Novel ini terinspirasi dari novel lain, namun di kemas dalam versi berbeda. Bocil di larang ikut nimbrung, bijaklah dalam memilih bacaan, dan semua percakapan di pilih untuk kata yang tidak baku
-Entah dorongan dari mana, Dinar berani menempelkan bibirnya pada mertuanya, Dinar mencoba mencium, berharap Mertuanya membalas. Namun, Mertuanya malah menarik diri.
"Kali ini aja, bantu Dinar, Pak."
"Tapi kamu tau kan apa konsekuensinya?"
"Ya, Saya tau." Sahutnya asal, otaknya tidak dapat berfikir jernih.
"Dan itu artinya kamu nggak boleh berenti lepas apa yang udah kamu mulai," kata Pak Arga dengan tegas.
Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon An, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
Keesokan harinya, Dinar sudah bangun pada waktu subuh. Dinar harus terbiasa untuk memasak sarapan. Karena Dinar memang kini sudah bukan lagi hidup sendiri, namun, hidup bersama keluarga suaminya.
Di dapur, Wanita itu menyiapkan semuanya sendiri. Dan terkadang, Dinar memang lebih suka memasak sendirian dibandingkan bersama. Selain lebih fokus, katanya juga tidak bingung.
Lagi pula, Arin yang tidak lain adik iparnya, nampaknya tidak terbiasa untuk bangun pagi, dia akan bangun saat pukul delapan atau bahkan setengah sembilan. Dinar sama sekali tidak merasa keberatan, karena Dinar memang bisa mengatasi dapur seorang diri.
Dinar mulai mencuci sayuran, kemudian memotongnya dengan bentuk dadu kecil, menyimpannya di satu tempat. Menu kali ini yang Dinar buat, yaitu, Sup Ayam dengan tambahan jagung muda juga beberapa sayuran, kegemaran Vano (suaminya).
Mungkin itu salah satu cara untuk mengobati rasa rindunya pada Vano, Dinar mencoba memasak sesuatu yang pria itu sukai. Dengan begitu Dinar merasa selalu dekat dengan suaminya.
"Dinar, kamu udah bangun?"
Pak Arga menegurnya. Laki-Laki itu mengenakan kaos abu-abu yang semalam Dinar lihat. Tapi dengan bawahan celana kolor panjang selutut.
Dinar menjadi teringat semalam, membuatnya amat gugup. Kegugupannya jatuh menjadi salah tingkah akhirnya. Dinar berusaha untuk tidak terlihat aneh di depan mertuanya, ia tersenyum tipis.
"Udah Pak. Bapak lagi butuh sesuatu? Aku bisa bantu?"
"Gak ada sih. Cuman lihat kamu, dan menyapa aja. Oh iya, kamu masak apa hari ini?"
"Pagi ini Dinar masak Sup Ayam isian jagung Pak, Gak lupa tempe goreng dan juga sambal terasi." Tuturnya.
"Wah, mantap tuh. Bapak memang paling suka sama sambal buatan kamu, Din. Selain sambalnya halus, pedasnya juga pol-pol lan. Makin nafsu Bapak makannya."
Dinar meringis mendengar pujian mertuanya. Dinar memang suka menghaluskan cabai dengan cara menguleg, dibandingkan diblender. Karena pasti rasanya jauh berbeda. Lebih mantep kalau di uleg pakai tangan manual. Memang banyak orang yang berpendapat seperti itu.
"Ini Dinar lagi mau nguleg sambelnya Pak."
Dinar mengambil gilingan cabai, dan meletakannya. Lalu mencuci cabai yang akan ia haluskan. Memberikan sedikit garam dan sedikit terasi. Lalu mulai meng-eksekusinya.
Ternyata, sejak tadi, Pak Arga masih setia melihatnya. Dinar merasa sedikit aneh di temani oleh Pak Arga. Tapi Dinar mencoba tidak ambil pusing. Mencoba mengalihkannya dengan memberikan pertanyaan untuk Pak Arga.
"Bapak pergi ke ladang hari ini, Pak?"
"Iya. Bapak mau pergi ke ladang, ada apa Din? Kamu mau ikut ke ladang sama Bapak?"
Dinar menggeleng kepala, "Oh enggak Pak. Anu Dinar di rumah aja, mau bersih-bersih rumah juga. Takutnya kalau Dinar ikut, nanti malah gak sempat ber-beres rumah."
"Biar si Arin aja yang bersihkan rumah. Kamu ke ladang aja sama Bapak."
"Tapi kasihan Arin Pak, kalau ngerjain kerjaan rumah sendirian. Takut keberatan."
"Halah! Dia udah dewasa. Biarkan dia belajar jadi mandiri. Dia juga habis ini bakalan kepala dua, Enggak lama pasti di pinang sama laki-laki. Kalau nggak dari sekarang mempersiapkannya, kapan lagi? Nanti, biar Bapak yang berpesan buat anak itu. Yang penting siapkan aja makan, dan tutup dengan tudung saji. Si Arin suka lapar dia orangnya."
Dinar mengangguk patuh. Lagian, siapa yang lebih mengenal Arin dibandingkan dirinya. Jelas saja Ayah kandungnya. Dinar baru saja mengenal Arin, jadi, Dinar setuju dengan apa pun yang Pak Arga katakan.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Dengan mengenakan topi caping, Dinar menemani Bapak mertuanya ke ladang. Dinar juga kadang membantu-bantu saat ada panen.
Dan nampaknya, saat ini, ada panen di ladang Bapak mertuanya. Jadi kebetulan Dinar bisa menyumbangkan tenaganya untuk membantu panen, sekaligus bercengkrama dengan orang-orang yang ada di sana.
"Tolong seperti biasa ya, kamu bantu para pekerja untuk numbuk di lumbung. Di sawah sana."
"Iya Pak."
"Biar Bapak yang panen di ladang aja."
Memang ladang milik Pak Arga bersebelahan dengan sawah miliknya. Tidak jauh posisinya. Sekali kerja, tidak perlu untuk bolak-balik ke sananya. Dengan ramah Dinar mulai menyapa Ibu-Ibu yang bekerja pada Ayah mertuanya.
"Pagi Bu Lastri. Bu Inah."
"Pagi Neng. Kamu semakin segar aja habis nikah. Mas Vano ke mana atuh Neng?" Mendengar pujian dari Ibu Inah, Dinar tersipu,
"Terimakasih Bu. Mas Vano, lagi ada kerjaan di luar kota. Makanya cuman saya dan Bapak yang ke ladang. Sementara Arin, jaga rumah."
"Walah. Seharusnya pengantin baru masih anget-angetnya toh Nduk. Sapa tau aja bisa isi, karna terus-terusan. Kan ndak tau, kapan waktu golnya. Yang penting usaha terus."
"Do'a kan aja Bu. Yang terbaik aja hehe."
"Aduh, selain ber-do'a juga harus usaha atuh Neng... harus selalu rajin Neng, rutin gitu bahasanya. Kan nggak tau ya yang gol gempuran kapan. Harus rajin rajin pokoknya, atuh." Dinar hanya tersenyum.
Bagaimana dia bisa rajin melakukan dengan suaminya. Sementara Vano saja sering berpergian dengan waktu yang lama.
...BERSAMBUNG,...