Blokeng adalah seorang pemuda berusia 23 tahun dengan penampilan yang garang dan sikap keras. Dikenal sebagai preman di lingkungannya, ia sering terlibat dalam berbagai masalah dan konflik. Meskipun hidup dalam kondisi miskin, Blokeng berusaha keras untuk menunjukkan citra sebagai sosok kaya dengan berpakaian mahal dan bersikap percaya diri. Namun, di balik topengnya yang sombong, terdapat hati yang lembut, terutama saat berhadapan dengan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Kulit Gedang Sialan
Setelah beberapa saat berjalan mengelilingi lingkungan sekitar, Blokeng mulai merasa tenang. Ia berusaha menyingkirkan semua pikiran negatif dari kepalanya. Namun, saat ia mengalihkan pandangan ke arah lain, kakinya melangkah tak tepat dan tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang licin di bawahnya.
Sebelum ia sempat menyadari apa yang terjadi, kakinya terpelintir dan ia terjatuh ke tanah, menyentuh aspal dengan keras. "Aduuh!" teriaknya, merasakan nyeri yang menjalar di pergelangan kaki dan lututnya. Blokeng memandang ke bawah dan melihat sepotong kulit gedang tergeletak di dekat kakinya, masih basah dan berkilau.
"Jadi ini penyebabnya? Kulit gedang?! Sial!" keluhnya, sambil berusaha bangkit dengan penuh kesulitan. Ia merasa kesal bukan main—selain menderita nyeri, ia juga merasa dipermalukan karena terjatuh di depan orang-orang yang melintas.
Blokeng berusaha bangkit dan merapikan pakaiannya yang berdebu. Ia melihat sekeliling untuk memastikan tidak ada yang menertawakan atau melihatnya. Namun, sialnya, ada sekelompok pemuda yang duduk di dekat situ, tertawa melihat ke arahnya.
"Eh, bro, kamu oke?" salah satu dari mereka berteriak, diiringi tawa yang menggema. "Kena kulit gedang, ya?"
"Ya, jelas!" sahut Blokeng, berusaha tetap cool meskipun hatinya sudah panas. "Jangan ganggu, gue lagi sial hari ini!"
Setelah mengumpulkan keberanian, Blokeng mencoba beranjak pergi, tetapi tidak sebelum mengucapkan sepatah dua kata kepada mereka. "Kalian, lain kali hati-hati, jangan buang sampah sembarangan!" ujarnya dengan nada menantang.
Pemuda-pemuda itu hanya tersenyum dan melambai, sementara Blokeng melanjutkan perjalanannya dengan langkah yang lebih hati-hati. Ia merasa dirinya sudah cukup tersakiti hari itu, dan sepertinya sudah saatnya untuk pulang dan menenangkan diri di rumah.
Namun, saat ia melangkah, perutnya kembali melilit. "Aduh, jangan bilang ini masalah dari semalam lagi," keluhnya, merutuki keputusan untuk minum anggur merah yang berlebihan. Sekali lagi, ia merasa hidupnya seolah dipenuhi oleh musibah yang tiada henti.
Blokeng bertekad, kali ini ia harus pulang dengan selamat, tanpa ada lagi insiden yang membuatnya tampak bodoh di depan umum. Dengan langkah pelan, ia melanjutkan perjalanannya, berusaha tidak terpengaruh dengan suara tawa yang semakin menjauh di belakangnya.
Dengan perut yang melilit dan rasa nyeri yang menghantui di lututnya, Blokeng terus melangkah menuju rumahnya. Setiap langkah terasa berat, seperti ada beban tambahan yang mengikat kakinya. Ia berusaha untuk tidak mengingat kejadian konyol yang baru saja terjadi, tetapi ingatan tentang jatuhnya di tengah jalan dan tawa orang-orang di sekelilingnya terus terbayang di benaknya.
Sesampainya di depan rumah, Blokeng menghela napas lega. "Akhirnya," gumamnya, mengusap peluh di dahinya. Ia membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam rumah, berharap untuk segera beristirahat. Namun, ia disambut oleh suara gaduh dari dapur.
"Apa kamu sudah pulang?" tanya ibunya yang sedang memasak. "Kamu kelihatan lelah sekali, ada apa?"
"Enggak apa-apa, Ma. Cuma jatuh sedikit," jawab Blokeng sambil berusaha tersenyum, meskipun nyeri di lututnya masih terasa.
Ibunya menghentikan aktivitas memasak dan mendekatinya. "Kamu jatuh di mana? Kok bisa sampai sakit gitu?"
Blokeng ragu untuk menceritakan insiden memalukan itu, tetapi ia tidak ingin ibunya khawatir. "Cuma di jalan aja, Ma. Tidak ada yang serius, kok."
"Ya sudah, istirahat saja. Makan dulu nanti," ibunya menjawab sambil kembali ke dapur.
Setelah berbincang singkat, Blokeng menuju kamar. Ia merebahkan diri di tempat tidur, memejamkan mata dan mencoba melupakan semua yang terjadi hari itu. Namun, tak berapa lama, rasa nyeri di perutnya kembali muncul.
"Astaga, ini pasti karena anggur merah kemarin," pikirnya, sambil berusaha menahan rasa sakit. Dengan malas, ia bangkit dan pergi ke kamar mandi.
Begitu tiba di sana, ia melihat cermin dan terkejut dengan penampilannya. Wajahnya terlihat lelah, rambutnya acak-acakan, dan pakaiannya kotor. "Ah, harusnya aku mandi dulu," gumamnya, sebelum beralih ke urusan yang lebih mendesak.
Di dalam toilet, Blokeng merasakan dorongan kuat untuk buang air. Ia duduk di atas kloset, tetapi saat berusaha mengeluarkan, rasa sakit tiba-tiba menyengat. "Aduh! Kenapa bisa begini?!" teriaknya, sambil menggigit bibir menahan rasa sakit.
Ketika akhirnya berhasil, Blokeng terkejut melihat bahwa ada darah di tisu. "Wah, ini parah," pikirnya, merasa khawatir. Namun, rasa sakit yang menyusul membuatnya melupakan semua itu sejenak.
Setelah selesai, ia berdiri dan bersih-bersih. Tiba-tiba, dari sudut matanya, ia melihat sesuatu bergerak. "Apa itu?" Blokeng menengok dan melihat cicak jatuh dari langit-langit, langsung mendarat di kepalanya.
"Uhh, cicak lagi!" teriaknya, jengkel. Ia mengibaskan tangan ke kepala untuk mengusir cicak yang kini merayap di rambutnya. "Sial, hari ini bener-bener enggak ada enaknya!"
Cicak itu melompat dan jatuh ke lantai, sementara Blokeng masih kesal. Ia mengambil handuk dan mengelap kepalanya, berusaha menenangkan diri. "Mungkin ini semua tanda-tanda buruk. Mungkin aku perlu istirahat lebih lama," pikirnya.
Dengan langkah gontai, Blokeng keluar dari kamar mandi dan kembali ke kamar. Ia merebahkan tubuhnya ke kasur, mencoba untuk tidur dan berharap semua masalah ini segera berlalu. "Mungkin besok akan lebih baik," harapnya dalam hati.
Namun, saat ia berusaha memejamkan mata, suara berisik dari luar jendela menarik perhatiannya. "Apa lagi sekarang?" gerutunya. Ia duduk di tepi tempat tidur dan melongok keluar, melihat sekelompok anak muda sedang tertawa dan bercanda di luar.
"Hari ini benar-benar sial," desahnya, kembali merebahkan kepala ke bantal. "Semoga besok membawa keberuntungan."
Malam itu, Blokeng terbangun beberapa kali akibat rasa nyeri di perut dan mimpi buruk yang datang silih berganti. Ia berharap untuk tidak mengalami kejadian aneh lagi, dan berharap hari berikutnya bisa lebih baik. Dengan harapan yang masih tersisa, ia mencoba menutup matanya kembali, membiarkan tubuhnya beristirahat.
Ketika Blokeng berusaha untuk melanjutkan perjalanan, tiba-tiba seekor burung pipit terbang rendah dan menyambar wajahnya. "Klepek!" Suara itu membuatnya tersentak. Blokeng mengusap mukanya dan menatap bingung ke arah burung yang terbang menjauh.
“Dasar burung gila!” teriaknya, tidak bisa menyembunyikan kemarahan yang mulai menggebu. Blokeng terus melangkah sambil menggerutu, merasa sial dengan segala sesuatu yang terjadi padanya hari itu.
Saat ia berjalan, ingatan tentang kulit gedang yang membuatnya terjatuh kembali menghantui pikirannya. "Kalau bukan karena kulit gedang itu, mungkin semuanya akan baik-baik saja," gerutunya sambil menendang batu kecil di jalan.
Dengan rasa jengkel yang masih tersisa, Blokeng berusaha menenangkan diri dan mengalihkan perhatian. Namun, perutnya yang masih nyeri membuatnya tidak nyaman. "Paling tidak aku harus mendapatkan sesuatu untuk mengganjal perut ini," pikirnya.
Setibanya di warung dekat rumah, Blokeng memutuskan untuk mampir dan membeli sesuatu. Ia mendekati meja kasir dan melihat banyak makanan lezat terpajang. Namun, saat ia melihat daftar harga, wajahnya kembali muram.
“Punya uang, tidak?” tanya pemilik warung, yang tampak skeptis melihat penampilannya.
“Cuma mau beli keripik,” jawab Blokeng cepat, sambil mengeluarkan sisa uang recehnya.
Saat ia mengacungkan uang ke arah pemilik warung, sebuah ide nakal muncul di benaknya. "Eh, Mas! Ada yang bisa ditukar? Aku bisa kerja sedikit kalau perlu," tawarnya, mencoba menarik perhatian.
Pemilik warung tersenyum, “Kalau mau kerja, bisa bantu bersih-bersih. Tapi jangan berharap dapat makanan gratis.”
“Iya, iya, siap!” Blokeng setuju, merasa senang dapat kesempatan itu. Setidaknya, ia bisa mendapatkan sedikit uang dan makanan sekaligus.
Blokeng mulai membersihkan meja dan menyapu lantai warung, berusaha semaksimal mungkin agar pemilik warung terkesan. Saat bekerja, pikirannya melayang kembali kepada Lina. Senyumnya, tatapannya—semua itu kembali mengisi benaknya.
“Eh, si preman ini ternyata lumayan juga,” kata pemilik warung sambil tertawa melihat usaha Blokeng. “Sibuk kerja, ya?”
“Biar dapat uang, Mas,” jawab Blokeng sambil tersenyum lebar. “Jadi, bisa makan dengan tenang.”
Setelah selesai membantu, Blokeng menerima beberapa keripik sebagai imbalan. “Terima kasih, Mas,” katanya sambil mengambil keripik yang diberikan dengan senang hati.
Ia melangkah keluar dari warung, merasa sedikit lebih baik. Namun, saat melangkah, sebuah mobil melintas cepat dan menyemprotkan air dari genangan di jalan ke bajunya. “Sial!” Blokeng berteriak sambil melihat bajunya yang basah kuyup.
Dalam suasana hati yang campur aduk, ia pun berlari menuju rumah. Setiba di rumah, ia merasa sangat lelah dan butuh istirahat. Saat membuka pintu, Blokeng disambut ibunya yang sedang menggoreng makanan di dapur.
“Bau apa ini?” tanya ibunya, mencium aroma keripik yang dibawa Blokeng.
“Beli di warung, Ma. Keripik enak ini!” jawabnya, sambil berusaha menyembunyikan semua kesialan yang baru saja ia alami.
“Ya sudah, makan dulu. Nanti kita nonton TV bareng,” kata ibunya dengan senyuman.
Setelah menikmati keripik dan menonton acara TV bersama ibunya, Blokeng merasakan beban di kepalanya mulai sedikit berkurang. Namun, perasaan nyeri di perutnya masih ada.
Setelah beberapa saat, Blokeng kembali ke kamarnya dan merebahkan diri di tempat tidur. “Mungkin besok akan lebih baik,” ucapnya, berharap agar hari-harinya selanjutnya tidak lagi dipenuhi dengan kesialan yang beruntun.
Namun, ketika ia hampir terlelap, suara ketukan di pintu mengejutkannya. “Blokeng, kamu di dalam?” suara ibunya memanggil.
“Iya, Ma! Ada apa?” jawab Blokeng, bangkit duduk.
“Dengar-dengar, kamu baru kenal sama gadis cantik ya? Yang kemarin itu?” tanya ibunya dengan nada penasaran.
Blokeng menggeleng, “Ah, itu cuma kenalan biasa, Ma. Ngapain kamu penasaran sih?”
Ibunya hanya tersenyum dan kembali ke dapur. Dengan pikirannya yang berkecamuk, Blokeng berusaha menutup mata dan berharap hari esok akan lebih baik dari hari ini. "Semoga besok bukan kulit gedang lagi yang jadi sialan," bisiknya pelan sebelum akhirnya terlelap.