Kejadian pilu pun tak terduga menimpa Bjorn, para polisi menuduh dia sebagai kaki tangan seorang kriminal dan akhirnya ditembak mati secara tragis.
Bjorn yang tidak tahu alasannya mengapa dirinya harus mati pun terbangun dari kematiannya, tetapi ini bukanlah Akhirat.. Melainkan dunia Kayangan tempat berkumpulnya legenda-legenda mitologi dunia.
Walau sulit menerima kenyataan kalau dirinya telah mati dan berada di dunia yang berbeda, Bjorn mulai membiasakan hidup baru nya dirumah sederhana bersama orang-orang yang menerima nya dengan hangat. Mencoba melupakan masa lalunya sebagai seorang petarung.
Sampai saat desa yang ia tinggali, dibantai habis oleh tentara bezirah hitam misterius. Bjorn yang mengutuk tindakan tersebut menjadi menggila, dan memutuskan untuk berkelana memecahkan teka-teki dunia ini.
Perjalanan panjangnya pun dimulai ketika dia bertemu dengan orang-orang yang memiliki tujuan yang sama dengan dirinya.
(REVISI BERLANJUT)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudha Lavera, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Kunjungan tetangga
Bjorn terpaksa membuka kelopak matanya, hari ini dia sudah berencana untuk bangun lebih siang dari biasanya.. Tetapi. "Enak~" Suara itu terdengar meski Bjorn sedang berusaha tidur nyenyak dikamarnya, berulang kali dipaksakan matanya untuk kembali terpejam, namun suara itu selalu saja mengganggu "Wah, yang ini juga enak!"
Suara itu masuk melintasi lorong yang terhubung ke pintu kamar Bjorn, dari mulut Theo yang kewalahan dengan hidangan lezat yang dimasak Amoria, menyendok irisan daging dengan potongan ikan kecil-kecil itu ke-mulutnya yang penuh "Kau sungguh pandai memasak, sudah lama aku tidak makan daging seenak ini" Ucap Theo pada Amoria yang tengah mengaduk masakan lain di tungku api dengan centong sayurnya.
"Dulu saat aku masih tinggal di dalam istana, aku sering sekali memasak sendiri, tapi sungguh membosankan jika menu masakannya selalu ikan, karena disini aku punya babu dan tak perlu repot-repot berburu daging, jadi aku memiliki lebih banyak ide untuk membuat masakan yang lezat" Balas senang Amoria pada Theo yang duduk di meja makan, bahkan lelaki pirang itu hanya membalas mengangguk, karena masakan itu sudah menghipnotis mulutnya.
Bjorn keluar dari kamarnya, mendatangi sumber suara yang sudah mengganggu tidur nyenyaknya, sambil mengusap kedua mata, ketika dia menyandarkan tubuhnya di pintu yang terbuka, Bjorn memandangi Theo seraya menghela napasnya "Kau sudah hampir setiap hari kesini, memangnya kau tak ada kerjaan?" Tanya Bjorn.
"Kerjaan sih ada, memangnya salah jika aku berkunjung ke tempat kakak-ku?" Ucap Theo dengan mulut penuh makanan.
"Hei, kunyah yang benar, telan. Baru bicara" Balas Bjorn sambil meraih kursi dan duduk di meja yang sama dengan adiknya, kemudian dia meminta Amoria untuk menyeduhkan teh herbal hangat untuknya.
Theo mengangkat mangkuknya tinggi, meniriskan tiap saus yang tersisa dari mangkuk itu ke dalam mulutnya, meletakan kembali di meja, lalu mengelap bibirnya yang berminyak dengan kain lap seraya mendesah puas "Terimakasih makanan lezatnya nona cantik" Ucap Theo pada Amoria dengan selipan sendawa merayu.
"Sama-sama, apa kau akan ikut makan malam disini lagi?" Tanya Amoria seraya menaburkan bumbu halus ke dalam panci masakannya.
Theo terkikik seringai, ia ingin membalas dengan kata tentu aku akan kemari, tapi tatapan tajam kakaknya menghalau jawaban yang seperti itu "Uhm, maaf Amoria. Malam ini aku ada misi dengan anak buahku"
"Oh, baiklah"
"Apa anak buahmu sehat-sehat saja?" Tanya Bjorn sambil meniup pelan teh-nya.
"Jelas saja, kak. Setiap hari aku menjadwalkan mereka untuk memakan sayuran, meski kebanyakan dari mereka adalah pemakan daging" Menjawab dengan tawa.
"Tadi pagi-pagi sekali, Yver kemari.. Dia mencari mu" Ucap Theo sambil mencungkil sela giginya dengan lidi kecil.
"Tumben sekali orang angkuh sepertinya mencariku" Ejek Bjorn.
"Dia bilang ada sesuatu yang ingin disampaikannya pada kita berdua, tetapi karena kau belum bangun, jadi dia pergi begitu saja setelah mengobrol sebentar dengan Neil"
Bjorn menyeruput teh hangatnya "Mungkin tak bisa hari ini, sore nanti kami berangkat ke bukit timur untuk menyelesaikan permintaan misi dari serikat" Ucap Bjorn
"Yah, setelah rubuhnya Platas, aku membubarkan hampir seluruh anak buahku. Dan aku mendaftar ke dalam Serikat sebagai regu petualang bersama Mapier, Mesael, Moku, dan Myokolenko. Itu cukup sulit, karena Serikat tak mau ada monster yang terkait ke dalam lembaga petualang, berkat bantuan Yver, regu-ku bisa diresmikan" Ucap Theo.
"Tapi, setelah seisi serikat mengetahui kalau aku adalah adik-mu, mereka dengan seenaknya menaikan kelas peringkatku.." Wajah Theo memelas.
"Bukannya itu bagus? Pendapatanmu semakin besar" Balas Bjorn.
"Bagus apanya? Setiap misi permintaan selalu berisi musuh yang kuat, kami sering kewalahan menyelesaikan misi" Theo menjatuhkan dagunya di meja makan.
"Identitas peringkatku pun seenaknya dinaikan oleh serikat, itu terjadi setelah Yver mencari ribut denganku, semua ini memang salahnya bangsawan bedebah itu" Bjorn mengeluarkan ekspresi kesal.
"Apa kau juga merasa kesulitan menyelesaikan misi, kak?" Tanya Theo.
Bjorn mencoba mengingat beberapa kejadian yang menimpa mereka disaat menjalankan misi.. Wajahnya berubah drastis, matanya disipitkan dengan bibir naik terlipat. "Mungkin bisa dibilang iya, terakhir. Seingatku, anak panah Sulpha menusuk bokong Januza yang terlalu bersemangat, dan bodohnya, anak panah itu sudah dilapisi racun ular milik Neil, Januza terkapar pucat sampai mulutnya berbuih. Amoria mempompa paksa jantungnya sambil beberapa kali menampar wajah Januza dengan kesal, mereka semua panik kalau Januza akan mati, jadi aku terpaksa menahan serangan monster Banshee itu sendirian sampai setengah mati"
Theo tertawa kencang setelah mendengar cerita dari kakaknya, ternyata melawan musuh yang kuat tak begitu buruk. Sudut pandangnya hanya merujuk pada kenangan lucu apa yang akan dia buat dengan para anak buahnya kelak? Theo malah semakin bersemangat untuk berpetualang.
Januza masuk kedalam dapur melewati pintu yang langsung terhubung ke halaman belakang. Seperti anak kecil yang meminta makan pada ibunya, Januza berjalan melewati Theo dan Bjorn yang duduk di meja makan, mendekati Amoria yang tengah sibuk memasak sambil membawa mangkuk "Amoria, aku mau cicip yang itu" Seraya menyodorkan mangkuknya pada Amoria.
Wanita duyung yang tadinya mencoba menggapai sendokan centong sayur ke bibirnya guna mencicip, malah menoleh. Menatap mata Januza yang penuh harap akan diberikan masakan itu. Centong sayur yang berisi kuah itu, kembali ia tuangkan ke dalam panci, lalu ia pakai untuk memukul kepala Januza "Coba kau hitung, sudah berapa kali kau makan pagi ini?" Amoria memarahi Januza yang melindungi kepalanya dengan mangkuk seperti anak yang diomeli oleh ibunya.
"Iya-iya, nanti aku ambil sendiri" Ucap Januza.
"Memangnya siapa yang mengizinkan-mu, hah!" Amoria kembali menggertak dengan centong sayurnya, membuat Januza lari keluar takut.
Kemudian Neil masuk dari pintu yang sama, sambil melihat heran pada tingkah Januza yang berlari keluar, dia melempar tatapannya pada Bjorn dan Theo yang menatapinya balik "Pagi, paman Bjorn" Sapa hangat Neil "Paman Theo, kau sudah makan?" Tanya Neil sambil berjalan pelan melewati meja makan yang diduduki mereka berdua. "Tentu aku sudah makan, Neil. Enak dan kenyang" Balas Theo.
Neil mendekati Amoria, sambil menyodorkan mangkuk makannya "Kak, Amoria. Aku boleh coba masakan itu?" Ucapnya.
Amoria meraih mangkuk tersebut "Tentu saja, makan yang banyak supaya kau cepat besar, Neil" Sambil menuangkan makanan sedap itu ke dalam mangkuknya.
Theo melirikkan tipis matanya pada Bjorn "Malang sekali Januza"
"Ngomong-ngomong, Theo" Bjorn meletakan cangkir tehnya di meja, adiknya menoleh pada kakaknya.
"Aku sering menonton pertandinganmu saat Olimpiade, kau menunjukan seni bela diri berpedang dengan gagang stik yang disediakan, aku tahu senjata yang kau kuasai begitu banyak, tapi kau selalu melawan dengan ragu, aku tak melihat keseriusanmu" Ucap Bjorn sambil mengurut dagunya mencoba menganalisa. Adiknya mendengarkan dengan fokus, menopang dagunya dengan telapak tangan diatas meja makan.
Bjorn menambahkan "Kau seharusnya mengeluarkan seluruh kemampuanmu, itu bukti kalau kau menghormati lawanmu"
Theo membalas dengan menarik alisnya keatas "Kalau aku serius, mungkin gagang stik yang kupakai akan lebih cepat patah, aku tak seperti dirimu, kak. Didalam arena tarung kau selalu melawan musuhmu dengan ganas, kau seharusnya sedikit menahan. Memberi ruang untuk mereka memberi balasan, dengan begitu pertunjukan akan lebih seru" Ucap Theo.
"Jujur saja, aku merasa tak puas jika hanya menonton dari balik layar TV, jadi beberapa kali aku duduk di kursi penonton dan ikut menyoraki kemenanganmu" Sambung Theo.
"Kalau kau menonton pertandinganku secara langsung, kenapa kau tidak pernah menyapaku?" Tanya Bjorn.
"Malas, aku juga sempat melihatmu menonton pertandinganku dari atas arena panggung, saat final Olimpiade, kala itu kau duduk dikursi penonton barisan tengah, bukannya menyambut kemenanganku, kau malah langsung pergi setelah pertandingan selesai" Balas Theo dengan mulut cemberut.
"Hei, kau pun sama saja" Bjorn membela diri.
Sebelumnya, mereka berdua memang tak seakrab saat mereka masih kecil dulu, mereka bahkan canggung jika harus berhadap-hadapan langsung, waktu yang cepat berlalu membuat mereka seperti orang asing. Meski begitu, mereka berdua selalu mencoba untuk saling menyapa, namun rasa itu tak pernah tersampaikan, rasa canggung itu menguasai diri satu sama lain.
"Tapi, enak juga ya. Kau dapat karunia Dewi, dan memiliki cincin permata yang bisa berubah menjadi senjata yang kau mau" Ucap Bjorn, mengambil kembali cangkir tehnya.
"Bukan sih, sebenarnya cincin ini hanya bisa berubah wujud menjadi senjata yang bisa kupakai, aku pernah mencoba untuk merubahnya menjadi senapan, tapi tak bisa. Itu karena aku tak punya pengalaman memakai senjata seperti itu" Ucap Theo.
Bjorn meniupi cangkir tehnya, "Bukannya, kau juga dapat karunia, kak? Saat tanganmu dihiasi gambaran tato aksara kuno?" Tanya Theo. Bjorn tak jadi meminum tehnya, dan melamun beberapa detik.
"Sebenarnya aku juga tak tahu, ini karunia atau apalah, tapi aku tak bisa menguasai-nya, dan kesadaranku separuh hilang saat kekuatan itu muncul"
"Hmm, mungkin suatu saat kau bisa mengendalikan kekuatan aneh itu, kak. Ngomong-ngomong, aku mau pamit dulu. Aku mau bersiap untuk misi nanti malam" Theo bangkit dari kursi kayunya, dan menyapa Amoria dengan akrab.
Saat Theo berjalan menuju pintu keluar belakang, dia berpapasan dengan Yver tepat di depan pintu itu "Kau mau numpang makan juga?" Tanya Theo.
"Yang benar saja, apa kau pikir aku se-miskin itu?" Tanya balik Yver.
"Hei, kau barusan ingin bilang kalau aku ini miskin 'kan?!" Theo menarik kerah baju Yver, bangsawan itu melawan dan menarik kerah baju Theo juga. Mereka berdua berperang kata cacian.
Bjorn mengintipkan kepala, menyela dari kursi duduknya "Ada apa ini? Jangan berkelahi di tempat orang" Ucap Bjorn.
Neil mengintipkan kepalanya dengan tangan yang memegangi mangkuk makanan, ia menyapa kedatangan Yver "Apa kau mau ikut sarapan, kak Yver? kau tidak bersama kak Odin?" Tanya Neil.
Bangsawan berambut silver itu melirik pada Neil "Tidak, Neil. Aku sudah sarapan. Dan Odin sedang sibuk membuatkan zirah baru untuk Aleah" Jawab Yver.
"Aku datang kesini, ada sesuatu yang ingin kubicarakan pada kalian berdua" Mata Yver merujuk pada Theo dan Bjorn.