"sudah aku katakan sedari dulu, saat aku dewasa nanti, aku akan menjadikan kakak sebagai pacar, lupa?" gadis cantik itu bersedekap dada, bibirnya tak hentinya bercerocos, dia dengan berani masuk ke ruang pribadi pria di depannya.
tidak menjawab, Vallerio membiarkannya bicara seorang diri sementara dia sibuk periksa tugas para muridnya.
"kakak.."
"aku gurumu Au, bisa nggak panggil sesuai profesi gitu?"
"iya tahu, tapi kalau berdua begini nggak perlu!"
"sekarang kamu keluar!" ujar Vallerio masih dengan suara lembutnya.
tidak mengindahkan perintah pria tampan itu, Aurora malah mengikis jarak, dengan gerakan cepat dia mengecup bibir pria itu, baru berlari keluar.
Vallerio-Aurora, here!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jangan beritahu mereka, aku mohon!
Akhhhhh sshhhhttttt” Aurora terbangun dari tidurnya. Dia meringis kala merasakan sakit yang luar biasa. Rasa sakit yang tidak bisa dia jabarkan, sungguh tubuhnya bagai di hantam batu berkali kali hingga remuk tak tersisa.
Air matanya tak bisa terbendung, dalam hidup baru kali ini Aurora merasakan sakit seperti ini. Mau bangun saja rasanya tidak sanggup.
“Sayang...” baru juga mau mencari pertolongan, tiba tiba Vallerio datang dengan wajah yang sudah tampak segar, pakaian rapi seperti semula.
Dia menghampiri Aurora dengan wajah cemas, membantu Aurora untuk bangun.
“sakit kak, hiksss”
“Maaf, maafkan aku!” melihat Aurora menangis, hati Vallerio bagai tersayat sembilu. Dia menyesal, tapi semua sudah terjadi, dia hanya perlu menerima kemurkaan keluarga Manggala setelah ini.
Bukan tidak mungkin mereka diam saja jika tahu, tapi sebelum itu Vallerio sudah bertekad dan akan memberi tahu mereka secepatnya.
Dia juga akan menikahi Aurora besok, itu pikir Vallerio.
“aku bantuin ke kamar mandi..” ujarnya gercep mengangkat tubuh polos Aurora, di bawa ke kamar mandi. Gadis itu tidak banyak bicara, untuk sekedar menjawab Vallerio saja rasanya sangat malas, jika ditanya apa dia masih marah? Tentu saja!
Tapi satu hal yang Aurora tak bisa pungkiri, bahwa sebenarnya disini yang bersalah juga dirinya. Dia tidak bisa menjaga diri, bahkan dia tadi ikut terlena dengan permainan Vallerio.
Lantas mau menyalahkan siapa? Dia menyalahkan dirinya sendiri. Menyesal juga tidak berguna, semua sudah terjadi. Entah bagaimana nasibnya ke depan, bagaimana jika keluarganya tahu hal nakal itu, bagaimana mereka memperlakukannya setelah ini. Memikirkan banyak kemungkinan buruk itu, Aurora tak sadar terisak dalam diam.
Saat ini dia masih duduk diam di atas westafel lantaran Vallerio tengah menyiapkan air untuknya mandi. Mendengar tangisan Aurora, pria itu menghampirinya, memeluk tubuh kecil Aurora yang kini semakin gemetar dalam pelukannya.
“Aku minta maaf sayang, aku minta maaf... tolong jangan begini Aurora, aku janji bertanggung jawab” bisiknya di telinga Aurora.
Aurora percaya itu, tapi bukan seperti itu alasan dia menangis, memang semestinya Vallerio bertanggung jawab setelahnya, yang Aurora pikirkan sekarang adalah nasibnya setelah ini, itu saja!
Vallerio mengusap pelan air matanya, menyempil anak rambut Aurora ke samping telinga. Dia menatap lekat wajah gadis itu, terlihat jelas mata yang masih basah.
“setelah ini kita pulang, aku akan memberitahu mommy” ujar Vallerio begitu tulus. Dalam hati pria itu memang rasa takut, tapi dia tidak tunjukan karena takut Aurora tidak yakin dengannya.
“tidak, jangan beritahu mommy...” Aurora menggeleng, wajahnya berujar penuh permohonan pada Vallerio.
Helaan nafas kasar terdengar, Vallerio bingung sebenarnya.
“Ya udah, kita bahas lagi nanti! Kamu mandi dulu ya, aku bantuin.”
“tidak usah, Aurora sendiri aja!” cepat dia menolak tawaran pria itu. Bukan apa, Aurora hanya tidak mau terjadi yang kedua kali, berada dalam kamar mandi berdua seperti ini saja masih membuatnya takut, tapi sebisa mungkin Aurora menormalkan raut wajahnya agar terlihat biasa saja.
Dia perlahan turun, malu malu membawa tubuhnya ke dalam bathup, Vallerio menyaksikan itu dengan ekor matanya.
Dia tidak banyak bicara memang, hanya memantau Aurora sampai gadis itu usai. Secepat mungkin dia memberi handuk, dan setelahnya mengendong kembali tubuh Aurora masuk ke dalam kamar.
“Itu pakaian gantinya ya, aku menyuruh Gino pergi beli tadi” menyerahkan paperbag berisi baju yang seukuran tubuh Aurora.
Aurora menerimanya, mengganti pakaian dengan baju baru itu.
Usai ganti, Aurora mencari ponselnya.
“astaga, udah jam tiga” mendadak wajahnya kembali pucat pasi. Dia tidak pernah pulang jam segini sebelumnya, apalagi Aurora tidak izin sama sekali.
“aku pulang kak” bergerak cepat, langkah kakinya seperti bebek yang tengah berjalan.
“Duduk dulu, aku sudah beritahu mommy kalau kamu disini!” ujar Vallerio sedikit membuat gadis itu menghela nafas lega.
Tapi hanya sebentar, karena setelahnya dia kembali murung. Membawa tubuhnya untuk duduk di sofa, dia diam mendengar apa yang hendak Vallerio katakan.
“Aku serius Aurora, kita menikah besok!” lagi, Vallerio menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya sejak tadi. Dia sudah membuat rencana untuk meyakinkan keluarga Manggala, dan itu yang ada di pikirannya.
Tapi pikiran Vallerio dan Aurora berbeda, gadis itu kekeuh meminta Vallerio untuk tidak memberitahu tentang ini pada keluarganya. Dia juga belum mau menikah.
“tidak, tolong jangan beritahu mereka kak, Aurora belum siap, hiks..” lagi, dia mulai menangis. Hal itu membuat Vallerio berada di kebimbangan antara menuruti Aurora atau niatnya sendiri.
Dia kembali menghela nafas berat, bingung sendiri.
“Jangan menangis, apa nanti kata mommy kalau tahu kamu menangis seharian?” iya, Aurora cengeng hari ini, dia akui itu. Tapi hendak bagaimana, dia tidak bisa menghentikan air matanya.
“makan dulu ya, kita belum makan siang” pada akhirnya Vallerio tidak meneruskan pembahasan sebelumnya. Dia lebih dulu mengajak Aurora untuk mengisi perut, kebetulan saat Aurora tertidur dia sempat memesan makanan tadi.
Gadis itu mengangguk, matanya menatap lekat Vallerio yang sibuk menata makanan di meja.
...****************...
Mereka makan dalam diam, lebih tepatnya Aurora yang terdiam sejak tadi. Vallerio kehabisan bahan untuk terus mengajaknya bicara, di ajak becanda pun sepertinya bukan waktu yang tepat.
Alhasil mereka berdua makan dalam diam.
Hingga selesai makan, pria itu kembali membersihkan sisa makanan, di buang ke tempat sampah. Sementara Aurora, dia yang malas gerak hanya bisa melihat tanpa berniat membantu.
“tunggu ya, setelah ini kita pulang!” secepat kilat Vallerio melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda tadi, tidak semuanya, Vallerio hanya menyelesaikan sedikit kemudian mematikan komputer dan membereskan setiap berkas di mejanya.
“aku bisa jalan sendiri!” ujar Aurora tak kala Vallerio memintanya untuk naik ke punggung.
“Yakin? Tapi jalanmu seperti bebek, pelan banget” mendengar itu Aurora menatapnya tajam. Seperti bebek katanya? Aurora seperti ini karena siapa? Ini semua ulahnya juga, pikir Aurora dalam hati.
Melihat tatapan mematikan itu, sontak Vallerio nyengir, kemudian menutup mulutnya rapat rapat.
Dia tidak bisa memaksa, hanya saja dia terus mengikuti langkah pelan Aurora dari belakang. Tidak peduli dengan tatapan banyak orang, Vallerio menatap lurus ke depan. Kebetulan tadi dia sudah menitip kantor pada sang asisten, jadi sekarang dia ngantar Aurora sekalian pulang.
Tepat di depan kantor, Vallerio yang sudah tidak tahan melihat Aurora terpaksa mengendongnya tanpa aba aba. Mau gadis itu berteriak, dia tidak peduli.
Langkahnya sangat cepat berjalan menuju mobil. Sampai di mobil, dia menurunkan tubuh Aurora dengan sangat hati hati.
Bagai orang sakit yang tidak bisa bergerak, Aurora di perlakukan spesial oleh pria itu. Untuk sekedar pasang sabuk pengaman saja dia sendiri yang melakukannya. Aurora hanya duduk diam.
Usai dengan semua itu, Vallerio melajukan mobilnya meninggalkan kantor.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
lagian knpa emgga bilng kalo udah punya pacar .. 🗿🔪