dia mulai menjerit kesakitan atas kegilaan yang dilakukan Mattheo.
“Saya ingin melihatmu menjerit sayang.” Ucapnya tanpa merasa bersalah setelah apa yang telah dia lakukan.
Air mata itu pun akhirnya terlepas dari pelupuk mata Emily. Mattheo justru tertawa bahagia melihat perempuan itu menahan rasa sakit yang cukup membuat kedua kakinya gemetaran dan lemas.
Penyiksaan itu belum selesai, dia merebahkan tubuh itu tepat di atas meja kerjanya. Menarik kedua kaki jenjang itu dan membukanya dengan lebar.
Tanpa mengatakan apapun dia memasukan miliknya dan menusuk hingga tubuh itu tersentak menahan sakit.
Wajahnya terlihat lemas, namun … dia tidak dapat melakukan apapun. Mattheo seperti menekan obat kuat, ketika pria brengsek itu terus aktif menjamahi tubuh Emily.
“Kamu harus tahu sayang, kalau diluar sana begitu banyak petinggi yang ingin mencicipi tubuhmu yang indah ini. Tapi, saya tidak memberikannya. Saya ingin mencicipi dirimu sendiri. Dan … saya benar-benar candu atas tubuhmu Emily. Ingat! kamu harus terus memuaskan saya. Kalau kamu tidak melakukannya, saya akan memberikanmu kepada mereka yang menginginkanmu. Ah! saya bahkan bisa meminta mereka untuk melahapmu secara bersamaan ketika kamu harus melayani mereka sendirian sekaligus.”
Ucapan yang sangat mengerikan itu membuat Emily terus menangis. Namun, dia kembali dipaksa untuk mendesah agar gairah pria itu semakin memuncak untuk menikmati dirinya.
“Aaakkhhhh nikmat sekali, sudah berapa lama aku harus menunggu hal ini tiba. Ya, cara satu-satunya memang meminta Rein untuk datang kesini membawa Reymond pergi. Benarkan sayang?”
***
📍Kafe
Reymond duduk berhadapan dengan Rein, tangannya memegang cangkir kopi yang sudah dingin. Suasana kafe yang hangat terasa kontras dengan ketegangan di antara mereka. Rein, dengan tatapan tajam, mencondongkan tubuh sedikit ke depan.
“Kamu membahas apa dengan dia?” tanyanya tiba-tiba, nadanya penuh tuntutan.
Reymond mengangkat alis, menatapnya dengan bingung. “Siapa?”
Rein menyandarkan punggung ke kursi, matanya menyipit. “Siapa lagi kalau bukan Emily? Benar, kan, namanya Emily?”
Reymond menghela napas pelan. “Ah, dia…”
“Jadi? Kamu membahas apa dengannya?” potong Rein, suaranya semakin tajam.
Reymond meletakkan cangkirnya dengan tenang, namun sorot matanya menunjukkan tanda lelah. “Sudah pasti membahas pekerjaan, Rein.”
Rein menyilangkan tangan di depan dada. “Tapi aku dengar kalian sering sekali berbicara.”
“Itu hal yang wajar, kan? Saya yang berada disana sebagai monitor untuk model, idol, artis, aktor sangat wajar berbicara dengan mereka.”
“Reymond,” desis Rein. “Dia seorang model. Akan banyak berita yang muncul kalau kalian terlihat terlalu akrab.”
Reymond memiringkan kepalanya, menatap Rein dengan tajam. “Kamu berpikir kalau saya ada apa-apa dengannya?”
Rein menggigit bibir bawahnya, terdiam sesaat. “Eung… aku hanya khawatir,” ujarnya akhirnya, nada suaranya melembut namun tetap penuh kecurigaan.
Reymond menyandarkan tubuh ke kursi, menatap Rein serius. “Bahkan saya berbicara dengannya di depan umum. Saya sengaja menjaga jarak agar tidak menarik gosip. Saya pastikan dia lebih banyak bicara daripada saya. Semua itu, kamu tahu, ada orang-orang yang melihat. Jadi, seharusnya kamu bisa menilai sendiri, Rein.”
Rein menghela napas, tetapi ketegangan di wajahnya belum surut. “Tetap saja, aku gak suka kalau kamu terlalu sering bicara dengan dia. Atau dengan perempuan-perempuan lainnya,” katanya, menekankan kata-katanya dengan nada posesif.
Reymond mencondongkan tubuh, tatapannya menjadi lebih dalam. “Memangnya kenapa, hm? Apa sebenarnya yang kamu takutkan?”
“Ya aku gak suka!” seru Rein. “Kamu itu suami aku. Kamu itu milik aku. Dan aku bebas untuk melarang hal yang gak aku sukai.”
Reymond mengusap wajahnya dengan tangan, ekspresinya berubah frustasi. “Lalu bagaimana dengan kamu?”
Rein tertegun. “Maksudnya?”
Reymond menggeleng pelan, menghela napas panjang. “Hhhh… lupakan saja.”
“Apaan sih? Kenapa jadi gak jelas gitu?” tuntut Rein, suaranya kini terdengar kesal.
Reymond melirik makanan di depan Rein. “Habiskan makananmu, Rein. Kamu merengek meminta ini dari tadi.”
Rein tersenyum tipis, nadanya kembali manja. “Ya, aku sudah lama ngidam ini, Sayang.”
Reymond hanya menggumam pelan, “Hm.”
Namun, matanya terus melirik jam dinding di kafe itu. Sesekali, ia menghela napas berat, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang samar terlukis di wajahnya. Meski mulutnya diam, pikirannya terlihat tidak di sana.