Dalam hidup, cinta dan dendam sering kali berdampingan, membentuk benang merah yang rumit. Lagu Dendam dan Cinta adalah sebuah novel yang menggali kedalaman perasaan manusia melalui kisah Amara, seseorang yang menyamar menjadi pengasuh anak di sebuah keluarga yang telah membuatnya kehilangan ayahnya.
Sebagai misi balas dendamnya, ia pun berhasil menikah dengan pewaris keluarga Laurent. Namun ia sendiri terjebak dalam dilema antara cinta sejati dan dendam yang terpatri.
Melalui kisah ini, pembaca akan diajak merasakan bagaimana perjalanan emosional yang penuh liku dapat membentuk identitas seseorang, serta bagaimana cinta sejati dapat mengubah arah hidup meskipun di tengah kegelapan.
Novel ini mengajak pembaca untuk merenungkan arti sebenarnya dari cinta dan dampaknya terhadap kehidupan. Seiring dengan alunan suara biola Amara yang membuat pewaris keluarga Laurent jatuh hati, mari kita melangkah bersama ke dalam dunia yang pennuh dengan cinta, pengorbanan, dan kesempatan kedua.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Susri Yunita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 Rencana Baru Nyonya Laurent dan Mia
"Tuan Dante, saya sudah memeriksa semuanya. Amara bertemu dengan Nathan untuk mencari informasi tentang ayahnya. Nathan adalah satu-satunya orang yang bisa memberikan jawaban, karena dia terlibat dalam beberapa transaksi dengan perusahaan Anda di masa lalu." begitulah laporan dari detective yang bekerja untuk Dante.
"Jadi, dia tidak bekerja untuk Nathan? Dia tidak berusaha menghancurkan keluarga kami?"
"Tidak sama sekali, Tuan. Amara murni mencari kebenaran. Tidak ada bukti bahwa dia bekerja sama dengan Nathan atau pihak lain untuk menjatuhkan bisnis Anda."
Dante merasa lega, tetapi sekaligus marah. Ia tidak percaya neneknya bisa melakukan sesuatu yang begitu kejam. dia seketika terpikir tentang Amara, dan akhirnya menemui wanita itu di taman belakang rumah, tempat ia biasa duduk bersama Nico. Amara sedang membantu Nico menggambar ketika Dante mendekatinya.
"Amara, aku perlu bicara denganmu."
Amara terkejut melihat Dante, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Apa yang ingin kau bicarakan, Dante? Aku sedang sibuk."
Dante dengan suara serius berkata, "Aku tahu segalanya. Aku tahu tentang ayahmu, tentang Nathan, dan tentang kenapa kau datang ke rumah ini."
Amara menunduk, merasa rahasianya telah terbongkar. "Kalau kau sudah tahu, lalu apa lagi yang ingin kau katakan? Aku akan pergi setelah Nico bisa mandiri."
Dante menggeleng "Tidak, kau tidak akan pergi. Kau tidak perlu pergi, Amara. Kau tidak bersalah".
Amara berpikir barangkali Luca sudah melakukan sesuatu dan bekerja sama dengan detektive itu, itulah sebabnya Dante tak sepenuhnya tahu rencana awal Aamra. Amara tidak ingin Dante tahu niat awalnya "Tapi aku memang datang dengan niat untuk mencari kebenaran, Dante. Aku tidak bisa memungkiri itu," katanya.
"Dan kau menemukannya, bukan? Kau menemukan bahwa aku bukan bagian dari apa yang terjadi pada ayahmu. Jadi kenapa kau masih menjauhiku?"
Amara terdiam, "Karena aku tidak ingin menghancurkanmu, Dante. Aku tidak ingin kau harus memilih antara aku dan keluargamu."
Dante memegang tangannya, "Aku sudah memilih, Amara. Aku memilihmu. Aku akan melindungimu dari apa pun, bahkan dari nenekku sendiri. Kau hanya perlu percaya padaku."
Amara menatap Dante dalam, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan.
---
Sementara di sisi lain, Nyonya Laurent merasa terpojok setelah Dante mengetahui kebenaran tentang Amara. Namun, sebagai wanita yang tak pernah menyerah pada kekalahan, dia mulai merencanakan langkah baru. Kali ini, dia menggandeng Mia. Seperti biasa, asalkan untuk mendapatkan Dante, tentu saja ia setuju untuk bersekutu dengan Nyonya Laurent.
Di ruang kerjanya yang megah, Nyonya Laurent menatap Mia dengan sorot mata penuh rencana.
"Kau masih mencintai Dante, bukan?"
"Seperti yang selama ini Nenek tahu, tentu saja. Dia adalah segalanya bagiku," jawab Mia, suaranya pelan namun penuh tekad.
"Kalau begitu, kita harus membuat Amara keluar dari hidupnya secepat mungkin. Kali ini, bukan hanya dengan ancaman. Kita akan menggunakan kelemahannya sendiri untuk melawan dia."
Mia mengerutkan kening, penasaran.
"Apa maksud Anda, Nenek?"
"Amara datang ke keluarga ini karena ayahnya. Kita akan membuat dia percaya bahwa satu-satunya cara untuk menyelamatkan nama baik ayahnya adalah dengan meninggalkan Dante. Kita akan menunjukkan bukti palsu bahwa keluarganya bisa dihancurkan lebih jauh jika dia tetap bersama Dante."
Mia tersenyum samar, mulai mengerti rencana tersebut.
"Dan setelah itu?"
"Setelah itu, kau akan berada di sana untuk menghibur Dante. Kita akan membuat dia percaya bahwa Amara tidak pernah mencintainya, hanya menggunakan dia sebagai alat balas dendam."
---
Beberapa hari kemudian, Amara menerima sebuah amplop misterius di kamarnya. Di dalamnya terdapat dokumen yang menunjukkan bahwa ayahnya terlibat dalam kasus penggelapan dana yang dapat mencoreng nama keluarga mereka. Ada juga surat ancaman anonim yang mengatakan bahwa jika Amara tetap bersama Dante, semua ini akan diungkap ke publik.
Amara membaca surat itu dengan tangan gemetar. Dia merasa terjebak. Apakah ini ulah Nyonya Laurent lagi? Namun, dokumen-dokumen itu terlihat begitu meyakinkan.
Amara berbisik pada dirinya sendiri, "Apakah ini harga yang harus aku bayar untuk mencintai Dante?"
Malam itu, saat Dante pulang dari kantor, dia menemukan Amara sedang duduk di ruang tamu, terlihat gelisah.
"Amara, ada apa? Kau terlihat sangat terganggu."
Amara mencoba tersenyum, tetapi tidak berhasil menutupi kegelisahannya.
"Aku hanya... merasa lelah. Tidak ada apa-apa."
Namun, Dante tahu ada yang tidak beres. Dia mendekatinya dan menggenggam tangannya.
"Katakan padaku apa yang terjadi. Kau tahu aku ada di sini untukmu."
Amara hampir ingin menceritakan semuanya, tetapi surat itu membayangi pikirannya. Jika ancaman itu benar, dia tidak hanya akan menghancurkan keluarganya, tetapi juga reputasi Dante.
"Tidak, Dante. Aku hanya perlu waktu sendiri."
Dante menatapnya dengan penuh kekhawatiran, tetapi memutuskan untuk tidak memaksa.
---
Sementara itu, Mia mulai mendekati Dante dengan cara halus. Dia sering muncul di kantor Dante dengan alasan urusan bisnis atau memberikan makanan yang katanya buatan sendiri.
Suatu hari, saat Dante sedang bekerja lembur, Mia datang dengan membawa kopi.
"Kau terlihat lelah, Dante. Aku pikir kau butuh ini."
Dante tersenyum kecil, tetapi tidak terlalu antusias.
"Terima kasih, Mia. Tapi kau tidak perlu repot-repot."
"Aku tidak merasa itu merepotkan. Kau tahu, aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Aku tahu kau sedang mengalami banyak masalah akhir-akhir ini."
Dante hanya mengangguk, tidak ingin membahas masalah pribadinya. Namun, Mia terus mencoba menanamkan keraguan dalam pikirannya.
"Dante, kau tahu aku selalu ada untukmu, kan? Aku hanya ingin yang terbaik untukmu. Jika ada sesuatu yang kau butuhkan, jangan ragu untuk memberitahuku."
---
Di sisi lain, tekanan yang dirasakan Amara semakin besar. Dia mulai menjaga jarak dari Dante, bahkan menghindarinya sebisa mungkin.
Suatu malam, Dante pulang lebih awal dari kantor dan mendapati Amara sedang menangis sendirian di kamarnya.
"Amara, cukup! Aku tidak tahan lagi melihatmu seperti ini. Apa yang sebenarnya terjadi?"
Amara bangkit dari tempat duduknya, matanya merah karena air mata.
"Dante, aku pikir ini sudah waktunya kita berhenti. Aku tidak bisa melanjutkan ini."
Dante terkejut, tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Apa maksudmu? Kau ingin menyerah pada kita?"
Amara menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata.
"Aku... aku tidak mencintaimu seperti yang kau pikirkan. Aku hanya di sini karena tugas, bukan karena perasaan."
Dante mundur, hatinya terasa hancur mendengar kata-kata itu.
"Kau berbohong. Berapa banyak kebohongan yang telah kau lakukan, Amara?"
Amara menundukkan kepalanya, tidak sanggup menatap Dante.
"Maafkan aku, Dante. Tapi ini yang terbaik untuk kita berdua."
Amara pergi meninggalkan Dante yang masih berdiri terpaku. Dalam pikirannya, dia tahu dia telah membuat keputusan yang salah, tetapi ancaman itu membuatnya tidak punya pilihan lain.
Dante, di sisi lain, mulai meragukan segalanya. meragukan cinta Amara kepadanya, dia mulai merasa berjuang sendirian untuk cinta mereka.
Namun, jauh di dalam hatinya, Dante masih merindukan Amara dan tidak percaya bahwa cinta mereka bisa berakhir seperti ini.
Setekah malam itu, Amara memutuskan untuk meninggalkan rumah keluarga Laurent demi menenangkan pikirannya. Dia merasa tercekik oleh semua intrik dan ancaman yang melibatkan dirinya dan keluarganya. Selama beberapa hari, dia tinggal di sebuah penginapan kecil di pinggir kota, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi situasinya.
Namun, kepergiannya meninggalkan kekosongan yang besar di rumah Laurent. Nico, yang selama ini sangat bergantung pada Amara, jatuh sakit karena kehilangan pengasuh sekaligus figur keibuan yang selama ini selalu bersamanya.
Nico dengan suara lemah, "Mana Ibuku, Ibu Mara, dimana? Aku mau Ibu Mara..."
Dante mencoba menenangkan bocah itu, tetapi Nico terus memanggil nama Amara bahkan dalam tidurnya. Rasa khawatir Dante semakin menjadi ketika dokter yang memeriksa Nico mengatakan bahwa anak itu mengalami demam akibat stres emosional.
"Dia terlalu kecil untuk mengalami kehilangan yang tiba-tiba seperti ini. Anda harus segera menemukan yang bersangkutan dan membawanya kembali."
Alessia sangat gelisah melihat kondisi anaknya seperti itu, padahal Dante sudah mencoba menghubungi Amara berkali-kali, tetapi teleponnya tidak pernah dijawab. Hatinya semakin gelisah, dan dia mulai mengkhawatirkan keselamatan Amara juga. Dante takut kalau Amara..
bersambung...
---