Dalam novel Janji Cinta di Usia Muda, Aira, seorang gadis sederhana dengan impian besar, mendapati hidupnya berubah drastis saat dijodohkan dengan Raka, pewaris keluarga kaya yang ambisius dan dingin. Pada awalnya, Aira merasa hubungan ini adalah pengekangan, sementara Raka melihatnya sebagai sekadar kewajiban untuk memenuhi ambisi keluarganya. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan perasaan mereka berubah. Ketulusan hati Aira meluluhkan sikap keras Raka, sementara kehadiran Raka mulai memberikan rasa aman dalam hidup Aira.
Ending:
Di akhir cerita, Raka berhasil mengatasi ancaman yang membayangi mereka setelah pertarungan emosional yang menegangkan. Namun, ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memberikan kebahagiaan sejati pada Aira adalah melepaskan semua kekayaan dan kuasa yang selama ini menjadi sumber konflik dalam hidupnya. Mereka memutuskan untuk hidup sederhana bersama, jauh dari ambisi dan dendam masa lalu, menemukan kebahagiaan dalam cinta yang tulus dan ketenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Tantangan Baru
Malam itu, Aira dan Raka tiba di tempat yang sudah disepakati dengan Adrian. Suasana terasa tegang, seakan udara di sekeliling mereka menebarkan aroma ketidakpastian. Di tempat pertemuan yang sepi itu, hanya ada lampu jalan yang berkedip-kedip, menciptakan bayangan samar di wajah mereka yang serius.
Saat Adrian tiba, Aira langsung bisa melihat wajahnya yang kusut dan terlihat sedikit gelisah, sesuatu yang jarang ia tunjukkan. Tanpa membuang waktu, Adrian membuka percakapan.
"Kita dalam masalah besar, lebih dari yang pernah kita duga," katanya dengan suara rendah. Ia menatap Raka dan Aira bergantian, wajahnya mencerminkan keputusasaan yang tersimpan di balik sikap tenangnya. "Seseorang sedang mengawasi kita... dan dia tahu lebih banyak tentang kita daripada yang kita kira."
Aira merasakan bulu kuduknya meremang. "Apa maksudmu, Adrian? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Adrian menghela napas panjang sebelum menjelaskan. "Aku menyelidiki lebih dalam tentang orang yang selama ini membayangi kita. Ternyata, dia bukan sekadar ancaman biasa. Orang ini memiliki pengaruh yang besar, dan... dia punya catatan tentang kita semua."
Raka mengepalkan tangannya. "Jadi, dia sudah mengawasi kita sejak lama? Apa yang dia inginkan dari kita?"
"Kekuasaan," jawab Adrian singkat. "Dia tahu bahwa kita adalah ancaman bagi rencananya. Terutama kamu, Raka. Dan aku pikir, dia juga tahu hubungan kalian—kalian bertiga."
Aira menelan ludah. "Jadi, maksudmu... kita sudah masuk dalam permainannya?"
Adrian mengangguk, matanya tajam. "Dia menganggap kita sebagai pion yang bisa dia mainkan. Dan sekarang, dia mulai menguji kita. Ini baru permulaan. Kita harus berhati-hati, atau semuanya akan berakhir buruk."
Hening sejenak, masing-masing dari mereka mencerna kabar buruk ini. Aira merasa ketakutan menjalar, tapi ia berusaha menahannya.
"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Aira, mencoba terdengar tenang meskipun hatinya berkecamuk.
Adrian tersenyum tipis, meskipun ada kegetiran di baliknya. "Kita harus bekerja sama lebih erat dari sebelumnya. Mulai sekarang, setiap langkah yang kita ambil harus dihitung. Kita tidak bisa sembarangan lagi."
Raka mengangguk. "Adrian benar. Kita perlu lebih berhati-hati, dan yang paling penting, kita harus saling percaya."
"Tapi bagaimana jika dia mencoba memanipulasi kita?" Aira bertanya, tatapannya bergeser antara Adrian dan Raka. "Jika dia tahu banyak tentang kita, bukankah itu berarti dia bisa menciptakan konflik di antara kita?"
Adrian menatap Aira dengan serius. "Kita harus siap menghadapi kemungkinan itu, Aira. Dia pasti akan mencoba meretakkan kepercayaan kita. Kita harus pintar membaca gerakannya dan tetap menjaga persatuan."
Aira menggigit bibir, merasa takut sekaligus tertantang. Mungkin ini adalah saatnya ia membuktikan bahwa ia tidak selemah yang dipikirkan orang lain.
"Baiklah," Aira akhirnya berkata dengan nada mantap. "Aku akan melakukan apa pun yang dibutuhkan untuk melindungi kalian... dan diri kita semua."
Adrian tersenyum kecil, kagum dengan keteguhan hati Aira. "Itulah yang aku harapkan. Kita harus tetap kuat dan waspada. Dan mulai sekarang, jangan pernah mengungkapkan rencana atau perasaan kita pada siapa pun di luar kita bertiga."
---
Hari-hari berikutnya, Aira mulai merasakan perubahan. Setiap langkahnya terasa diawasi, dan di sekolah, tatapan orang-orang seakan lebih tajam dari biasanya. Beberapa teman sekelasnya mulai berbisik-bisik saat ia lewat, membuatnya semakin gelisah. Namun, ia tahu bahwa ini semua adalah bagian dari ujian yang harus ia hadapi.
Di tengah kesibukannya, Aira tak bisa menghilangkan kecurigaannya terhadap siapa pun yang ada di sekitarnya. Bahkan, teman-teman terdekatnya pun kini terasa asing dan mencurigakan. Apakah di antara mereka ada yang menjadi mata-mata? Atau mungkin sekadar terpengaruh oleh musuh yang tak tampak ini?
Suatu hari, saat istirahat, seorang teman lama Aira, Lisa, mendekatinya dengan wajah yang tampak iba.
"Aira, apa kamu baik-baik saja?" tanya Lisa sambil menepuk pundaknya.
Aira mengangkat bahu, berusaha tersenyum meskipun hatinya sedang kalut. "Aku baik-baik saja, Lisa. Kenapa kamu bertanya begitu?"
Lisa tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berbicara. "Aku dengar beberapa rumor tentang kamu dan Raka... juga Adrian. Aku hanya ingin memastikan kalau kamu nggak apa-apa."
Aira mencoba mengendalikan wajahnya agar tetap tenang. "Rumor? Seperti apa, Lisa?"
Lisa tersenyum masam. "Ya... kamu tahu sendiri bagaimana orang suka berbisik-bisik. Mereka bilang kalian terlibat dalam sesuatu yang berbahaya. Tapi aku nggak percaya, kok."
Aira tahu bahwa Lisa mungkin tulus, tapi tetap saja ia merasa curiga. Siapa yang menyebarkan rumor ini? Apa tujuan mereka? Aira memutuskan untuk tidak memberi tahu lebih banyak dan hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Terima kasih sudah peduli, Lisa. Aku baik-baik saja. Jangan khawatir, ya," jawab Aira dengan senyum tenang, meskipun hatinya mulai penuh keraguan.
---
Malam itu, Aira, Raka, dan Adrian berkumpul di sebuah kafe kecil yang sepi. Mereka perlu membahas langkah selanjutnya.
"Kita harus menemukan cara untuk mengetahui siapa yang ada di balik semua ini," kata Adrian, suaranya penuh ketegasan.
Raka mengangguk setuju. "Dan mungkin, kita perlu melakukan sedikit trik untuk melihat siapa yang bisa kita percaya. Ini seperti permainan catur, kita harus bergerak dengan hati-hati."
Aira menatap mereka berdua dengan serius. "Tapi bagaimana caranya? Jika kita terus dalam posisi bertahan, kita akan mudah dipermainkan."
Adrian mengeluarkan sebuah catatan kecil dari saku jaketnya. "Aku punya rencana. Tapi kita semua harus bekerja sama dengan sangat hati-hati. Raka, kamu bisa mengawasi teman-teman kita yang mungkin terpengaruh. Aira, kamu bertugas mencari informasi di antara orang-orang yang dekat denganmu."
Aira mengangguk, menyadari pentingnya peran yang diberikan padanya. Namun, perasaannya tetap campur aduk. Apa benar ia bisa melakukan ini? Di saat bersamaan, ia merasakan ketakutan dan ketegangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Kita akan segera tahu siapa yang ada di pihak kita, dan siapa yang menjadi ancaman," lanjut Adrian dengan nada dingin. "Dan saat itu tiba, kita harus siap menghadapi mereka."
---
Beberapa hari kemudian, Raka mulai memperhatikan ada beberapa teman sekelas mereka yang tampak terlalu tertarik pada apa yang Aira dan Adrian lakukan. Beberapa di antaranya bahkan mulai menyelidiki kegiatan mereka dengan dalih ingin 'membantu'. Hal ini membuat Raka semakin curiga.
Suatu sore, saat mereka bertiga sedang berbicara di taman sekolah, seorang teman mereka, Beni, mendekat. Beni dikenal sebagai siswa yang pendiam, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam cara bicaranya.
"Aira, Adrian, Raka… aku dengar kalian sedang dalam masalah. Kalau ada yang bisa aku bantu, tolong katakan," ujar Beni dengan nada serius.
Aira bertukar pandang dengan Raka dan Adrian, mencoba membaca maksud tersembunyi di balik sikap Beni. "Terima kasih, Beni. Tapi, tidak ada masalah apa pun. Hanya gosip," jawab Aira dengan senyum tipis.
Namun, Beni tidak menyerah. "Aku sungguh-sungguh, Aira. Aku dengar ada seseorang yang mengincar kalian. Orang ini… dia bukan orang sembarangan."
Aira merasakan dadanya berdegup kencang. Bagaimana Beni bisa tahu? Apakah dia bagian dari rencana musuh?
Adrian segera merespon, suaranya tenang tapi tajam. "Beni, kalau kamu tahu sesuatu, lebih baik katakan. Ini bukan saatnya bersembunyi."
Beni tersenyum samar, ekspresinya misterius. "Aku hanya ingin kalian tahu bahwa aku di pihak kalian… atau mungkin aku bisa jadi ancaman, tergantung pilihan kalian."
Pernyataan Beni itu seperti bom waktu. Ketiganya merasa terpojok, tapi juga penasaran. Apa sebenarnya peran Beni dalam semua ini? Dan seberapa jauh ia mengetahui informasi tentang mereka?
Saat Beni berbalik dan meninggalkan mereka, Aira, Raka, dan Adrian terdiam.